Cinta Bajing

Zainul Muttaqin

Bibir Lessap menyungging tipis. Ia menyaksikan seorang tandak[1] yang sedang memainkan penjung[2] dengan lentik jari-jemarinya. Laki-laki paruh baya itu menggelengkan kepalanya berkali-kali. Takjub ia dengan kepandaian sang tandak yang sangat lihai menggoyang tubuhnya mengikuti suara gamelan yang dimainkan oleh kesatuan grup dari Tang-Batang.

Pandangan seluruh tamu di pesta pernikahan anaknya Murakkab hanya tertuju pada permainan penjung sang tandak. Lessap menelan ludah. Dadanya berdegup setelah penari itu mendekatinya. Ia mencium aroma parfum sang tandak yang wanginya sangat lembut. Penjung dikalungkan di leher Lessap. Tepuk tangan dan sorak sorai dari teman-temannya sesama bajing membuat Lessap terlihat gagah.

Pesta pernikahan yang digelar oleh Murakkab itu memang dihadiri banyak bajing. Murakkab sendiri dikenal sebagai bajing yang disegani di desanya. Keamanan desa Banuaju diserahkan kepada Murakkab. Gelak tawa pecah. Lessap mencoba menyesuaikan goyangan tubuhnya dengan sang tandak. Keringat membasuh tubuh Lessap.

Berada di atas panggung, Lessap mengeluarkan lembar demi lembar uang dari sakunya. Sesekali ia berusaha menyelipkan uang itu ke balik baju sang tandak. Perempuan dengan dandanan menor itu akhirnya membiarkan tangan Lessap masuk ke balik kutangnya, menyelipkan uang dua ribuan satu persatu.

Ahwiyani, nama tandak itu, tak menolak Lessap untuk menyelipkan uang ke balik bajunya itu lantaran Ahwiyani tahu Lessap adalah seorang lelaki bajing paling disegani. Tersenyum agak ragu Ahwiyani. Lessap turun dari atas panggung, bergabung bersama teman-temannya di bawah.

Bulan serupa celurit mengintip dari balik pohon siwalan. Tamu-tamu yang hadir di pernikahan anaknya Murakkab mulai pergi satu persatu. Musik gamelan tetap dimainkan dengan komposisi yang semakin bergairah. Para bajing dari berbagai desa, teman-teman Murakkab itu tidak beranjak dari tempatnya semula. Penjung itu dikalungkan secara bergantian di leher mereka oleh Ahwiyani.

Dengan mengalungkan penjung, kata Ahwiyani, para bajing itu harus memberinya saweran. Jika penjung itu sudah dikalungkan ke salah satu bajing itu, dan ia menolaknya lebih-lebih tak sanggup memberi sang tandak saweran, maka hal itu sama saja dengan mempermalukan dirinya sendiri di kalangan bajing. Tidak hanya itu, bajing yang lain akan meledeknya terus menerus.

Gelas-gelas kopi berserakan. Angin malam yang membawa hawa dingin tidak dirasakan sama sekali oleh Lessap. Laki-laki itu gerah. Ia buka kancing bajunya. Para bajing yang lain juga terlihat mengusap keringatnya. Lessap memperhatikan wajah Ahwiyani. Dalam pandangan mata Lessap, tampak kecantikan Ahwiyani dipoles bedak tebal dan gincu merah di bibirnya bagai seiris jeruk.

Tidak tahu mengapa semua tandak selalu terlihat cantik luar biasa. Semata-mata itu semua karena senasren[3] yang dibalurkan ke wajah mereka. Kecantikan Ahwiyani memang tergaris sejak lahir, apalagi ditambah senasren ketika ia diundang sebagai tandak pada acara pernikahan atau pun hajatan lainnya. Terlihat berlipat-lipat kecantikan Ahwiyani.

Siapapun yang mendapat penjung dari Ahwiyani, maka seketika itu juga hilang pikiran soal anak istri di rumah. Berapapun uang yang ada dalam kantong bajing itu akan diberikannya kepada Ahwiyani tanpa pernah berpikir, apakah anak dan istrinya di rumah bisa makan atau tidak.

Seseorang datang mendekati Lessap. Berbisik ia di telinga laki-laki paruh baya itu. Mengatakan pada Lessap jika di rumahnya sedang ada tamu lelaki. Pikiran Lessap mulai resah. Tidak mungkin istrinya selingkuh. Tidak mungkin berani perempuan yang sudah dinikahinya lima belas tahun silam berbuat kurang ajar seperti itu.

Lessap pamit duluan kepada teman-temannya. Ia ingin memastikan apakah benar yang dikatan Dullatip barusan. Dullatip adalah tetangga Lessap yang rumahnya hanya dipisah pagar beluntas. Gegas Lessap melangkah melewati semak-semak, berjalan di pinggiran sawah-sawah yang habis panen. Laju napas Lessap naik turun.

Tiba di depan rumahnya, Lessap melihat pintu tertutup. Ia tidak langsung masuk. Diam-diam Lessap melangkah. Gerak kakinya diangkat pelan-pelan agar tak menimbulkan bunyi. Dari kejauhan Dullatip melihat Lessap yang mengendap-endap. Dullatip was-was akan terjadi carok. Lessap pasti akan mengambil celuritnya dan menantang lelaki yang sedang berduaan dengan istrinya di dalam itu.

Melalui celah jendela Lessap mengintip. Ia melihat istrinya tidur di pangkuan seorang lelaki. Dibelai rambut istrinya itu oleh lelaki yang sangat dikenalnya oleh Lessap. Degup jantung Lessap terdengar kacau. Ingin ia mendobrak pintu dan langsung mengambil celurit yang digantungnya di balik pintu. Tapi, Lessap mengurungkan niat itu.

Lelaki yang sedang berduaan dengan istri Lessap itu adalah Sarkap. Ia berasal dari desa sebelah. Lessap memang mengendus perselingkuhan itu sekitar tiga bulan lalu. Hanya saja Lessap tidak melihat bukti perselingkuhan itu dengan mata kepalanya sendiri. Dugaan Lessap itu kini terjawab.

“Kenapa nggak didobrak?” Dullatip bertanya. Lessap menggeleng dan tersenyum sinis.

“Kenapa?” Dullatip kembali bertanya.

“Tidak ada gunanya mempertahankan perempuan murahan seperti dia.”

“Lalu?”

“Akan kuceraikan besok.”

“Kamu mau membiarkan istrimu dengan selingkuhannya?”

“Perempuan yang sudah selingkuh tidak pantas lagi untuk diperjuangkan.”

Lessap meninggalkan Dullatip yang masih berdiri bingung. Dullatip merasa baru sekarang melihat reaksi seorang lelaki yang istrinya selingkuh tak menantang carok. Selama ini, harga diri selalu menjadi alasan digelarnya carok. Tidak dengan Lessap yang mengaku sama sekali tak merasa harga dirinya dilecehkan karena istrinya selingkuh. Justru, kata Lessap, istrinya sendiri yang membuat harga diri perempuan rendah karena perbuatan menjijikkan itu.

Lessap kembali ke rumah Murakkab. Malam semakin larut. Suara gamelan yang mengiringi Ahwiyani tetap mengalun. Lessap mendesah kesal. Teman-temannya melihat raut muka Lessap keruh. Tanpa Lessapta Lessap menceritakan saja apa yang terjadi di rumahnya barusan. Lessap menyulut sebatang rokok dan mengembuskan asapnya dengan kesal. Musik gamelan berhenti sebentar. Ahwiyani istirahat. Para bajing itu duduk bersila di atas karpet yang digelar di depan panggung.

“Kenapa tak kau tebas saja leher Sarkap?” Pertanyaan temannya hanya dijawab gelengan kepala oleh Lessap.

“Kamu ini bajing apa banci? Sama Sarkap saja nggak berani. Sarkap bukan bajing. Sarkap hanya pedagang sapi. Kamu takut?”

“Aku tidak takut pada siapapun.” Jawab Lessap seraya menghisap batang rokoknya.

“Lalu, kenapa kau tak tebas saja leher Sarkap? Harga dirimu sebagai lelaki sudah diinjak-injak. Kau memang sanggup menjaga keamanan desa. Tapi sayang kamu nggak mampu menjaga istrimu.”

Lessap mengambil napas, dan berucap, “Harga diri apa yang kau maksud? Hah! Aku pasti angkat celurit kalau istriku diganggu orang. Kalau istriku menolak bujukan lelaki. Bagaimana aku bisa mengangkat celurit kalau istriku sendiri membiarkan Sarkap membelainya. Apa yang perlu aku bela?”

Untuk beberapa saat teman-temannya Lessap itu terdiam. Mereka saling pandang. Mencerna kata-kata yang diucapkan Lessap. Mulai terdengar kembali suara gamelan dimainkan dengan nada lirih. Lessap kembali menyulut rokok. Tidak tahu berapa banyak batang rokok yang sudah ia isap. Ia memang tidak peduli asap memenuhi dadanya.

“Tak ada guna mengangkat celurit untuk perempuan murahan seperti itu. Perempuan seperti itu sebaiknya dicerai, bukan dibela.” Lessap mengatakannya dengan nada kecewa. Asap rokok bergulung-gulung di atas kepalanya.

Sebelum subuh, musik gamelan yang mengiringi tarian Ahwiyani sudah berhenti. Dalam semalam Ahwiyani mendapat banyak saweran dari para bajing. Sementara para bajing itu pulang dengan kantong kosong. Lessap pulang ke rumahnya, membuka pintu pelan-pelan. Dilihatnya sang istri itu duduk santai di ruang tamu.

“Sudah habis uangnya? Berapa banyak yang sudah kau hambur-hamburkan pada tandak?” Istri Lessap berkata sinis. Lessap tak menanggapi. Ia hanya mendesah.

Lessap baru menghampiri istrinya sepuluh menit kemudian. Laki-laki itu sengaja membiarkan istrinya ngoceh tak jelas. Ia akan menceraikan istrinya sebentar lagi, sebagaimana rencana semalam. Angin pagi hari masuk melalui celah jendela. Gorden sedikit bergeser. Lessap memandang wajah istrinya. Tidak tega Lessap untuk mengucap cerai kepada istrinya lantaran laki-laki paruh baya itu memikirkan nasib anak lelaki semata wayangnya.

Tapi apa boleh buat, kata Lessap dalam hati. Tidak mungkin ia hidup dengan perempuan yang sudah menghianati cintanya. Tapi tidak mungkin juga ia membiarkan anak lelakinya yang masih berumur sepuluh tahun itu menanggung kesedihan akibat perpisahan kedua orang tuanya.

“Siapa lelaki yang tidur bersamamu semalam?” Markoya kaget mendengar pertanyaan itu dari suaminya. Ia menunduk.

“Dia seorang lelaki yang menghangatkanku saat kedingingan, dan mendinginkan saat kepanasan.”

“Kurang ajar! Kau berani selingkuh!” Lessap mengeluarkan kata-katanya seperti kobaran api.

“Sejak kapan kau mulai peduli padaku? Bukankah setiap malam kau menari sama tandak dan menghamburkan uang dengannya. Kau tak pernah tanya, apa istri dan anakmu ini sudah makan apa belum. Lalu, siapa yang salah?” Gerimis jatuh dari sudut mata Markoya. Suaranya terdengar sendu.

Lessap mencangkuli dirinya. Tidak dapat ia membalas kata-kata istrinya. Lessap memang mengakui  gemar menari sama tandak dan rela juga memberikan saweran berapapun kepada tandak. Setiap melihat Ahwiyani menari, Lessap dibuat tak berdaya. Kelemahan lelaki terletak pada pandangannya. Sedangkan kelemahan perempuan ada pada rabaan. Karena itulah istri Lessap selingkuh, sebab Lessap sudah berbulan-bulan mengabaikan istrinya setiap malam.

Sambil memandang ke arah celurit yang digantung sungsang di atas pintu, Lessap memeluk istrinya.

Pulau Garam, 2022

Keterangan:

[1] Tandak: penari

[2] Penjung: selendang tari

[3] Senasren: mantra yang bisa membuat wajah seseorang terlihat lebih menarik

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami