Bocah Pedagang Asongan

Abdul Aziz

Bocah Pedagang Asongan

Suatu hari dimana hujan kembali menyirami bumi, hujan ini adalah yang pertama di tahun sekarang. Aroma tanah yang khas masih bisa dicium dengan jelas. Sangat menenangkan memang.

Sore ini adalah hari biasa dimana jam pulang kerja yang melelahkan tiba, sayangnya aku tak membawa payung kali ini. Lagipula ini bukan salahku juga, para presenter acara ramalan cuaca mengatakan hari ini akan cerah, begitu pula aplikasi di handphone ku. Tapi disisi lain ini juga suatu hiburan bagiku untuk melihat orang-orang berlarian mencari tempat berteduh meski penuh lelah dan kekesalan, juga para pengendara yang mulai menepi atau memacu kendaraannya sekencang mungkin.

Aku juga termasuk orang yang berusaha secepat mungkin sampai rumah kemudian menikmati hujan dari jendela kamar sambil ditemani the hangat. Rencana tersempurna yang pernah kubuat.

Namun, sekarang rencana itu hanya angan belaka. Karena ada seorang anak kecil sekitar 11 tahunan yang menarik perhatianku. Dia berdiri di halte bus seberang jalan, menenteng dagangannya, pakaian lusuh, tampilan tak terurus, tidak peduli dengan badannya yang basah kuyup dia tetap mempertahankan senyum di wajah mungilnya itu. Gambaran yang begitu tepat tentang bagaimana kerasnya dunia bisa mengubah seseorang.

Didasari rasa simpati, aku langsung mendekatinya dan melupakan rencana awalku untuk secepatnya pulang. Menghiraukan pakaiannya yang mulai basah aku sampai didepan anak itu, aku rasa dia tidak menyadari kehadiranku. Dari dekat aku bisa lihat dengan jelas betapa memprihatinkannya dia.

“ Dik, apa yang kamu lakukan hujan begini?” tanyaku mencoba memulai percakapan.

“ Ah! Maaf kak. Aku sedang berjualan disini, apa kakak mau membeli sesuatu? Semua daganganku dipastikan enak kok kak. Seperti minuman ini, ini bisa membuat kakak…”

Tubuhnya menegang sesaat, aku rasa benar tadi dia tidak menyadariku. Dia terus menjelaskan satu persatu dagangannya dengan semangat  layaknya seorang sales. Senyumku tidak tertahan untuk mengembang, karena semua yang dikatakannya itu sama dengan aps yang ada di iklan tv.

“ Baiklah, aku rasa aku akan membeli minuman ini. Berapa harganya dik?” aku memutuskan untuk membeli dagangannya, bagaimanapun juga dia sudah berusaha keras untuk menjelaskan produknya.

“ Itu Cuma 7 ribu kak “ Jawabnya ceria.

“ Ini untukmu, kamu ambil saja kembaliannya. Oh ya dik, bolehkah aku bertanya sesuatu kepadamu?” kataku sambil menyerahkan uang 10 ribuan kepadanya.

Mendengar itu wajahnya terlihat bahagia. “ Terima kasih kak, tentu saja kakak baik boleh bertanya kepadaku.”

“ Umm, kenapa kau berjualan keliling begini, biasanya anak seusiamu belajar atau bermain kan? “ aku memberanikan diri untuk menanyakan hal ini kepadanya.

Setelah kata itu terlontar dari mulutku, hanya diam yang kudapat darinya. Dia juga sudah menundukan kepalanya, hilang sudah senyum yang biasa tertoreh diwajahnya itu. Aku menjadi tidak enak sendiri, aku tau mana ada anak kecil yang mau menjawab pertanyaan semacam itu, jawabannya pun paling hanya hal simpel seperti mencari uang atau disuruh. Bagus sekali rasa penasaran ku, kau telah membuat seorang anak kecil menjadi sedih.

“ Maaf dik, jika-“ omonganku terpotong, karena dia tiba-tiba mengangkat kepalanya kembali, meskipun tidak ada senyuman disana, wajah santai dan tenang menjadi penggantinya.

“ Tak apa kok kak, aku rasa kakak juga bukan orang yang jahat. Jadi, sebenarnya aku mulai berjualan sejak ayahku meninggal 1 tahun lalu. Bagaimanapun juga ibu belum tentu bisa mencukupi kebutuhan aku dan 2 adikku dengan hanya  bekerja di tetangga, jadi aku memutuskan untuk berjualan dan berhenti sekolah.” Jawabnya.

Rasa iba ku semakin bertambah mendengar ceritanya, meski aku tahu banyak juga diluar sana yang bernasib sama seperti dirinya, walau sedikit berbeda ceritanya. Kehadiran orang tua lengkal memang sangatlah vital untuk pertumbuhan anak. Salah satu dari mereka tidak ada maka perkembangan anak bisa mengalami perubahan yang signifikan, entah positif atau negatif. Beruntungnya anak ini perkembangan karakternya menjadi positif, dia rela berhenti sekolah untuk meringankan beban ibunya.

Setelah itu, aku juga menanyakan beberapa hal lain kepadanya. Satu hal yang kudapat dari mengobrol dengannya adalah kalau dia seorang pekerja keras, dan sifatnya itu dia dapat dari ayahnya yang sudah meninggal. Kami mengobrol cukup lama, sampai lampu jalan yang menyala menyadarkan kami, hujanpun sepertinya sudah mereda.

“ Oh ya dik, apa yang membuatmu selalu bekerja keras?” tanyaku. Jujur saja aku sangat penasaran dengan motivasi anak ini untuk selalu bekerja keras itu apa.

“ Itu karena ayahku pernah berkata kalau hidup ini bagaikan sepeda, jika kau ingin mencapai tujuanmu kau harus bekerja untuk mengayuhnya dan jika kau hanya diam tak melakukan apapun  maka kau akan jatuh. Begitu kata ayahku kak.” Jawabnya mantap.

Aku merenungkan jawabannya itu beberapa saat.

“ Terima kasih dik, ini uang untuk membantu keluargamu ya.” Kataku sambil menyerahkan 5 lembar uang 100 ribuan yang agak basah karena hujan kepadamya. Wajahnya terlihat sangat senang, aku berani bertaruh kalau dia pasti akan menyerahkan uang ini ke ibunya. “ Sudah sore nih dik, lebih baik kau pulang keluargamu pasti menunggu hasil berdagangmu dan terutama keselamatanmu kan.”

“ Ah, iya terima kasih ya kak sudah mau membantuku.” Dia menundukan kepalanya kepadaku lalu langsung melenggang pergi.

“ Sama-sama “ bisikku. Aku juga mulai berjalan pulang, masih ada teh hangat dan kasur yang menunggu ku, setidaknya hari ini aku bertemu hal yang menarik dan bisa membangkitkan semangat bekerjaku lagi.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami