Darah yang Terus Mengalir

Fakta P. B.

Jelang akhir tahun, Rabu Pahing selepas petang, Kombes Barjo sudah tak bernapas di kediamannya. Kepala dan tangan kanannya terkulai layu di atas meja makan, sementara lengan kiri menggantung kaku di bawahnya. Ponsel pintar tergeletak di sebelah piring kaca berisi nasi merah, sayur bayam dengan potongan wortel dan mentimun, serta tahu goreng. Tak jauh dari tubuhnya, masih mengalun Kwartet Sunyi[1] yang diputar melalui tape deck dengan volume sedang, seperti menjadi latar penguat suasana saat nyawa sang petinggi kepolisian mulai terangkat ke langit. Pilu, haru, dan tragis.

            Kepergian dari salah satu pejabat penting tersebut sontak membuat segenap perwira kepolisian berkabung sekaligus gusar. Pasalnya, jasad Barjo telah dinyatakan meninggal dunia bukan lantaran diabetes—penyakit yang mengungkung fisiknya selama empat tahun terakhir—mendadak kambuh, tetapi ada seseorang yang telah menghabisi nyawanya. Tim investigasi dan forensik menyimpulkan analisis tersebut setelah melihat darah yang menggenangi lantai di ruang makan, berlimpah di kaki kursi dan meja. Genangan darah masih terus mengucur dari sayatan kasar di area tengkuk, bibir, dan tungkai kaki kanannya. Bahkan seluruh jari kaki kanan tersebut sudah tak bersisa, meski tidak ada bekas senjata tajam yang digunakan sebagai alat pemotong. Matanya mencelang dan mengernyitkan dahi; campuran dari ketakutan dan kemarahan. Sesuatu yang buruk mungkin telah menimpa sesaat ajal menjemput, entah apa.

            “Kau masih belum tahu apa penyebab kematiannya?” AKP Sakti, salah seorang perwira yang mengepalai regu penyidik, bertanya tegas. Cemas jelas mengurungi wajahnya.

            “Siap, belum, Pak,” sahut Markus, ketua tim forensik. “seluruh anggota masih terus menyelidiki penyebab kematian beliau. Kami usahakan agar hasil pemeriksaan benar-benar akurat dan valid. Setelah itu, segera akan kami laporkan.”

            “Oke, lanjutkan tugasmu.” Markus masuk ke dalam rumah, kembali bergabung bersama tim. Sakti beberapa kali menggaruk ubun kepalanya yang tidak gatal. Lelaki berkumis tipis dan berkulit kecokelatan itu masih dilanda rasa penasaran dengan kematian atasannya yang ganjil. Sudah tujuh jam sejak police line terpasang dari beranda rumah hingga kelokan gang, seluruh gabungan tim yang terlibat dalam penyelidikan masih belum bisa menyimpulkan motif tewasnya Barjo. Jejak langkah si pelaku juga sulit diidentifikasi. Selain karena hampir seluruh bagian ruang makan tergenangi darah, sidik jari sudah tertumpuk derap sepatu para anggota. Tanpa disangka, darahnya sederas sungai. Sambil melepaskan sarung tangan elastisnya, Sakti berharap kasus ini dapat segera menemui titik terang.

***

Sakti seketika terperanjat. Pikiran dan perasaannya berubah tak karuan ketika membaca berkas laporan penyelidikan yang ditunjukkan oleh salah satu anggotanya setelah lima bulan mengambang tanpa kejelasan. Nama dan identitas pelaku yang tersemat membuat dadanya terus berdesir.

            “Kau benar-benar sudah menganalisis seluruhnya? Ini valid?”

            “Siap, sudah, Pak. Semua data tentang pelaku di berkas ini berdasarkan keputusan resmi dari kantor pusat. Siang ini, penyelidikan di TKP akan dihentikan dan berfokus pada fisik korban serta motif dari pelaku.”

            “Memangnya mereka benar-benar puas dengan hasil ini? Apa benar mereka yang melakukannya? Kinerja kita memang dituntut segesit dan seteliti mungkin, tapi tidak sontoloyo seperti ini.”

            “Sesuai keterangan dan pemaparan dari kantor pusat, sudah diputuskan bahwa…”

            “Shut up! Saya tak peduli dengan keputusan mereka. Saya yakin penyelidikan masih belum sepenuhnya terselesaikan dengan benar dan adil. Motif belum jelas, penyebab kematian masih abu-abu, sekarang sudah ada rilisan berita tentang terduga pelaku. Kau tahu? Saya kenal dekat dengan kedua orang ini! Jangan main-main!”

            “Tapi, Pak, itu…”

            “Sudah! Biar saya selidiki sendiri.” Sakti segera menjemba jaket kulit hitam lalu melesat meninggalkan ruang kerjanya. Perasaannya masih berkecamuk kala membaca isi laporan penyelidikan yang secara tidak langsung telah menuding dua orang yang diyakininya tidak mungkin melancarkan aksi pembunuhan. Sakti sepenuhnya memahami karakter dan kepribadian sang tertuduh, Rusdi dan Rusmin. Kakak beradik kembar identik yang beda setahun. Mereka cukup lama berhubungan dengan Barjo.  

***

Dua jam kemudian, Sakti sudah berada di rumah si kembar, Rusdi dan Rusmin yang tak lain merupakan tetangganya sendiri. Kediaman Sakti memang beda RT dengan mereka—dipisahkan oleh sebuah gang, sungai, serta ruko kelontong dua tingkat—tetapi perwira polisi yang sudah mengabdi selama 27 tahun itu mengenali sifat dan kepribadian keduanya layaknya sahabat dekat. Setelah lulus SMK, Rusdi pernah bekerja di bengkel yang kerap disambangi oleh Barjo. Melihat semangat, sikap telaten, dan keramahannya, Rusdi kemudian ditawari menjadi sopir pribadi Barjo sampai kini. Sedangkan Rusmin adalah pegawai di kedai bakso langganan Barjo. Setiap petinggi polisi itu mampir untuk makan siang, ia selalu meminta agar Rusmin yang melayani.

            Sakti menyimpulkan bahwa kesatuannya mungkin mengambil keputusan dengan melihat orang-orang yang memiliki kedekatan dengan Barjo. Rusdi dan Rusmin pun mengakui bahwa mereka masih sempat bersua sebelum Barjo tewas.

            “Kapan terakhir kalian bertemu dengan almarhum?”

            Rusdi menukas, “Kalau tidak salah, lima hari sebelum Pak Barjo meninggal. Waktu itu, saya pamitan mau nginep ke rumah bude di Jepara sambil ngembalikan kunci mobil. Baru pulang ke sini dua hari setelah beritanya masuk TV.”

            Sakti mulai melirik Rusmin di sebelahnya. “Pas kejadian itu, saya lagi kena DBD, Mas. Disuruh rawat inap sama pihak rumah sakit, tapi saya emoh. Akhirnya istirahat saja sambil minum obat. Saya ndak bisa ke luar rumah, lha wong badan lemas banget. Ya, ndak mungkin bisa mbunuh Pak Barjo yang baik hati itu.”

            “Betul, Mas!” sergah Rusdi tangkas. “Dia sudah akrab sama kami, ndak pernah macam-macam. Ndak pernah nyakiti hati dan berbuat semena-mena.”

            “Selain itu, saya dan Mas Rusdi juga takut darah. Langsung pusing,” tambah Rusmin. Mendengar hal ini, Sakti langsung teringat dengan kondisi jasad Barjo yang sampai hari ini masih mengucurkan darah dari pori-pori kulit yang terkoyak. Tim forensik masih kewalahan mengidentifikasi ukuran dan kedalaman sayatan. Bukti luka tersebut masih menimbulkan pertanyaan di benak para anggota, termasuk dirinya; senjata macam apa yang digunakan pelaku sehingga darah masih terus mengalir?

            “Apa ada bukti autentik yang bisa mendukung kesaksian kalian?”

            “Ah, Mas Sakti kok jadi kaku begini sama kita.”

            “Saya sedang menjalankan tugas dan formalitas. Identitas kalian sudah di tangan kepolisian sebagai terduga pelaku. Tidak usah alihkan pembicaraan,” tukas Sakti dengan urat mulai menonjol di bagian dahinya yang berkeringat. Sorot matanya nyalang. Rusdi dan Rusmin segera mengangsurkan tiket bus dan nota pembayaran. Hari, tanggal, dan jam sesuai dengan kesaksian. Saat pertanyaan berikutnya hendak dilontarkan, datang sebuah pekikan dari pintu dibarengi dengan gedoran. Lamat-lamat keriuhan terpantul sampai ke dalam rumah kontrakan.

            “Saudara Rusdi dan Rusmin, tolong segera buka pintunya! Kami dari tim penyidik ingin mengonfirmasi kasus lebih dalam. Buka sekarang juga!”

            Sakti mengenali suara itu. Iptu Cakra, salah satu bawahannya. Sebelum perintah kembali diteriakkan, Sakti bangkit untuk membuka pintu. Tujuh anggota berdiri tegap di depan hidungnya. Sikap mereka seketika melunak saat raut wajah Sakti mulai terpampang.

            “Apa tujuan kalian kemari? Mau menangkap mereka?” hardik Sakti sambil menuding ke arah saudara kembar yang bergetar ketakutan di dekatnya.

            Cakra mengambil sikap hormat sejenak. “Siap, Pak. Kami menjalankan amanat sesuai perintah dari kantor pusat. Ini surat perintah penangkapannya, Pak.” Lelaki yang seusia keponakan Sakti itu kemudian mengangsurkan sebuah amplop. Sembari membacanya, Sakti masih tak habis pikir dengan tindakan sembrono ini, apalagi sudah dilengkapi dengan tanda tangan dari 3 perwira tinggi serta stempel Polri. Ia harus menghentikannya.

            “Tidak bisa. Saya yakin mereka bukan pelaku sebenarnya. Kalian salah orang!”

            Cakra maju selangkah. “Maaf, Pak. Kami bergerak dan bertindak sesuai perintah. Mereka sudah dinyatakan sebagai pelakunya. Permisi.” Sekonyong-konyong mereka langsung merangsek dan memborgol. Sakti sulit membendungnya meskipun yang beraksi adalah anak buahnya sendiri. Surat perintah itulah yang mau tak mau membungkam tindakannya. Keterangan dalam surat mengungkapkan bahwa telah ditemukan pisau pemotong daging dan obeng di area ruang makan. Masing-masing terdapat sidik jari dari kedua bersaudara dan beberapa bercak darah.  

            Sebelum semakin menjauh, Rusdi dan Rusmin saling bersahutan meminta ampun. Pandangan mereka begitu nanar. Sakti merasa bersalah. Geram. Tangannya semakin mengepal lantas ditinju ke udara; bersumpah untuk menguak kebenaran yang sejati.

***

Kecamuk dalam dada kembali membawa Sakti melenggang ke arah rumah Barjo. TKP mulai disusurinya. Lantai marmer putih masih menyisakan sisa-sisa merah darah yang samar. Logikanya serasa buntu saat matanya menyusuri setiap sudut ruang. Ia jelas dikalahkan oleh misteri yang meliliti akhir kehidupan Barjo. Sebelum hendak berpaling menuju pintu keluar, seekor anjing jenis labrador menghampirinya. Anjing itu sepertinya berlari dari arah dapur atau taman belakang. Sakti mulai menggendong dan mengusap bulunya.

            “Anjing milik siapa ini?”

            Sontak si anjing mengedipkan mata lalu membuka mulut. “Halo, apa kabar, Sakti Setiadi?”

            Sakti serta-merta melepas rengkuhnya, membuat anjing tersebut merosot ke tanah. Matanya membelalak ngeri menyaksikan keajaiban langka yang baru saja terjadi. Meski begitu, ia tetap menebalkan nyalinya. “Jika kau bisa berbicara seperti manusia, tunjukkanlah siapa dirimu sebenarnya!”

            “Kamu tidak perlu histeris seperti itu. Mumpung ada kamu di sini, saya ingin membuat pengakuan. Sayalah yang menghabisi begundal sialan itu. Selama ini, kamu dan yang lainnya terkecoh dengan semua sikap dan tingkah lakunya. Diam-diam saya mulai mengorek belangnya; kasus pencucian uang nasabah di Surabaya, pembunuhan berencana mahasiswi di Depok, proyek klub malam di tiga wilayah Jakarta Barat, dan masih ada tiga kasus pidana lain—itu semua ulahnya. Saya sudah lama ingin menyingkirkannya. Supaya tidak mencurigakan, terpaksa saya mengubah diri seperti ini.”

            Sakti masih terus memerhatikan siluman yang mendongak dekat kakinya. Semakin lama, muka si anjing mirip dengan Komjen Bagus, salah satu atasan yang juga diseganinya.[]

(*) Jkt, 3-5 Januari 2023


[1] Tembang instrumental karya Candra Darusman (1982)

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami