ELEGI SECANGKIR JAMU

Oleh: Kristophorus Divinanto

Setiap perjalanan dari Solo ke arah Jakarta maupun sebaliknya, atau jalur perjalanan manapun yang memintamu untuk melewati daerah Kebumen-Purworejo, semua bis akan berhenti sejenak di Air Mancur. Begitulah sebutan mereka untuk salah satu titik pemberhentian bis AKAP yang ada di Kutoarjo itu. Orang-orang asli Kutoarjo pun telah lama menyebutnya dengan sebutan daerah Air Mancur. Tempat ini bukanlah suatu taman dengan air mancur atau sepetak kolam berisi ikan, di mana kita bisa memberi makan ikan seperti yang kita lihat di film-film luar negeri. Sama sekali bukan. Air Mancur adalah nama kedai minuman yang menyajikan beragam jamu tradisional. Di malam hari, kedai Air Mancur bukan hanya menyajikan aroma dan rasa jamu yang nikmat bercampur telur bebek. Mereka juga menyajikan musik keroncong dengan deretan nama penyanyi-penyanyi besar pada masanya, mulai dari Ismail Marzuki, Bram Aceh, Gesang, Waldjinah, sampai Mus Mulyadi. Lagu-lagu keroncong melantun pelan tanpa berusaha mengalahkan deru kendaraan yang berlalu-lalang. Pelayan di kedai Air Mancur memutar lagu-lagu keroncong lewat pemutar piringan hitam. Lagu keroncong mengalun samar dan menjadi penghibur pengunjung di kedai. Beberapa orang tampak ikut bersenandung mengikuti lagu yang tengah diputar.

 

Bila anggrek mulai timbul

Aku ingat padamu

Di waktu kita berkumpul

Kau duduk di sampingku

 

Jika suatu ketika bismu berhenti di Air Mancur, keberuntungan mungkin bisa mempertemukanmu dengan kepanikan Mbah Antok yang berjalan cepat tanpa alas kaki, menanyai setiap pengunjung di kedai Air Mancur atau penumpang di dalam bis sembari menyebutkan nama; Minah, Minah, dan Minah. Barangkali juga kamu akan melihat Mbah Antok menggenggam foto seorang perempuan dengan baju batik Tujuh Rupa khas Pekalongan yang sama seperti batik yang sedang melekat di tubuh Mbah Antok. Barangkali kamu yang beruntung akan ditepuk pundaknya oleh Mbah Antok, untuk ditanyai apakah kamu pernah melihat orang yang ada di foto tersebut di tempat kamu berasal atau di manapun kamu pernah singgah. Barangkali kamu menjadi satu dari sekian banyak orang yang turut bersedih hati melihat seorang tua yang berusaha mempercayai bahwa istrinya masih hidup dan sedang pergi entah kemana. Seorang lelaki tua penjual lotek dan gado-gado, yang berusaha terlihat baik-baik saja meskipun berduka atas kepergian istrinya di suatu pagi.

 

Menghilangnya Minah menjadi kisah lawas yang telah hilang ditelan waktu bagi orang-orang di sekitar Air Mancur. Sepuluh tahun sudah Minah pergi meninggalkan Mbah Antok suaminya tanpa kabar maupun sedikit pun petunjuk. Seluruh pakaian, sepatu, kerudung, bahkan perhiasan Minah masih utuh ada di tempatnya. Bahkan sandal yang biasa digunakan Minah untuk belanja ke pasar pun tidak hilang. Hilangnya Minah dari rumah disadari Mbah Antok sepuluh tahun yang lalu, ketika sejak pagi menjelang magrib, istrinya tidak kunjung pulang ke rumah. Biasanya di pagi hari, istrinya meninggalkan segelas jamu cabe puyang di gelas blirik hijau, yang telah diletakkan di meja makan. Jamu cabe puyang lainnya ada di panci yang terletak di atas kompor dapur. Menjadi hal yang lumrah ketika Mbah Antok bangun di pagi hari, dan mendapati rumah kosong karena Minah belanja ke pasar. Kemudian Mbah Antok mulai merebus sayur mayur dan menata etalase tempatnya menata sayur yang telah direbus. Setelah kacang bahan sambal diletakkan di toples, biasanya Mbah Antok akan duduk sembari menikmati jamu cabe puyang racikan istrinya sembari menunggu istrinya pulang dari pasar.

 

Namun semuanya berbeda di hari itu. Mbah Antok bangun dalam keadaan yang sedikit berbeda. Jamu cabe puyang sudah ada di atas meja. Namun rebusan sayur mayur, kacang, air yang digunakan untuk mencampur menumbuk kacang menjadi sambal kacang, bahkan etalase sudah terpasang di tempatnya. Minah sendiri tidak pernah kuat menggeser etalase itu sendirian dari ruang tamu ke teras depan. Mbah Antok hanya sempat bertanya kepada Mas Slamet, penjual gorengan di sebelah rumahnya tentang keberadaan Minah. Namun Mas Slamet sendiri mengaku baru bangun dan tidak melihat Minah. Matahari yang mulai meninggi membuat Mbah Antok harus segera melayani pembeli. Sesampainya di porsi lotek terakhir, Minah belum juga kembali ke rumah. Tidak ada tanda-tanda kepulangan Minah. Mbah Antok tidak menemukan sesuatu yang janggal di rumahnya. Sampai pagi esok hari tiba, Minah belum juga kembali. Sejak hari itu, berbekal foto Minah, Mbah Antok mulai menyambangi setiap bis yang berhenti barang sejenak di depan kedai Air Mancur, menanyai seisi bis dari bangku depan sampai bangku paling belakang. Namun, tidak ada yang pernah mengetahui dan melihat kemana Minah pergi.

 

Setiap malam seusai salat Isya, seusai Mbah Antok mendoakan kepulangan istrinya, ia duduk di kedai Air Mancur. Dipesannya segelas jamu cabe puyang, jamu yang dulu sering istrinya siapkan ketika pagi hari. Mbah Antok kemudian duduk menghadap jalan raya sembari mengamati bis yang semakin hari semakin bertambah jumlahnya. Berharap ada Minah yang turun dari salah satu dari bis itu di suatu hari. Setelah kedai tutup di pukul dua pagi, Mbak Mur, penjaga kedai, akan meminta Mbah Antok pulang sembari mengambil gelas jamu Mbah Antok yang sudah tidak ada isinya. Di saat itulah Mbah Antok memberikan selembar uang untuk membayar jamu pesanannya, dan melangkah gontai melawan dingin udara malam menuju kediamannya yang tidak lagi memberikan kehangatan. Jika kedai tutup di hari Minggu, Mbah Antok duduk di teras kedai sembari terus melinting tembakau dan mengamati bis AKAP yang lalu-lalang. Matanya tidak pernah terlepas setiap kali ada bis yang berhenti di depan kedai Air Mancur, entah menurunkan penumpang, atau supir bis yang sekedar membeli rokok sebelum melanjutkan perjalanan. Sepasang matanya hanya mencari seseorang yang  telah lama hilang, berharap kepulangan akan kepergian yang tak berujung, Harapnya tak pernah berhenti menunggu kepulangan Minah yang entah.

 

Malam ini genap sepuluh tahun sudah Minah pergi tanpa kabar. Mbah Antok sudah lelah dalam pengharapannya. Penantiannya tidak pernah menjadi pasti seiring bertambahnya hari. Ia ingin menyudahi penderitaannya selama ini. Ia ingin merayakan sepuluh tahun genap penantiannya akan kepulangan Minah dengan cara yang berbeda. Seusai salat Isyak, Mbah Antok melangkah memasuki teras kedai Air Mancur. Mbak Mur tersenyum melihat kedatangan Mbah Antok. Namun ada satu hal yang membuatnya ganjil, Mbah Antok kini tidak duduk di kursi yang menghadap langsung ke jalan raya, melainkan duduk di kursi yang justru memunggungi jalan raya. Perbedaan lainnya adalah, malam ini Mbah Antok bukan memesan jamu cabe puyang seperti biasanya, melainkan memesan jamu pahitan. Mbak Mur tertegun mendengar jamu pesanan Mbah Antok. Namun, Mbak Mur segera menyiapkan sambiloto, brotowali, widoro lau dan adas, yang menjadi bahan-bahan dari jamu pahitan. Ia tidak perlu mengetahui alasan di balik pesanan seseorang di kedainya. Mbak Mur segera menyeduh racikan jamu dengan air panas dari teko, dan mengaduknya, kemudian menghantarkan kepada Mbah Antok. Malam ini, Mbak Mur tidak lagi melihat Mbah Antok yang duduk dengan tatapan penuh harap memandang jalan raya, dengan rokok kretek menyala yang terselip di bibirnya dan tangis yang membasahi air matanya. Mbah Antok hanya menggeleng-gelengkan kepala sembari mengikuti irama lagu Bunga Anggrek.

 

Setelah jamu pahitan datang, Mbah Antok segera menyeruput jamu pahitan yang masih panas. Rasa pahit dari jamu pesanannya tidak ia hiraukan. Mbah Antok segera menyalakan rokok kretek dan memejamkan matanya sembari bernyanyi. Sudah lama rasanya ia tidak menyanyi selepas ini. Kini, ia menyanyi sebagai bentuk menelan kepahitan hidupnya, seperti ungkapan salah satu pelanggan loteknya dulu. Mbah Antok sangat mengingat pelanggan itu, lelaki bertubuh tinggi, usianya kurang lebih empat puluh tahun, seorang duda yang bekerja sebagai dosen psikologi. Sepuluh tahun yang lalu, orang itu hampir setiap hari mampir ke warung lotek milik Mbah Antok, menikmati makan siang sembari mengobrol dengan Mbah Antok, maupun mengobrol dengan Minah. Kala itu, pelanggannya bercerita bahwa tengah mempersiapkan kepindahannya ke Jakarta dan datang untuk berpamitan kepada Mbah Antok. Selain berpamitan, Mbah Antok diberi uang tunai yang cukup besar, yang kemudian digunakan untuk merenovasi rumah. Minah istrinya sering mengeluh karena keadaan rumah yang mengenaskan, terutama genting yang bocor di beberapa sudut rumah. Rumah Mbah Antok kini telah kembali kokoh dan rapi. Namun, seusai renovasi rumah selesai, Minah pergi tanpa pernah kembali. Kini Mbah Antok sadar akan ucapan pak dosen pengunjungnya pada saat itu.

 

“Manusia perlu menerima kenyataan pahit yang menimpanya, untuk kemudian mengikhlaskan agar semuanya terjadi begitu saja dan saat itulah waktu akan menyembuhkan luka hati seseorang.”, kata pak dosen psikologi itu.

 

Mbah Antok sangat kagum dengan ucapan pelanggannya itu. Ucapan tersebut yang membuat Mbah Antok memutuskan untuk menyudahi kesedihannya sepuluh tahun belakangan. Baginya, Minah tinggal cerita. Minah menjadi kisah pahit yang perlu ditelannya, bukan hanya sekedar dihirup atau dicicipinya perlahan layaknya seseorang yang ragu meminum jamu pahitan. Ketika seseorang ragu meminumnya, rasa pahit justru akan terus terasa tanpa berkesudahan. Minah memang telah pergi dari dirinya dan menjadi kisah pahit, namun bukan berarti pahit itu tidak bisa Mbah Antok telan. Dengan habisnya segelas jamu pahitan malam ini, Mbah Antok telah menerima dengan lapang dada kepergian Minah, mantan istrinya. Kini, Mbah Antok tidak perlu menunggu pukul dua malam atau menunggu kedai tutup untuk kembali ke rumahnya. Sehabisnya jamu yang ia pesan, ia segera membayar jamu pesanannya dan berpamitan. Langkah kakinya ringan menuju kediamannya yang tidak jauh dari kedai, sembari terus bersenandung;

Kini kau cari yang lain

Lupa dengan janjimu

Kau pergi tak kembali

Kau lupa kepadaku

 

***

Di malam yang sama, dari balik jendela apartemen, Minah menatap deretan gedung pencakar langi kota Jakarta yang kian hari makin dirasanya makin bertumbuh. Lagu keroncong Sapu Tangan berganti ke lagu Bunga Anggrek. Lantunan suara merdu Sundari Soekotjo melempar kembali ingatannya tentang daerah Air Mancur yang pernah menjadi tempat bernaungnya. Minah kembali mengingat sosok lelaki yang telah berusaha dengan keras ia hilangkan dari ingatannya, berusaha ia lupakan dari rasa bersalahnya. Minah tidak menyadari bahwa suaminya masuk ke kamar dan mendekati Minah secara perlahan. Minah terperanjat ketika suaminya memeluk erat dari belakang. Ia tarik nafas dalam-dalam dan tersenyum. Kini Minah bukan istri seorang penjual lotek lagi. Suaminya adalah dosen psikologi di sebuah kampus ternama di Jakarta. Meskipun menikahi seorang duda, pernikahannya kini telah melahirkan dua orang anak. Minah telah melahirkan dua kehidupan baru, yang tidak pernah diperoleh dari suaminya yang pertama karena Antok dinyatakan mandul oleh dokter. Suaminya sekarang adalah seorang laki-laki yang dulu kerap mencumbu Minah, ketika suaminya yang pertama tengah pergi ke warung untuk membeli rokok atau kebutuhan tidak penting lainnya.

 

“Mau jamu?”, tanya Minah mesra sembari membantu melepaskan dasi suaminya.

“Boleh. Capek banget aku. Bimbingan skripsi tiga mahasiswa.”, jawab suaminya sembari merebahkan diri di sofa.

“Jamu apa?”, Minah beranjak menuju dapur untuk meracik jamu.

“Boleh deh aku dibikinin cabe puyang. Kata orang, cabe puyang bikin badan pegel ilang?”

 

Minah tertegun mendengar permintaan jamu itu. Jamu itu adalah jamu kesukaan suaminya yang pertama. Suami yang ditinggalkannya demi meraih kehidupan yang lebih baik di ibukota. Suami pertama yang berusaha ia hilangkan keberadaannya. Mengapa ia harus mendapati lagi jamu itu? Jamu cabe puyang. Jamu kesukaan Antok. Senandung Sundari Soekotjo masih terdengar samar dari ruang tamu yang ia putar dengan speaker. Lagu Bunga Anggrek mengalun pelan namun terdengar sangat jelas di telinga Minah.

 

Oh sungguh malang nasibku

Kini kau telah jauh

Kau pergi tinggalkan daku

Kau pergi tak kembali.

 

-Tamat-

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami