Dionisos dalam Segelas Kecupan

oleh: Jamal Wakhiddin

/1/

Bibir-bibir yang regah melulum segala tenggak

membuncah rucah sebarang tuak di pesak

memantik lidah-lidah api umpama

perawi mendaras rapal-rapal doa.

“telanlah sekali lagi, lalu kau dan aku

akan sama-sama menjadi anjing liar yang lapar

hendak memasuki sorga.”

/2/

Dionisos – memanen kebun-kebun anggur ketika matahari

memeras kabut pagi; lerah air mata di bawah bilur

telapak kaki ibu yang temaram membenam duka ke kubur

tanah tulang belulang peradaban.

Kota ini adalah sekumpulan bayi-bayi moksa

yang meninggalkan rahim rumah masa kecil

:  berita rajapati tersiar di televisi pada hari Kamis Putih yang bersih,

   cita-cita telah hangus terbakar bersama daftar cinta di kamus bahasa asing,

   patio yang tak lagi merawat roh bintang-bintang yang gugur sebagai hujan,

   atau negara yang gemar memelihara dendam dari dalam perut buncitnya.

Juga peluk binal di ceruk puisi;

sungai lezat mengalir susu di situ

ikan-ikan yang berenang pesat pada basah bajumu.

Tubuh telentang

rimbun kelangkang pohonan, seolah-olah.

Masuk dari seluruh lubang yang mungkin dan

keluar dari sebagian lubang yang tak mungkin

:  langit merah muda di sepanjang perjamuan seperti lensa

   kamera yang mudah pecah, selalu bisa menemukan paras senja

   untuk ditiduri di lorong-lorong sempit batas antara sunyi dan pesta.

“Tak ada yang dapat mengusik arak-arakan

di kegelapan Mare tak bertuan, kekasih!”

/3/

Pada malam-malam nan telanjang – tumbuh subur

jenggala dihiasi makam-makam rindang

di sekujur kematian panjang.

Kecupan penghabisan.

(Yogyakarta, 2021)

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami