Asap

Oleh: Sukamti

“Uhuk! Uhuk!” Aku terbatuk karena terhirup asap. Lagi-lagi tetangga sebelah kiri rumah membakar sampah. Asapnya tak hanya naik ke angkasa tetapi juga masuk ke dalam rumahku. Segera kuhidupkan kipas angin untuk menghalau asap yang masuk. Aku juga buru-buru ke halaman depan, mengangkat jemuran. Jangan terulang lagi kejadian beberapa hari yang lalu. Jemuranku bau asap semua. Percuma saja rasanya cucianku itu kuberi pengharum. Walau belum kering sepenuhnya, jemuran itu tetap kuangkat. Tak apa, pikirku. Kejemur saja pakaian itu di dalam rumah.

            Pernah juga celana kerja suami yang berwarna hitam, berlubang terkena bekas bakaran sampah. Sepertinya Pak Reno, tetangga sebelahku itu, membakar sampah plastik kemudian tertiup angin dan menempel di celana panjang Mas Andi, suamiku. Alhasil, celana yang baru sebulan selesai dijahit itu tak bisa dipakai lagi.  

            “Bun…! Bunda…!” Suara Mas Andi terdengar cemas memanggil dari dalam. Aku menghampirinya sambil mengibas-ngibaskan tangan ke muka, berusaha mengusir asap yang menerobos masuk ke hidung.

            “Naya sesak napas, Bun!” katanya panik. Sesak napas? Naya tidak ada riwayat sesak napas selama ini. Aku  bergegas masuk ke kamar. Kulihat Naya, anakkku yang berumur tiga tahun itu, megap-megap berusaha bernapas dengan susah.

            “Mas, tutup saja jendelanya. Biar asapnya tidak terlalu banyak masuk,” pintaku pada suami. Mas Andi menutup daun jendela kamar. Aku segera menghidupkan kipas angin lalu membalurkan minyak telon ke dada dan punggung Naya. Alhamdulillah, tak  berapa lama kemudian sesaknya berkurang.

            “Apa tidak sebaiknya Mas ngomong saja sama Pak Reno, jangan membakar sampah. Asapnya itu lho, mengganggu sekali!”

            “Mas rasanya gak enak mau ngomong, Bun! Pak Reno sudah sepuh, Mas umurnya jauh di bawah Pak Reno. Rasanya tidak elok kalau kita mengingatkan hal seperti itu padanya, seperti menggurui,” tukas suami.

            “Tapi kita tidak bisa begini terus, Mas. Pak Reno mungkin tidak tahu kalau asapnya itu mengganggu tetangga. Lihat hari ini, Naya sampai sesak napas karena asap bakaran sampah Pak Reno. Untung sesaknya cuma sebentar. Kita tidak tahu besok-besok bagaimana. Lagian, kenapa  dia tidak ikut iuran sampah saja, sih? Jadi, tidak perlu membakar sampah yang asapnya mengganggu tetangga,” ujarku jengah.

            “Mas gak tahu, Bun. Mungkin Pak Reno tidak ada uang buat ikut iuran.”

            “Gak punya uang tapi kok bisa beli rokok setiap hari,” sergahku kesal.

            “Gak boleh gitu, Bun. Kita tidak tahu keadaan Pak Reno yang sebenarnya. Pak Reno sebenarnya sudah berhenti merokok tetapi sejak istrinya meninggal dua bulan yang lalu, ia jadi suka merokok lagi. Mungkin dengan merokok kerinduan Pak Reno pada istrinya bisa terobati.” Mas Andi berusaha berbaik sangka pada Pak Reno tetapi alasannya tak bisa masuk di akal sehatku. Mungkin karena aku belum begitu kenal dengan Pak Reno jadi aku tidak bisa mencerna alasan yang dilontarkan suami. Tetanggaku itu memang baru empat bulan menyewa rumah sebelah. Sebelumnya ia tinggal di kota lain.

***

            Kejadian terulang lagi. Sore itu Pak Reno kembali membakar sampah di depan rumahnya. Sampah daun dan plastik yang setengah basah itu menyebabkan bumbungan asap tebal. Mas Andi belum pulang kerja sore itu.

            “Uhuk! Uhuk!” Aku sengaja memperbesar suara batukku, berharap Pak Reno dengar dan sadar kalau kebiasaannya itu merugikan orang lain. Ternyata  usahaku itu sia-sia. Dia tetap saja dengan santainya membakar sampah. Bahkan, lelaki usia enam puluhan itu mengambil sekantong plasting sampah dapur dari dalam rumah untuk dibakar. Aku sudah tak tahan lagi. Kuhampiri ia yang sedang mengumpulkan sampah ke pusat api dengan sebilah potongan kayu itu di depan rumah.

            “Pak, Reno. Maaf, Pak. Gimana kalau sampahnya jangan dibakar? Ditimbun saja atau dikumpulkan lalu dibuang ke kotak sampah di daerah pasar,” pintaku sopan.

            “Memang kenapa, Bu?” tanyanya datar. Ya Allah, ini orang benar-benar tidak tahu apa pura-pura bodoh? Aku bertanya dalam hati. Kutarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya.

            “Asapnya masuk ke rumah saya, Pak. Naya sampai sesak kemarin,” ujarku lembut berusaha menahan emosi.

            “O, begitu ya?” tanyanya sambil tetap melanjutkan aktivitas membakar sampah tanpa memperdulikanku. Aku makin kesal dibuatnya.

            “Atau begini saja, Pak. Bapak kumpulin saja sampahnya dalam kantong plastik. Terus, letakkan di depan rumah setiap hari Senin dan Rabu. Nanti Mang Kodir, tukang sampah yang ambil. Iuran sampahnya biar saya yang bayar.” Aku menawarkan solusi. Walaupun keluarga kecilku bukan termasuk keluarga kaya, aku rasa kami masih mampu membayar uang iuran sampah sebesar dua puluh ribu itu untuk dua keluarga. Tak apalah kehilangan dua puluh ribu sebulan daripada aku harus terus menghirup polusi udara dari pembakaran sampah itu. Pak Reno diam saja, tak mengiyakan tawaranku tidak juga menidakkan. Aku jadi bingung dibuatnya. Ah, sudahlah. Yang penting aku sudah berniat baik. Aku segera membalikkan badan ketika kemudian terdengar jawaban dari Pak Reno, “Makasih tawarannya, Bu Naya!” Aku membalikkan badan dan mengangguk seraya tersenyum.

***

            “Mas, kok Pak Reno tidak kelihatan ya, beberapa hari ini? Kemana ya? Biasanya dia suka bakar sampah sore-sore begini,” tanyaku suatu sore.

            “Bunda ini gimana, sih? Kemarin ada orangnya bakar sampah, ribut, merasa terganggu. Sekarang orangnya tidak ada, gak ada yang bakar sampah lagi penasaran nyari,” Mas Andi senyum-senyum simpul sambil terus membaca koran yang ada di hadapannya.

            “Bukan begitu, Mas. Aku cuma heran saja, kok beberapa hari ini Pak Reno tidak kelihatan?”

            “Tapi senangkan karena tidak ada yang bakar sampah lagi?”

            “Ya, iyalah kalau itu. Siapa yang suka teracuni polusi udara terus-menerus!” tukasku. “Pertanyaanku tadi belum dijawab, Mas.”

            “Yang mana?” Kucubit lengan suamiku karena kesal. Suamiku meringis sambil nyengir.

            “Rasain!” selorohku sambil memasang muka cemberut. “Jadi apa jawabannya?”

            “Oh, itu! Pak Reno sudah tinggal sama anaknya yang bungsu di kota Padang. Tiga hari yang lalu anaknya jemput.”

            “Lho, kok aku gak tahu, ya Mas?”

            “Bunda dan Naya waktu itu sedang menginap di rumah Eyang Putri. Jadi, gak sempat ketemu Pak Reno waktu beliau pamitan.”

            “Oh, begitu ya! Sayang ya, Bunda gak sempat ketemu. Kalau ketemu, Bunda mau minta maaf. Mungkin Pak Reno merasa tersinggung dengan tawaran Bunda tempo hari.”

            “Sudah, Bun. Gak usah diingat-ingat lagi. Yang penting, Bunda kemarin sudah menyampaikan dengan kalimat yang santun dan niat Bunda juga baik.” Lelaki berlesung pipi itu mencoba menghiburku. Aku mengangguk membenarkan perkataannya.

            Seminggu kemudian tampak penghuni baru datang menempati rumah bekas kontrakan Pak Reno. Aku dan Mas Andi langsung berkenalan saat mereka menurunkan barang-barang bawaannya. Namanya Pak Sunar, seorang tentara. Istrinya bernama Lastri. Mereka memiliki dua anak kecil. Satu berumur lima tahun dan satu lagi tiga tahun, seusia Naya putriku. Semoga mereka bisa jadi tetangga yang baik buat keluargaku.

            Tiba-tiba sore itu, asap kembali masuk ke dalam rumahku. Aku gegas ke luar melihat dari mana sumbernya. Oalah! Ternyata tetangga baruku itu sedang membakar sampah di depan rumah. Aku terdiam terpaku.

***

Scroll to Top
× Hubungi kami