Episode Kepergian

Oleh: Agus Sanjaya

: Teruntuk Sang Mesias

Izinkan air mataku menjadi hujan kebahagiaan,

sebab di hari ini aku telah genap diberkati

Di malam yang bimbang, kutuangkan anggur dari teko tanah liat 

ke dalam sloki-sloki tembaga kedinginan. 

Kurobek hosti dan melarungkannya ke dalam laut mulut. 

Dalam ruangan membisu ini, kita rayakan sebuah pesta perjamuan 

dan sosok paling kudus menyaksikan dari penjuru surga. 

Pagi ini, matahari bersedih 

menatap persidangan kita di kota. 

Seorang Romawi dengan pakaian kebesarannya berkata, 

“Seorang yang mengaku raja dan licik sepertimu, 

memang pantas menemui ajal lebih dulu!!” 

Orang-orang tanpa belas kasih 

menghadiahi kita dengan caci maki dan sebuah mahkota duri. 

Di atas bahu ini, mereka timpakan kayu salib 

seukuran lima orang dewasa. 

Jalan penderitaan yang panjang menuju bukit tinggi amat kejam, 

ditemani wajah-wajah pohon mati dan kerikil menyayat kaki.

Sebuah paku menembus lenganku hingga salib kayu. 

Ratusan burung gagak telah menunggu mayatku 

dan terik surya memanggang tanpa rasa iba. 

Saat tombak merongrong lambung dan ususku, 

darah segar menyembur dan napas terakhir memutuskan pergi. 

“Bu, jangan menangisi kepergianku. 

Sebab kita akan kembali bersama dan kekal di surga.”

Di hari ketiga setelah penguburan, 

gempa membangunkan orang-orang suci dari kubur. 

Maka telah lunas kesengsaraan dan aku menggenapi nubuatan. 

Tuhan memintaku duduk di surga disinari oleh cahaya langit bahagia. 

Di hari kematianku, orang-orang terus merayakannya.

5 April 2024

Keledai Pesolek

Oleh: michaeldjayadi 

—buat Ahda Imran               

           Jauh 

Ke dalam lubuk kata

Kaubenamkan kepalamu

Mencari sisa kepak suara angin

Di sebalik gugus padma yang mungkin

Telah menyimpan telur dan sisikmu

Aku keledai pesolek 

Yang telah bangkit dan enggan lagi

Bersembunyi, berserah sepenuh waktu

Berhenti memucati diri di permukaan air

Gerbang angin tak sekencang dulu

Mengikat dan membiarkan suaramu berbisik 

                lembut

Memukul-mukul lonceng yang meneteskan

Darah dan sumpah seorang pembesar 

Dari kota putih yang jauh

Dengan bisamu yang paling lembut

Telah kaubunuh saudaraku yang liyan itu:

Seekor hiu dengan sepasang sirip

Yang gagal memerangkap berlaksa sengat cahaya

Menghindari desismu aku tak mampu

Sebab karuniamu telah menyihirku

           menggodaku

Dengan tulus hati menjatuhkan

Diriku berkali-kali ke dalam lubang 

Jarum yang sama

Sampai kesudahan segala sesuatu 

Aku ingin terus mencari cara 

Menebak-nebak dari negeri mana kau 

Diutus, menyusul langkah seorang pembesar

Sebelum berhasil ia memberimu nama

Dan menyadari dirinya terlilit

Sebidang janjimu yang akan memberinya

Gulungan sisik dan gelungan telurmu

                 sekali lagi 

Di sebalik lubuk kata yang terus memanggil 

Dan selalu memanggul namaku 

                              dan namanya

Untuk kauhabisi berkali-kali 

Dengan gigitanmu yang paling 

             lembut 

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami