Air Jernih Menghantar Mak Pergi

Leily Nirwani

Air Jernih Menghantar Mak Pergi

    Yang rapuh dan berpilu, yang mengayun remuk-redam lalu bersenandung tentang kelukaan sangat dalam. Kapal dan debur ombak yang menghantar kepergianmu serta doa yang kau kucurkan di tepi pelabuhan; “Semoga anak-anakku senantiasa dijaga tuhan”. Air jernih yang berturun di pipi adalah titisan gerimis yang tak mampu mengusaikan tangis mak pergi menggalah nafkah supaya kami bisa bersekolah bahkan sampai kuliah.  

Lambaian tanganmu yang semakin hilang dan jauh lantas terhujam di bola mataku 

kitari pandang pada jarak yang akan menghadang inilah ihwal perpisahan panjang akan mengambang

daun-daun jatuh atau tunas rinduku mulai tumbuh

aku pun tak mampu mengira-ngira apa dan bagaimana aku bila kau tak ada

mungkinkah musim akan melahirkan hujan yang membuat awan rindu mencekam 

atau angin yang ingin menghalau sunyi terpaksa pergi karena kemarau tiada bertepi 

Sesumir, gelisah kubelah dengan air sembahyang yang mencurah

ada bangga yang tumbuh dan menghampar tiap kali namamu dikabar

aliran jernih dari pipi bermuntahan sendu jika kuselusuri pengorbananmu

ibu adalah insan mulia pilihan Sang Maha 

kasihnya hangat, lekat bahkan teramat dekat

ialah sahabat setia 

tak kira siang malam serta di gelap dan terang dia kan selalu datang

Duhai wanita tangguh yang tak lumpuh dipijak waktu

tetap perkasa walau alam kerap menyuguhkanmu air mata   

apa yang terukir di suratan takdir memaksamu berkarib dengan getir

di tingkap asa yang tertutup tabir kau campak lelah yang menapak di pundak

selaksa paras nan indah dibedaki sengatan surya tiada pernah menembang keluh kesah meski renta membayang sudah

dua peran bersusah payah diemban sebab abdimu tak hanya menjadi ibu

terangkum jabatan segagah ayah sebagai pelindung dan penafkah 

mengayuh penghidupan sampai ke negara tetangga pun kau galah

agar dedaun harapan bermampu mengukir badan di sekolah 

dan tak mudah terpatah sekalipun zaman bertukar rupa

Kepada bulan basah yang menyapa Desember tua

tersangkut lipatan kenang seindah lantunan tembang pada jelaga yang menghitam di atap rumah kita

mak, inilah petuah yang kau kata bahwa hujan dan airmata sangat tipis hijabnya

air jernih masih terbit dari lereng dahi, acapkali berubah rerintik semacam dedaun trembesi yang jatuh di musim semi

malam ini lewat embun yang berjatuhan kuharap nyanyian sintar mampu melenakan bagi asa yang terajut dari sisa serbuk rembulan

lalu pada jemari pagi dan kaki malam kugubah muasal pinta menjadi doa yang dalam lagi nisan 

akan kupersembahkan bakti yang hakiki serupa mentari yang sedemikian jernih

demi peluhmu yang melepuh di kuala dan rindu yang kukayuh tak karam dan tak labuh di dermaga.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami