Doa Orang Miskin

Oleh: Zainul Muttaqin

Istri Dul Muin yang bernama Masniyatun berteriak dari belakang, “Enak-enakan kamu, ongkang-ongkak kaki kayak orang kaya saja. Apa kau tak tengok itu anakmu sudah lima? Mau makan apa mereka kalau kamu cuma duduk begini, Kak!”

Dul Muin langsung menoleh dan berkata, “Kamu tak usah risau begitu. Apa kau tidak percaya jika Allah menjamin rezeki semua hambanya. Dan setiap anak yang lahir membawa rezekinya sendiri.”

Masniyatun menggelengkan kepalanya, “Memang kau pikir Allah memberi rezeki pada orang yang kerjanya cuma duduk? Hah! ”

Wajah istrinya terlihat kesal, keningnya berkerut seperti garis terombang-ambing. Dul Muin berusaha menenangkan istrinya, “Kau sudah tahu kalau saya cuma kuli. Kadang kerja kadang tidak. Kebetulan hari ini belum ada kerjaan. Bersabarlah, Insya Allah kita tetap bisa makan.”

Tetapi perkataan Dul Muin tidak akan membuat istrinya hilang cemberut kecuali disodorkannya selembar uang untuknya. Dul Muin merogoh saku bajunya, ditemukan selembar uang lima puluh ribu. Masniyatun tersenyum menerimanya.

“Pandai-pandailah berhemat,” kata Dul Muin.

“Uang segini kau suruh berhemat!” kata Masniyatun sambil mengibas-ngibaskan uang tersebut di depan suaminya. Dan kemudian ia berkata lagi, “Masih saja kau tidak sadar anakmu sudah lima, ditambah yang ada dalam perut.”

Masniyatun mengelus perutnya yang kian hari membesar. Dul Muin tersenyum. Hujan deras membasuh tanah. Tiba-tiba Masniyatun teringat dengan obrolan bersama ibu-ibu sewaktu beli sayur di depan rumah kemarin. Mereka bilang Pak RT sedang menyalurkan bantuan berupa uang tunai dan sembako dari pemerintah.

“Kau dapat Tun?” Tanya seorang ibu yang sedang membeli ikan.

“Tidak.” Masniyatun menjawabnya.

“Loh, kok bisa gak dapat. Padahal kau termasuk dalam golongan orang miskin yang wajib dibantu sama pemerintah.”

“Memangnya kau dapat?” Masniyatun bertanya.

“Saya bukan orang miskin, jadi tidak berhak menerimanya.”

Perempuan lainnya cepat menimpali, “Tapi si Halima dapat tuh. Padahal dia orang berkecukupan bahkan bisa dibilang orang kaya.”

“Halima sepupunya Pak RT itu ya?”

“Iya.”

 “Cobalah kau tanya sendiri pada Pak RT, siapa tahu kau dapat bantuan itu, Tun.”

“Lagi pula, Tun. Sudah tahu kau miskin masih aja rajin bikin anak.”

“Apa orang miskin tidak boleh bikin anak?” Masniyatun tersulut emosinya.

“Boleh-boleh saja. Tapi punya anak ya diurus, mulai pendidikannya, gizinya, tidak hanya bikin anak. Kalau  kamu kaya sih terserah mau punya anak berapa, uang banyak gak masalah. Lah kamu itu orang miskin Tun.”

Masniyatun memang ingin menampar mulut perempuan di hadapannya itu, tapi ia urung karena hanya akan menambah masalah. Memang orang miskin seperti Masniyatun semua digunjingkannya, seolah-olah orang miskin tidak boleh ngapa-ngapain. Begini salah, begitu salah.

Alhamdulillah, meskipun saya banyak anak, saya bisa mengurusnya semua. Mereka semua saya sekolahkan. Dan Alhamdulillah lagi saya tidak sampai berhutang ke tetangga untuk mengurus semua anak saya. Saya selalu berdoa pada Allah supaya saya tidak sampai berhutang apapun pada orang. Apa pernah saya pinjam uang pada kalian?”

Ibu-ibu itu jadi terdiam, menelan ludah. Masniyatun kemudian bertanya pada tukang sayur, apakah dirinya pernah berhutang? Tukang sayur itu menggeleng. Ibu-ibu semakin tercangkul hatinya sebab mereka yang mengatakan Masniyatun orang miskin, ternyata malah mereka yang sering berhutang pada tukang sayur tersebut. Masniyatun melenggang pergi membiarkan mereka menelan kekesalannya sendiri.

Dul Muin yang mendengar cerita ini dari istrinya dibuat geleng-geleng kepala. Masniyatun memaksa suaminya untuk menemui Pak RT.  Dul Muin disuruh menanyakan kenapa keluarganya tidak menerima bantuan yang jelas-jelas peruntukannya untuk orang miskin.

Ketika hujan mulai melambat, Dul Muin menembus gerimis. Lima menit kemudian Dul Muin sampai di rumah Pak RT. Kebetulan Pak RT sedang duduk di beranda rumah. Duduk berhadap-hadapan, Dul Muin langsung bertanya soal bantuan yang digelontorkan pemerintah melalui RT.

Dengan alasan ngawur dan mengatakan keluarga Dul Muin belum masuk data penerima bantuan sehingga tidak dapat bantuan tersebut membuat Dul Muin tahu bahwa Pak RT berkata bohong. Namun Dul Muin tak berdaya mendebat Pak RT.

“Apa Pak RT tidak tahu jika undang-undang mengamanatkan kewajiban pada negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar?”

“Tahu apa kau soal undang-undang, Dul.” Pak RT meremehkan mengingat Dul Muin tidak tamat SD.

“Saya tahu dari Kacong, anak saya yang sudah kelas 2 SMA itu Pak RT. Katanya ada pasal dalam undang-undang yang menyebutkan kewajiban negara memelihara orang miskin macam saya.”

 “Lucu sekali kau Dul,” kata Pak RT sambil tertawa kecil.

“Apanya yang lucu Pak RT? Benar kan negara memang harus menjamin kehidupan warganya yang miskin seperti saya.”

“Negara itu siapa? Kau pikir negara itu orang. Apa kau tidak tahu?”

“Soal apa Pak RT?”

“Negara sendiri punya banyak hutang. Bagaimana bisa negara menanggung kehidupanmu. Ada-ada saja kau, Dul.” Wajah Pak RT terlihat lucu saat mengucapkan kalimat ini.

“Kalau begitu negara juga miskin sama seperti saya.” Dul Muin menyahut seraya mendongakkan wajah dekat Pak RT.

“Saya saja sebagai RT tidak digaji, Dul.”

“Tapi…” Dul Muin menghentikan kelanjutan kalimatnya. Ia khawatir jika diteruskan akan menyinggung perasaan Pak RT.

***

Dul Muin mengeluarkan uang, memberikannya pada sang istri seraya bertanya, sepulang kerja. “Apa kau dan anak-anak sudah makan?”

 “Sudah, Kak. Anak-anak juga sudah makan.”

“Kau masak apa tadi?”

“Ya masak nasi.”

“Maksud saya lauknya apa?”

“Kau ini masih banyak tanya. Kayak gak tahu saja menu makan kita sehari-hari.”

Alhamdulillah, kita masih bisa makan. Banyak orang di luar sana yang lebih melarat dari kita.”

“Ya, Kak. Meskipun makan seadanya. Kita memang patut bersyukur karena dengan bersyukur menjadikan semuanya terasa cukup.”

“Tidak masalah kita miskin asal kita tidak punya hutang. Ini sudah lebih dari cukup,” ucap Dul Muin seraya melihat lima anaknya yang girang bermain petak-umpet.

“Ya Kak, itulah doa yang saya panjatkan setiap selesai salat.”

“Saya juga berdoa begitu.,” kata Dul Muin.

“Doa apa, Kak?” Masniyatun menggoda suaminya dengan senyum.

Dul Muin menatap istrinya, “Saya berdoa semoga kita tidak sampai berhutang meskipun hidup miskin. Karena saya tidak ingin mati dengan mewariskan hutang pada anak-anak..”

“Kalau negara yang punya hutang. Itu siapa yang bayar ya Kak?”

“Pertanyaanmu aneh.” Antara malas menanggapi dan tidak tahu jawabannya, Dul Muin mengalihkan pandangan, melihat lima anaknya yang tumbuh besar dalam garis kemiskinan.

Sepasang suami istri yang hidupnya miskin itu tersenyum bahagia dan tak lama  kemudian tertawa terbahak-bahak sampai bahunya berguncang. Mereka masuk ke dalam bergandengan tangan seperti pengantin baru menuju kamar dan membiarkan lima orang anaknya tetap main petak umpet.

Pulau Garam, Desember 2021

Scroll to Top
× Hubungi kami