oleh: I.R. Zamzami
/I/
Dendam kecil merayap di getar pagar
—terusik amuk liar anginmu.
Pilar-pilar merapuh dipecut pertengkaran
yang bergejolak dari dapur belakang.
Kau menyulut api di atas masa lalu
yang menurutmu kayu.
“Sepantasnya ia dibakar
dan seharusnya dibakar!” katamu.
Anak-anak menelan asap dari hasil pertikaian yang masak.
Mereka tersedak, tak mampu mengelak dari piring retak.
Sementara ASI telah basi—kehilangan rasa
dan harga diri—sulung dan bungsu
tak mempercayaimu lagi.
/II/
Hari-hari yang lepas dan berlalu—adalah
musim yang mengelupas dari percakapan kita
tentang masa lalu yang telah buta
dan masa depan yang belum nyata.
Laut tak pernah tenang mendengar
gelepar kapal yang terbakar.
Masa silam bagai lanun; membajak ingatan
dan menyuar kembali luka yang sempat tiada.
Seseorang—mendadak tiba dari selatan
membaca arus nadi di sebuah tepi
tempat kita hampir bunuh diri.
Sepasang telinga menangkap—dan
mengolahnya jadi peristiwa asing.
/III/
Anak-anak meniru air mata kita—dengan
tantrum dan melempar kertas yang
gagal diubahnya jadi perahu.
Mereka tenggelam badai suara
yang tak teredam layar bahtera.
Kau meminta mundur—
sebelum perpisahan kian terulur.
Tetapi kapal terlanjur jauh
dan jangkar telah jatuh
ke dasar laut yang
tak lagi utuh. Bogor, 26 Mei 2022.