Bukan Siti Nurbaya

Oleh: Maria Lourdes

 “Katakan pada mama, cinta bukan hanya harta dan tahta

Pastikan pada semua, hanya cinta yang sejukkan dunia-“

Tanganku bergerak mematikan radio tua itu, kemudian menengok kesamping dan tersenyum sarkas padanya. Namanya Ati, Larasati, temanku sejak kecil. Lagu barusan memang sengaja untuk menyinggungnya, “Siti Nurbaya” ke-36 di desa kami. Setelah sebelumnya, Asri, kakaknya menjadi “Siti Nurbaya” ke-34. Di desa kami, mungkin hanya aku satu-satunya yang tidak akan menjadi “Siti Nurbaya”. Para orang tua di desa kami yang memiliki anak gadis, memilih untuk menikahkan sang anak dengan anak para juragan dari desa sekitar.

 Beberapa yang beruntung akan mendapat anak juragan yang kaya dan baik hati, sisanya mungkin mendapat anak juragan yang arogan dan kasar, atau bahkan mendapat sang juragan itu sendiri. Gerobak sayur Mang Didin menjadi ajang para ibu pamer dan adu menantu siapa yang paling kaya. “Anak dara itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, 17 tahun langsung aja dinikahkan, keburu jadi perawan tua,” kata Bu Kades waktu itu. Stigma kuno “Perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi, ujung-ujungnya kerja di dapur juga” seperti menjadi prinsip turun-temurun di desa ini. Aku cukup beruntung, sebab aku tidak akan bernasib sama dengan gadis-gadis itu. Aku dibesarkan oleh nenekku yang kupanggil Mbah. Orang tuaku menitipkanku pada Mbah, sebelum mereka pergi entah kemana. Pun sekarang aku sebatang kara karena Mbah meninggal 3 bulan lalu.

Budaya “Siti Nurbaya” itu seperti tradisi di desa kami. Ati, sahabatku, adalah “Siti Nurbaya” ke-36. Seminggu lalu ketika aku tengah menimba air di sumur belakang rumah, dia datang dan menangis. Aku tidak terkejut, aku tau ini akan terjadi padanya, dia dijodohkan dengan Juragan Anto, pemilik perkebunan teh di desa seberang. Malang nian nasib sahabatku ini. Juragan Anto punya 5 istri dan 7 anak yang  usianya hanya berbeda sedikit dengan Ati, bahkan anak tertua juragan Anto lebih tua darinya, bagaimana bisa ia menjadi ibu dari sebayanya. Aish, orang tua Ati pun memiliki watak yang keras dan tak suka dibantah, suka memaksakan kehendak, seluruh  desa tau itu.

Tangisan itu sangat pilu di telingaku, Marah, kecewa, sedih, menjadi padu bersamaan dengan bulir bening yang jatuh dari matanya, “Bagaimana ini Ning? Aku tidak mau menikah dengan tua bangka botak itu! Mak dan Abah keterlaluan! Bisa-bisanya mereka menjodohkan aku dengan tua bangka mata keranjang itu hanya karena sebuah perkebunan. Ini namanya aku dijual Ningsih! Aku harus bagaimana?” Hancur sudah impiannya untuk menikah dengan sang pujaan hati yang tengah mengadu nasib di ibukota. Padahal sebulan lalu ia baru mendapat kabar bahagia dari sang arjuna di tanah orang, bahwa mereka akan segera menikah begitu sang pujaan hati pulang dari rantauannya.

Kudengar dari Mbok Darmi, tetanggaku yang bekerja sebagai pelayan dirumah Ati, sepulang dari rumahku hari itu, malamnya Ati berusaha melarikan diri namun gagal karena tertangkap Abahnya. Karena takut akan kabur lagi, maka keesokan harinya juragan Anto dan orang tua Ati sepakat untuk melakukan pernikahan besoknya. Hari itu hari pernikahan Ati dan Juragan Anto, dan hanya dihadiri oleh keluarga Juragan Anto, Bapak dan Ibu Kades, juga kedua orang tua Ati.

Lagi-lagi Ati kabur, namun sepertinya kali ini dewi keberuntungan tengah memihaknya. Ia berhasil lari dari rumahnya lewat jendela kamarnya sebelum disadari oleh orang-orang, tepat sebelum ijab kabul. Aku tau bagaimana ini akan berakhir dengan begitu menyedihkan. Ah kasihan kamu Ati, sahabatku yang malang. Tersadar dari perenunganku tentang Ati, aku melihat pemandangan desa dari atas bukit ini, khas pedesaan umumnya, masih hijau dan asri. Suara berat pria paruh baya membuatku mengalihkan pandangan, “Neng Ningsih, ngapain disini sendirian?” sapa orang itu membuatku berbalik seraya tersenyum, “Eh, Mang Darto, Ningsih hanya sedang mencari angin segar saja,” jawabku. Sembari tersenyum, ia mengakhiri obrolan kami yang terlewat singkat,“Ya sudah, Mang Darto pulang duluan yah, sudah sore. Neng Ningsih jangan lama-lama disini, sudah mau maghrib, tidak baik, Assalamu’alaikum,” pamitnya sembari membawa peralatan berkebunnya, “Wa’alaikumsalam hati-hati Mang,” balasku sambil menatap tubuh jangkungnya yang pelan-pelan hilang dari pandanganku.

Kulihat langit mulai menyombongkan keindahan jingganya, tanda sebentar lagi surya akan kembali ke peraduannya. Kulihat kembali koran digenggamanku, koran yang beberapa hari lalu menggegerkan se-isi desa. Berita utamanya terpampang jelas dengan judul yang besar, tepat di halaman pertamanya. “Seorang Gadis Ditemukan Tewas Gantung Diri di Perkebunan” Aku tidak kaget membacanya. Tanpa membacanya keseluruhan pun aku sudah tahu, siapa gadis itu. Jiwa resah nan gelisahnya dapat kurasakan. Tangisan pilunya masih dapat kudengar, disampingku.

Scroll to Top
× Hubungi kami