Daging Di Pelataran Belakang Rumah

Oleh : MAMY DHATUS SHIMA

Lasmi terperanjat, belum sempat dia merasakan nyenyak dari tidur siangnya, kini, sudah dibuat terbangun oleh suara lengkingan berasal dari samping ruang kamarnya. Hatinya mulai was-was, takut kalau suara itu berasal dari Karto, anak semata wayangnya.

Akhir-akhir ini Karto kerap ngamuk, bahkan sampai kesetanan. Lasmi jadi kalang kabut kebingungan bila anaknya sudah datang dari sekolah atau seusai bermain dengan teman sebayanya. Bukan hanya sebab aksi keras Karto yang mengacak dapur tua di rumahnya, tetapi juga karena permintaan, sekaligus alasan dari semua tindak tanduknya, Karto ingin makan daging.

Lasmi mulai tergopoh menghampiri anaknya yang berusia 18 tahun itu. Niatnya mencoba mencegah Karto agar bisa terkendali dan tak bertindak lebih parah lagi. Namun, Ketika sampai, Lasmi terbelalak, netranya tak lepas pandang dari tubuh Karto yang menginjak-injak kendi tempat penyimpanan beras.

Kaki Karto masih terus menginjaki benda yang terbuat dari tanah liat itu sampai pecah tak tersisa, meski ia menyadari keberadaan Lasmi di sampingnya. Beras yang tersimpan sedikit untuk persediaan beberapa hari kedepan kini berserakan, bercampur dengan alas rumah yang masih tanah.

“Karto!” teriak Lasmi, merah padam rautnya. sejurus kemudian, tanpa pikir panjang, ia Tarik kencang tangan anaknya. Ketika berbalik, dengan spontan tamparan Lasmi mendarat tepat pada pipi lelaki kurus itu, “APA YANG KAU LAKUKAN KARTO?!” tersenggal-senggal napas Lasmi mengatur emosi dalam diri. Netranya masih tak beralih menatap anak yang telah dikandungnya selama sembilan bulan itu.

*

“Izinkan aku pergi merantau, Mas,” izin Lasmi lembut pada suami.

Rahman membalikkan kepalanya menghadap istrinya. Ucapan Lasmi benar-benar mengagetkannya. Dipandanginya wajah kerut yang telah menanggung beban keluarga itu. Siang malam, wajah itu tak letih selalu mencoba menghibur Rahman beserta anaknya. Ah, semua karena dirinya, pikir Rahman. Seandainya dia berhati-hati dan tak menyerobot rel keretaapi tiga tahun silam, pasti ia masih memiliki sebelah kakinya yang kini pincang, pula kini ia pasti sudah bekerja dan tidak lumpuh di atas pembaringan.

Meski begitu, bukannya Rahman tak tau soal-menyoal alasan istrinya ingin merantau, ia bahkan mengetahui kalau selama ini Lasmi kerap bertengkar dengan anaknya sampai ia mendapat banyak balasan dari Karto yang tak mau kalah telak, Rahman bahkan mengerti betul keinginan anaknya untuk makan daging sangat brutal.

“jangan Lasmi! Bagaimanapun kau adalah istriku, kau tak ingat, cerita perihal Ratih? Apa kau masih ingat Yu’ Satin?” tanya Rahman menyanggah.

Lasmi diam, ia ingat dua tentangganya itu. Ratih, tetangganya yang hilang kabar entah kemana setelah pergi merantau di negeri jiran. 10 tahun ia meninggalkan dan menelantarkan keluargannya di kampung. Pula ia tahu betul soal Yu’ Satin yang tak beruntung mendapat majikan. Ia kerap disiksa, dipukuli bahkan dilecehkan oleh majikannya hingga harus meregang nyawa.

“Tapi Mas, Karto makin Hari, makin keras keinginannya. Ia juga sudah cukup besar, tak dapat kubujuk apalagi kutipu. Aku bahkan sudah mencari pekerjaan di berbagai tempat, namun semua butuh ijazah. Bekerja serabutan pun tak membutuhkan tenaga kerja wanita,” keluh Lasmi.

“Biar aku saja yang bekerja. Se—,”

“Dengan keadaanmu seperti ini? Bekerja apa Mas? Bekerja bagaimana?” tanya Lasmi sangsi memotong ucapan Rahman.

Rahman diam, Tak ada yang salah dari ucapan istrinya. Ia benar-benar mengutuk dirinya sendiri. Namun, sebagai kepala keluarga, merupakan sebuah tanggung jawabnya memberi nafkah dan membiayai anak serta istrinya.

“Lasmi,” panggil Rahman lirih, “Aku adalah kepala keluarga, ini adalah tanggung jawabku. Serahkan saja ini padaku.”

*

Karto terkejut, berkali-kali ia menampar pipinya. Ia tak percaya dengan apa yang ada di hadapannya, Sebuah hal yang tak pernah terjadi seumur hidupnya. Tudung nasi yang biasanya ia buang ketika marah karena tak terdapat apapun yang ia inginkan di dalamnya. kini, sudah terisi nasi, buah, bahkan daging seperti yang ia inginkan.

Tanpa menunggu, lelaki berseragam putih abu-abu itu segera melesat cepat mengambil porsi sarapannya. Dengan lahap ia menyantap masakan ibunya

Hal langka pun dirasa oleh Lasmi, Karto yang biasanya setiap pagi akan menuntut ilmu tanpa pamit padanya. Namun, pagi ini ia malah dengan terang mencium tangan ibunya, dan yang mengejutkan lagi, Karto mengucap salam sebelum melangkahkan kaki.

Saat pulang, Karto datang dengan tenang. Seragam yang biasanya ia lempar sembarang, kini ia gantung di tali jemuran. Hal biasa yang mungkin dialami dan dirasakan oleh orang tua pada umumnya, tapi merupakan sebuah warna baru yang dirasakan oleh Lasmi.

*

Sore itu, Karto meminta Lasmi menemaninya makan di depan teras rumah. Lasmi mulai paham pada perubahan sikap Karto, ia berubah semenjak Lasmi menghidangkan masakan daging seperti yang Karto inginkan.

“Ibu pasti meminjam uang pak Darsono kan?  Kenapa tak sedari dulu?” tanya Karto sarkas.

Lasmi tak mengomentari ucapan Karto. Merasa tak dijawab, Karto lantas memandang wanita berkepala tiga itu.

Karto seketika menyadari, raut wajah ibunya yang keriput tampak letih dan pucat, matanya bengkak merah muda seperti sehabis menangis semalaman, tatapan matanya yang dulu terlihat lembut, kini tampak sayu.

“Bu,” panggil Karto lirih.

Lamunan Lasmi lenyap oleh tangan Karto yang menggengamnya.

“Ibu sakit?” tanya Karto lembut.

Lasmi menggeleng, “Nak, kau tau? Kau bisa merasakan ini semua karena bapakmu, berterimakasihlah padanya.”

Karto terbelalak, ia tertawa, “Apa yang dilakukan orang pincang itu? Apa ia bekerja?”

Lasmi terpancing emosi, “Jaga mulutmu Karto! Orang yang kau hina itu adalah bapakmu!” kemudian Lasmi memilih beranjak pergi memasuki rumah, meninggalkan Karto yang diam seribu bahasa. Karto tetap tak berubah, pikir Lasmi. Ia tetap akan terus menghina bapaknya.

*

Sebuah rutinitas wajib yang tak boleh ditinggalkan oleh Lasmi kini ialah menghidangkan masakan daging kesukaan Karto. Entah kenapa masakan daging yang Lasmi buat begitu berpengaruh terhadap anaknya.

Beberapa hari terakhir, Karto menunjukkan pribadi yang berbeda, ia kini lebih sering belajar di rumah daripada memilih bermain dengan teman sebayanya, bahkan kini, anaknya mulai sibuk dalam berbagai komunitas di sekolah sampai daerah, selain itu, Karto bahkan kerap mengikuti olimpiade dan turnamen di berbagai tingkatan, bahkan tak jarang ia menorehkan prestasi yang mengharumkan nama sekolah.

Hal seperti itu terus berlanjut sampai Karto tamat dari bangku SMA. Karto lulus dengan predikat “Siswa Teladan” dan jejeran penghargaan lainnya. Alhasil Lasmi diberi tempat duduk khusus oleh panitia purna di sekolah anaknya. Sebuah kebanggaan bagi Lasmi, melihat anaknya yang kini gemilang namanya, bahkan mendapat tawaran di berbagai universitas ternama.

*

Enam tahun berlalu, kini Karto tumbuh menjadi lelaki sukses, karirnya mapan, tinggal di kompleks perumahan elite di kota, hidupnya tampak makmur, tak ada jejak kelaparan seperti yang dialami semasa kecilnya.

Setelah beberapa tahun lamanya, kini Karto kembali menginjakkan langkah di perkampungan kumuh tempat kelahirannya. Kakinya menyusuri setapak demi setapak tempat yang dulu sering jadi pelataran main bersama teman sebaya. Tak ada yang berubah, bahkan tempat ini tambah terlihat kumuh setiap tahunnya.

Karto berhenti tepat di depan gubuk reot berukuran 5×3 meter itu. Senyumnya merekah ketika berhadapan dengan Lasmi yang menyambutnya, segera ia dekap tubuh bidang anaknya yang telah lama tak ia jumpa.

Lasmi menahan kedua bahu anaknya, dipandangi dengan lekat Karto dari ujung sepatu sampai rambutnya, anaknya sudah tumbuh dewasa dan lebih berisi, jas hitam yang dipakai terlihat licin sehabis baru disetrika rapi dengan dasi yang menggantung di lehernya, kulit karto tampak bersih kuning langsat, baunya pun wangi parfum impor mahal.

 Lasmi tak henti menarik senyum di raut mukanya yang telah keriput, “Ayahmu pasti bangga padamu Karto.”

Seketika raut wajah Karto berubah, ia menepis tangan Lasmi yang tersampir di bahunya, “Kenapa Ibu membicarakan orang itu?!” Karto mendengus kasar, “Aku kemari untuk menemui Ibu, aku pun rindu masakan daging yang pernah Ibu masak dulu.”

Lasmi terdiam lama, beberapa menit kemudian, baru ia menjawab, “kenapa kau tak sedikitpun berubah mengenai bapakmu, Karto?”

Karto mendengus, “Sudahlah Bu, orang pincang itu tak penting, dia sudah lama meninggalkan kita,” Karto merogoh sakunya, “ Ini, Karto punya uang. Ibu bisa membeli daging sekarang, aku rindu masakan daging buatan Ibu.”

Lasmi yang sedari tadi menahan emosi, kini tak bisa terbendung lagi, “Kau mau daging, Karto?” Tanya lasmi penuh penekanan.

Karto mengangguk dengan tenang.

“Akan aku tunjukkan padamu, daging yang kau inginkan!” tutur Lasmi penuh amarah, ditariknya tangan Karto menuju pelataran kecil di belakang rumahnya.

Bau busuk tiba-tiba menyeruak memenuhi indra penciuman Karto, semakin ia mendekati pelataran kecil itu semakin tercium kebusukannya, ia yang tak tahan dengan cepat merapatkan tangan menutup hidungnya rapat-rapat.

Karto tak mengerti mengapa Ibunya mengajakknya kemari. Setibanya, mata Karto terbelalak, badannya lemas, ia tercengang menatap jasad manusia yang tersisa tulang dan organ yang mengering terburai di antara semak-semak. Ia tau betul siapa itu, baju dan sarung lusuh yang dipakai jasad itu, ia mengenal betul mayat yang berkaki pincang itu.

Lasmi menangis dan berteriak histeris, “ITU DAGING YANG KAU INGINKAN!!!” ia menunjuk jasad suaminya, “selama ini daging yang kau makan adalah daging orang yang selalu kau hina! Itu daging bapakmu, Karto!”

Perut Karto seketika mulas. Ia merasa hina pada dirinya. Persendiaanya lemas, badannya ambruk.

“Bapakmu telah menjual ginjalnya setelah ia tau kau ingin melanjutkan sekolah, bapakmu pun tertabrak keretaapi karena buru-buru ingin membelikanmu sepatu, dan kau lihat! Dia terpaksa menjual ginjalnya lagi dan memberikan dagingnya agar kau bisa makan apa yang kau inginkan dan jadi sesukses ini!” ungkap lasmi akan rahasia yang selama ini ia simpan.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami