Oleh: Dadang Ari Murtono
Anak tetanggaku yang berusia lima tahun
datang pada suatu sore dengan kertas dan pensil warna.
Ia mengira aku pelukis sebab aku gondrong dan bertato,
merokok dan mengenakan celana robek-robek.
Ia memintaku menggambarnya
dan aku menggambar bulatan matahari yang tersenyum.
Ia memintaku menggambar istriku
dan aku menggambar simbol hati yang sangat besar.
Ia memintaku menggambar Tuhan
dan kukatakan kepadanya
aku tidak bisa menggambar apa-apa yang tidak aku kenal.