Oleh: Muhammad Gibrant Aryoseno
Nietzsche sedang sambat kepada Rabi’ah.
Tadi ia terjebak macet sekitar lima belas windu
karena ternyata menguburkan Tuhan membuatnya sakit jiwa.
Rabi’ah sendiri terdiam mendengarkan pria muda yang edan itu
sambil memainkan kumisnya yang mirip surga di sebelah kanan
dan neraka di sebelah kiri. “Pesan kopi sufinya satu.”
Picasso dan Miyazaki sedang berbicara soalan asing:
sivilisasi manusia. Pelukis murahan itu bicara tentang
minimarket dan toko baju yang mirip kubismenya,
sementara kakek idealis itu bicara tentang keseharian
pekerja kantoran yang membosankan sehingga perlu
digelitik sedikit menjadi film animasi bergenre fantasi.
Kepala Mozart miring. Ia bertarung melawan deadline
yang menghajarnya di atas tuts piano. Di sampingnya,
Tchaikovsky, sedang mengindra partitur Requiem—
omega penuh misteri—yang katanya jadi surat resign Mozart.
Tchaikovsky yang pemalu tertawa manik, melihat Mozart
pontang-panting melunasi cicilan demi gengsi akhir pekan.
Prisma lampu pelangi dan gemuruh biru kian menjauhinya;
Syd ingin segera pulang. Ia terjangkit wabah skizotrenia.
Bowie mengadangnya. “Kita baru sampai agama dan seksualitas!
Ayo pesan bakaran lagi, bincang cinta dan luar angkasa sampai Blackstar mati!”
Kurt tiba-tiba menodong kepala Bowie dengan shotgun, mengancam
jual diri. Bowie berkata: “Konyol kamu! Rockstar kok bunuh diri!”
Tak sadar dirinya berkali-kali ganti personaliti.
Di ujung, ketenangan cuma milik Jokpin dan Sapardi.
Mereka berdua melihat ibu kota yang genit gedongnya
sambil menikmati kopi dengan sederhana tanpa memakai celana.