Bingkai Fotomu, Amel Hodžić, Ialah Katedral Masa Lalu

Oleh: Puisi Nafi Abdillah

Mendapatimu lagi dalam bingkai rangka raut yang beku, 

telah kutampung berpotong alasan untuk kembali menyusuri katedral masa lalu.

Meski kini kutemukan bentuk syukur paling terukur  

ialah tak lagi kujumpai perasaanmu yang sakit sebab menyerap berlarat hati.

Sungguh, usai pengembaraan riangmu dari dunia yang tak genap,

telah kaureguk berbotol takdir yang menghalau nubuat nelangsa dan nestapa.

Karena itu, kubutuhkan doa dari tanganmu yang paling pasrah

demi menghadapi keterpurukan usai napasmu dikecup oleh ajal.

Selama ini telah kupelajari cara mengendap doa untuk melafalkan ‘maaf’

pada dunia dan perang, pada dendam yang membius kerja otakku.

/Sarajevo, 1992

Mei bergetar, kita masih sepasang bocah yang baru mekar

yang belum fasih menakar arti perang ialah kedamaian yang terus menerus terkapar.

Kita sama-sama melarung tubuh ke halaman, Taman Hastahana, atau Lapangan Marsala,

tanpa tahu jika deru pesawat jet ialah ancaman. Derap lars para serdadu

bukanlah sekadar sekawanan semut yang mudah buyar barisannya.

Desing peluru dan dentum granat bukanlah kembang api

yang kita rayakan di Hari Ajvatovica.

Tapi ialah ketakutan yang berdiri tanpa mengenakan topeng,

nyata dan senantiasa meninggalkan bilah-bilah ancaman

untuk hidup yang tak lamat-lamat kita rawat.

Seolah kecamuk perang adalah fantasi liar seorang bocah

yang belum mampu secara jernih mendakwa diri

sebagai seseorang yang sanggup memberi batas antara ancaman dan kesenangan.

Oleh karenanya, berondongan peluru dengan mudahnya menandai titik sasaran

ke sekumpulan bocah yang sedang membenamkan diri ke dalam sukacita.

Sayangnya, kau tak cukup tangkas melindungi sebidang dadamu

hingga sebuah peluru yang menembus, menjelma sakit yang keterlaluan.

Kugotong tubuh beserta air matamu ke dalam rumah,

sebelum tibanya sirine membawamu ke rumah sakit ibu kita bekerja.

Namun, di pangkuan keibaan ibu, kau tak lagi kuat dan muat

menanggung lara yang mumpuni itu.

Perjalanan air mataku meledak, mendapati tubuhmu tak lagi mampu merasai.

Hingga hari ini, di hadapan sisa fotomu, doaku berkali-kali patah oleh air mata.

Walau telah kulingkari bebutir tangis di sebuah angka kalender dan catatan ingatan

sebagai bentuk tafakur bahwa kita pernah sama-sama menghadiahi hari-hari

dengan sukacita yang sembarangan. Aku selalu payah menghindari hari luka itu.

Apalagi ketika sisa-sisa fotomu yang terbuka dan meminta sepotong smokvara

yang coba kumakan lengkap dengan air mata dan ingatan.

Namun barangkali, sisa-sisa fotomu ialah penanda bahwa

kita pernah sama-sama melarung sukacita tanpa sedikit pun memikirkan

rasa takut yang mengancam leher.

Sungguh, soal rindu, tak bisa kukatakan tidak.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami