AYAM JANTAN PAK BEKISAR
Oleh: Achmad Daniyal
Ayam itu dirawat oleh majikan yang baik hati. Pak Bekisar begitu orang memanggilnya. Oleh orang-orang kampung di sekitarnya. Ia dikenal sebagai pribadi yang murah tangan bagi mereka yang kesusahan, sering berbagi hasil panen bila sawahnya sedang melimpah ruah. Ia adalah sosok yang dermawan lagi pemurah. Banyak tetangga-tetangga yang menyukainya.
Selain bertani, Pak Bekisar juga senang beternak. Ia sangat suka memelihara ayam. Ia rawat ayam-ayam itu di halaman belakang rumahnya. Setiap pagi, ia selalu memberi makan ayam-ayamnya. Mencampur dedak dengan satu canting air dan ia bagikan rata kepada ayam-ayamnya. Tidak hanya orang-orang sekitar. Ayam-ayam itu pun sangat suka padanya.
Di antara ayam-ayam yang ia pelihara itu. Ada satu ayam yang sangat ia sayangi. Ayam jantan dengan warna dominan merah jingga di sekujur tubuhnya, berpadu dengan warna hitam. Ayam itu memiliki bulu ekor lebih panjang dan lebat daripada ayam-ayam yang lainnya. Ia juga memiliki jambul yang tinggi dan tebal, tidak semua ayam sejenisnya memilikinya. Ia adalah ayam top figure dikalangannya.
Ia seperti ayam pada umumnya. berkokok, bertengger di atas pohon, berkeliaran ke sana kemari, nellek dimana saja ia mau bahkan seringkali di teras-teras rumah. Tetapi, ia memang sekedar ayam, diberi naluri dan insting, tidak dengan akal. Namun, ia diberkati. Diberi suatu keistimewaan. Ia diberi naluri dan insting yang jauh lebih kuat daripada ayam-ayam yang lain.
Naluri yang kuat itu yang menyebabkan ia dapat merasakan kepekaan-kepekaan untuk berempati terhadap suatu tragedi atau peristiwa. Meski tidak punya otak, ia dapat merasakan suatu kepedihan.
Ia bersyukur sekali pada Tuhan telah menciptakannya sebagai ayam. Tidak seperti manusia-manusia itu yang ia lihat di Televisi milik majikannya tiap petang selepas maghrib.
Dalam rasa syukur itu, setiap pagi menjelang fajar terbit. Ia selalu berkokok, membangunkan orang-orang disekitarnya, begitu pula majikannya. Ia sama sekali tidak peduli apakah orang-orang atau ayam-ayam lain yang ada disekitarnya terbangun ataupun merasa terganggu. Ia hanya berkokok, bersyukur pada Tuhan yang telah menciptakannya.
***
Ayam-ayam itu ia beri makan pagi dan sore. Seperti biasanya, setiap sore selepas ia memberi makan ayam-ayamnya. Ia kembali ke dalam rumahnya. Menunaikan sholat maghrib. Menyalakan TV, melihat berita-berita terkini yang terjadi di luar sana.
Diam-diam ketika hari mulai petang. Ayam jantan itu sengaja bertengger di atas sebuah kawat jemuran milik majikannya. Di atas kawat jemuran itu, ia bisa melihat dengan jelas, melalui kaca jendela rumah yang mengarah pada ruang tamu, berita-berita, peristiwa atau tragedi yang disiarkan melalui Televisi berukuran 21 inch.
Dari balik jendela itu, ia kerap kali menyaksikan kengerian, kebengisan yang dilakukan oleh manusia. Perang, eksploitasi alam, perampasan lahan, berita pembantaian, pembegalan, mutilasi bahkan seorang politisi korup yang mencalonkan dirinya sebagai pemimpin negara. Meski ia tidak tahu apa itu politisi, korupsi, resesi ekonomi yang menyebabkan konflik sosial. Namun ia yakin, apa yang nampak di layar tabung itu merupakan tindakan yang jauh dari kata terpuji.
Dalam hatinya yang penuh empati ia bergumam.
“Mengapa manusia bisa melakukan hal-hal yang demikian itu? Ah, barangkali ini nasib baik diriku Tuhan tak memberiku akal”
Baru-baru ini dari layar TV itu ia menyaksikan kebengisan seorang pemuda yang membantai seorang remaja hanya karena motif cemburu dan marah kekasihnya dianggap diperlakukan tidak baik. Begitupula, seorang perwira divonis tersangka sebab ia kehilangan akalnya sampai membunuh sesama rekannya.
Tiap selepas TV itu dimatikan. Wajah ayam jantan itu murung, gelisah hingga menjelang matanya terpejam. Ia berdoa, lirih. “Tuhan, semoga yang kusaksikan tadi. Tidak terjadi pada kaumku sendiri”.
***
Pintu kandang berderit, perlahan terbuka. Di balik daun pintu itu terlihat seseorang masuk perlahan. Pak Bekisar dengan timba berisikan dedak berjalan mengitari kandang ayamnya satu persatu, membagikan pakan, termasuk pada ayam jago kesayangannya itu. Begitu yang Pak Bekisar lakukan sebelum ia berangkat bekerja. Melakoni pekerjaannya yang baru. Menjadi Kepala Desa.
Dua bulan yang lalu, ia telah resmi dilantik menjadi Kepala Desa baru di kampungnya. Pada mulanya, ia tak mau. Menolak dengan sebenar-benarnya, sampai ia pada firasat kabur dari rumahnya agar tak terpilih menjadi kepala desa. Baginya, ia merasa lebih mudah merawat ayam-ayamnya daripada masyarakat di kampungnya.
Tapi, apa boleh dikata. Tiga bulan yang lalu sebelum ia dilantik menjadi Kepala Desa. Orang-orang berkumpul di depan halaman rumahnya. Membentangkan spanduk besar berisikan foto wajahnya. Menuntut dirinya agar mau menjadi kepala desa.[1] Megganti posisi Kades sebelumnya yang sudah tertangkap basah menggelapkan dana desa.
Apa yang selalu ia gumamkan memang benar adanya. Ia lebih mudah merawat ayam daripada manusia. Kenyataan tersebut ia telan setiap hari, setiap ia bekerja. Pak bekisar memang orang biasa, tidak pintar juga, masih bisa membaca dan menulis. Tapi, sebagai pemimpin ia memliki prinsip teguh, selalu bersifat jujur. Sifat itu memang ia tanam sejak dulu. Sebelum ia dituntut warganya menjadi Kepala Desa.
Suatu sore, ia marah bukan kepalang. Ia merasa dikhianati oleh Satirjo. Sekretarisnya sendiri. Ia telah memalsukan tanda tangannya untuk kepentingan dana hibah dari pemerintah untuk rencana pembangunan jalan di desanya. Satirjo, secara sepihak tidak meminta izin terlebih dahulu menggunakan tanda tangannya untuk kepentingan tersebut. Ia baru mengetahuinya, setelah secara tiba-tiba satirjo masuk ke dalam ruangannya dengan membawa satu tas berisikan uang.
“Bagaimana kau bisa dapatkan ini tanpa pernah meminta izin terlebih dahulu padaku untuk penanda tanganan berkas?” kedua alisnya nyaris menyatu ketika ia bertanya.
“Ah, kau ini Pak. Marilah kita bisa lebih realistis lagi. Jalan-jalan di desa kita ini memang perlu diperbaiki. Ini ada anggaran 1,5 Milyar dari pemerintah. 1 M-nya kita alokasikan pembangunan, sisanya yang 5 itu kita porahkan rata untuk kita semua,” Satirjo menimpali.
“Kenapa kita tak simpan saja yang lima itu untuk pemberdayaan yang lain. Itu jauh lebih bermartabat”
“Ya sudah, kau simpan saja martabatmu itu. Biar aku tangani sendiri proyek besar ini sendiri,”
Satirjo pergi begitu saja meninggalkannya, menenteng tas berisikan uang, menutup daun pintu dengan keras. Melihat hal itu, ia hanya bisa tertegun, termenung dibalik pintu yang tertutup rapat, menghirup kenyataan yang pengap.
***
Ayam jantan kesayangannya itu merasa ada yang berbeda dengan majikannya. Ia tak melihat kota yang cerah di wajah majikannya. Ia merasa majikannya menjadi pemurung, pemarah bila ada ayam-ayamnya yang lain tidak tertib menunggu jatah pakannya dibagikan. Bahkan, ia tidak segan menendangnya kuat-kuat sambil mengucap sumpah serapah.
Akhirnya ayam jantan itu, jarang sekali menunggu Pak Bekisar memberinya makan. Ia lebih memilih untuk berkeliaran, mengitari pelataran rumah-rumah orang. Berjalan ke sana kemari mencari jatah makannya sendiri. Meski ia tak bisa berfikir, tapi ia tak pernah khawatir dan yakin bahwa Tuhan tak pernah lupa memberinya makan.
Ia berjalan menyusuri jalan perkampungan. Baru kali ini, ia melihat di samping jalan-jalan itu banyak kendaraan besar, tumpukan-tumpukan semen, tong-tong berisikan cairan hitam dan material bangunan. Ia tidak tahu perbaikan apa yang sedang terjadi di desanya. Namun, yang pasti Pak Bekisar majikannya itu tidak pernah setuju dengan proyek rekonstruksi jalan tersebut.
Ia berniat untuk memberitahukan warga yang sebenarnya bahwa anggaran proyek rekonstruksi aspal itu harusnya adalah 1,5 Milyar. Lebih besar daripada yang telah Satirjo bumbui ucapannya itu kepada warga dengan menelan anggaran besar yang totalnya 1 Milyar rupiah. Namun, hal itu memang tidak akan pernah terjadi. Satirjo dengan diam-diam telah mengumpulkan orang-orang suruhannya untuk menghabisi Pak Bekisar.
Malam yang pekat, beberapa orang masuk ke pelataran rumah Pak Bekisar. Mereka berjumlah tiga orang. Satu orang loncat melewari pagar depan rumah. Satu orang berjaga di depan. Satu lagi menyelinap lewat pekarangan rumah melewati kandang-kandang ayam milik Pak Bekisar.
Ayam-ayam dikandang itu memerhatikannya menyelinap masuk. Orang itu diam-diam berjalan membawa ember berisikan dedak yang sudah dicampur dengan tanah kuburan. Ayam jantan itu, juga dengan awas melihatnya. Tapi mereka hanya sekedar ayam. Orang itu, menaburkan dedak, ayam-ayam itu perlahan memakannya dan secara tiba-tiba mereka tergeletak terkapar tak sadarkan diri.
Tiga orang itu, melancarakan aksinya. Mereka diberi misi untuk menghabisi nyawa Pak Bekisar. Keesokan harinya, ayam-ayam itu terbangun menjelang siang yang terik. Mereka kelaparan, berkokok seakan memaklumatkan kepedihan, menunggu majikannya memberi makan. Namun, mereka tak pernah tau. Majikannya itu tergeletak meregang nyawa dengan kepala dan badannya nyaris terpisahkan.
[1] Viral beberapa bulan yang lalu pada tanggal 18 April 2023 seorang kades di desa kalisari yang didemo ribuan warganya sebab ia menolak untuk Kembali menjadi Kades. Berita ini diupload oleh tribunnews.com