GIBAH PARA SUAMI DI OLD SOLAMI
Wulan Putri Irawan
Old Solami bukanlah kota yang besar—atau setidaknya, begitulah menurut Jafar. Kecil dan sederhana, lebih tepatnya. Dari ujung utara kota hingga ke ujung selatan bisa dicapai dalam waktu setengah jam, begitu pula dari ujung barat ke timur. Satu-satunya hiburan modern bagi penduduknya adalah Intersolar, satu-satunya mal di Old Solami.
Namun, khusus bagi para pria, baik yang lajang maupun sudah menikah, ketika mereka memiliki masalah, kegundahan, atau sekadar ingin kabur sejenak dari istri dan anak mereka, kebanyakan pasti memilih sebuah bar yang sama kecil dan sederhananya seperti kota ini, yang bernama Solarium.
Kakek buyut Jafar membangunnya jauh sebelum Intersolar ada. Mungkin itulah yang membuat Solarium memiliki tempat tersendiri di hati para pria Old Solami, yang memenuhi bar itu hampir setiap malam.
Jafar sendiri bersyukur bar yang saat ini ditanganinya itu tidak kekurangan pelanggan. Mungkin sebagian karena alasan tadi, tetapi Jafar ingin mengeklaim bahwa sebagian lagi karena karakternya yang tidak bermulut ember. Dia ingin menyebutnya sebagai "bakat keluarga". Tidak ada alasan lain lagi kenapa dari dulu hingga sekarang pria-pria itu memilih tempat ini untuk bergibah, jika bukan karena mereka yakin bahwa yang diucapkan di Solarium tidak akan pernah meninggalkan pintu.
Berkebalikan dengan reputasi Solarium di mata pria-pria, para wanita justru membencinya. Jelas, sudah menjadi stereotip di kota itu bahwa "Jika suamimu pergi ke Solarium, cobalah introspeksi diri". Tidak ada wanita yang mau disalahkan, tentu saja, tetapi jika suaminya terbukti pergi ke Solarium, mau tak mau, tanpa bisa dicegah, mereka akan langsung dilanda krisis percaya diri.
Sesungguhnya, Jafar kasihan pada mereka, wanita-wanita yang malang itu. Namun, jika wanita bisa nyaman bergunjing, apa yang mencegah para pria berbuat hal yang sama? Solarium hanya menyediakan tempat yang nyaman, minuman beralkohol, sedikit makanan lezat, dan jaminan keutuhan privasi.
Namun, satu hal terpenting yang membuat Jafar yakin bahwa Old Solami bukan kota yang besar, yaitu fakta bahwa orang yang dia temui itu itu saja, dan topik yang dibicarakan itu itu saja.
"Aku ingin tahu," mulai Ed, "ada tidak, yang istrinya suka menolak kalau sudah mulai … diraba-raba?"
"Sering," sahut Fred dengan datar, lalu menenggak koktailnya.
"Kadang-kadang," jawab Pen. "Tapi hanya kalau suasana hatinya tidak mendukung sih. Biasanya kalau anak lagi rewel, atau baru bertengkar."
"Cuma kadang-kadang, kan?" tukas Ed. "Nah, tapi sekarang istriku hanya mengurus rumah, anak baru satu, dan rumah juga cuma apartemen kecil—" jeda sejenak ketika dia meneguk koktailnya dengan penuh emosi "—tapi bangunnya selalu siang, sarapan cuma seadanya, bahkan saat aku pulang rumah masih berantakan, dianya lagi rebahan, eh, malamnya kok bisa-bisanya menolak dengan alasan capek!" Urat-urat di pelipisnya mulai menonjol.
"Lagi sakit, mungkin?" Pen bertanya.
"Bah!" Ed mendengus meremehkan. "Di rumah saja setiap harinya, kerjanya mayoritas rebahan, tercemar virus saja tidak, bisa sakit apa dia?"
Jafar, yang sibuk mengelap gelas-gelas koktail sebelum menatanya di rak di belakang meja bar, ikut menimbrung, "Apa ada yang dipikirkannya akhir-akhir ini? Biasanya begitu. Mereka memendam sesuatu, tapi menolak untuk memberitahu, tapi memastikan agar kita tahu bahwa mereka sedang tidak baik-baik saja."
"Hadeh." Fred mengembuskan napas. "Wanita."
"Memangnya apa yang dia pikirkan?" Ed balik bertanya, dengan nada menghina yang terkesan seolah-olah istrinya dan berpikir bukanlah dua kata yang pantas disandingkan bersama. "Dia bahkan sudah tidak bekerja! Dia tidak perlu memikirkan apa-apa kecuali sumur, dapur, dan kasur!"
"Oh!" seru Pen. "Istrimu baru berhenti bekerja, ya?"
"Sudah sejak sebulan yang lalu." Hidung Ed kembang kempis seperti biasanya ketika dia jengkel. "Sejak mengundurkan diri, dia juga tidak mau lagi repot-repot berdandan. Padahal aku sudah bilang, teman kerjaku itu dandan semua, kalau aku pulang dan melihat yang kurang enak dilihat, ya, bagaimana aku bisa betah?"
"Apa mungkin karena itu?" sela Fred sambil mengunyah kentang gorengnya. "Karena dia baru berhenti bekerja, maksudku. Jadi, dia masih membiasakan diri dengan rutinitas barunya."
"Iya, mungkin saja istrimu stres karena perubahan rutinitas yang tiba-tiba," dukung Jafar, mulai kasihan pada istri Ed yang malang itu, yang kemungkinan besar tahu bahwa dirinya sedang menjadi bahan perbincangan pria-pria Old Solami.
Dan, itu baru istri Ed. Beda lagi dengan istri Fred dan Pen.
"Istriku di rumah terus, tapi juga sering mengeluh capek," kata Fred.
"Anakmu sudah tiga," kata Jafar.
"Duh." Fred memutar bola matanya. "Seolah aku perlu diingatkan saja."
"Maksudnya," Pen menjelaskan, "kalau dia mengeluh capek, itu masuk akal."
"Aku menyediakan dua pramusiwi dan satu pembantu." Fred memelotot galak. "Masuk akal dari mana?"
"Hm." Pen meneguk koktailnya. "Capek main sama anak?"
"Belum lagi kumalnya itu!" Fred menggeleng-geleng. "Aku sudah sering memintanya untuk berdandan, minimal mandi dan berparfum, tapi ya …." Dia mengangkat bahu pasrah.
"Mungkin coba suruh dia bertemu istri Pen," kata Jafar, mengingat-ingat sosok istri Pen yang cantik dan modis ketika pernah bertemu di sebuah swalayan. "Sepertinya dia pintar berdandan. Iya, kan?"
Pen mengangguk. "Dia memang selalu berdandan. Pagi-pagi sekali dia bangun, mandi, dan langsung melakukan ritual perawatan kulit dan riasan tipis-tipisnya. Bahkan di rumah saja pun begitu. Dan, tidak, aku sama sekali tidak menyuruhnya."
"Hebat," gumam Ed. Jafar mengamati wajahnya yang merah, dan menyimpulkan bahwa dia sudah separuh mabuk. "Sebenarnya istri kita situasinya mirip, kan? Sama-sama ibu rumah tangga dengan anak satu, tanpa pramusiwi, tanpa pembantu. Seharusnya istriku bisa berdandan jika dia mau."
"Istriku juga seharusnya bisa jika dia mau," kata Fred tak mau kalah.
Pen hanya cengar-cengir. Dari mereka bertiga, Jafar paling menyukai Pen. Dia tidak banyak bicara, meskipun dia tetap menyimak gunjingan kawan-kawannya dengan penuh minat.
"Jika mereka mau," ulang Jafar dengan khusyuk, menutup pembicaraan soal para istri pada malam itu.
***
Beberapa hari berikutnya, dia kembali bertemu dengan orang yang itu itu saja, dan membicarakan topik yang itu itu saja.
"Istriku keguguran." Fred membenamkan kepala dalam lipatan tangannya di meja bar.
Jafar nyaris menjatuhkan gelas yang dipegangnya. "Istrimu hamil?"
"19 minggu." Jeda sejenak. "Tadinya. Sekarang sudah tidak."
"Dan kau tidak menyadarinya selama 19 minggu itu?" Jafar bertanya iba.
Fred hanya bungkam, dan tetap diam hingga akhirnya dia pulang dengan bahu yang merosot.
***
Beberapa hari berikutnya, hingga bulan-bulan berikutnya, dia tidak bertemu dengan orang yang itu itu saja. Namun, topik yang dibicarakan tetap itu itu saja.
"Istriku mengeluh aku berubah, tidak seperti ketika pacaran," kata Owen. "Dan terus bertanya, tidak hanya sekali dua kali, apakah aku mencintainya."
Albert terbahak-bahak. "Sepertinya fakta bahwa kau menikahi dan menafkahinya tidak cukup."
"Cara pikir wanita memang berbeda." Jafar ikut tertawa. "Padahal memangnya ada bukti cinta yang lebih jelas dari kesediaan untuk hidup bersama dan bertanggung jawab seumur hidup?"
"Tepat sekali. Yang patut dipertanyakan," tambah Owen, "adalah yang tidak benar-benar bertanggung jawab." Dia mengunyah roti isinya dan menelannya sebelum melanjutkan, "Seperti Ed Smith, tetanggaku, apakah kau mengenalnya, Jafar? Aku dengar dia beberapa kali datang ke sini."
"Ya, aku kenal," kata Jafar.
"Apakah kau tahu kalau dia digugat cerai istrinya?" tanya Owen. "Menurut pengakuan istrinya, Ed hampir tidak pernah menafkahinya sejak menikah."
"Gila." Albert menggeleng-geleng. "Lalu dari mana istrinya membeli kebutuhannya selama ini? Berutang?"
"Istrinya pernah bekerja," kata Jafar, menggali ingatannya berbulan-bulan yang lalu. "Sebelum akhirnya berhenti beberapa bulan yang lalu."
"Nah." Owen mereguk koktailnya. "Kata istriku, yang berteman baik dengan istri Ed, bahkan setelah berhenti bekerja pun istri Ed—eh, mantan istrinya, maksudku—masih memakai tabungannya sendiri hingga perceraian."
"Gila." Albert kembali menggeleng-geleng. "Masa jadi suami tidak ada harga dirinya begitu?"
"Mereka memang sering bertengkar, sih." Owen terdengar merenung. "Jujur, aku kasihan padanya, istri Ed maksudku."
Jafar mengambil sebotol gin dan mulai meracik segelas koktail di meja. "Mantan," katanya dengan halus.
***
Beberapa hari berikutnya, dia kembali masuk ke fase bertemu orang itu itu lagi, dan sekali lagi, masih membicarakan topik yang itu itu saja.
"KDRT," gumam Albert sambil tetap menunduk menatap ponsel pintarnya.
"Apa?" Owen, yang sibuk mengunyah pastanya, bertanya.
"Ini ada kasus KDRT," jelas Albert, menunjukkan sebuah berita di layar ponselnya. "Di sini, di Old Solami." Dia kembali memindai teks itu. "Persisnya di Desa Solaria."
"Huh." Jafar tidak terlalu paham letak desa-desa di Old Solami. "Daerah mana itu?"
"Daerah utara sana, entahlah, aku juga kurang paham." Albert kembali menunduk. "'Seorang pria bernama Pen Livingston, 34 tahun, tega menganiaya istrinya hanya karena masalah sepele.'" Albert membacakan isi berita itu. "'Di hadapan polisi, korban yang bernama Angel Livingston, 32 tahun, mengaku dipukul, ditendang, dan diseret oleh suaminya setelah korban terlambat menyiapkan makan malam. Korban juga mengaku bahwa pelaku sudah sering melakukan tindak kekerasan tiap kali keinginannya tidak dituruti.'"
"Kacau," kata Owen. "Kok bisa ada pria yang tega berbuat begitu? Sama istri sendiri lho!"
Albert mengangkat bahu. "Sejengkel-jengkelnya sama istri, aku tidak mungkin tega menyakitinya."
Tanpa sempat dicegah, Jafar mengingat Ed, Fred, dan Pen; rutinitas mereka pergi ke Solarium; serta kisah subjektif mereka mengenai istri-istri mereka. "Meskipun istrimu pemalas, hobi rebahan, kumal, dan menolak diajak berhubungan seks?" tanyanya.
"Yah, itu sih …." Albert menggaruk kepalanya. "Masih bisa dibicarakan baik-baik, kan?"
Jafar membayangkan istri Ed, serta kebesaran hatinya selama pernikahan mereka; istri Fred, yang hamil muda, kelelahan, dan akhirnya kehilangan; serta istri Pen, yang bangun pagi-pagi sekali demi menyembunyikan "aib" di wajahnya.
"Istriku hampir selalu kabur kalau sudah kubimbing ke tempat tidur," kata Owen, merenung. "Tapi bukan berarti layak dipukul, iya kan?"
"Sama," tanya Albert. "Apakah semua istri begitu?"
"Entahlah. Istriku tidak—"
"Ditanyakan saja—"
"Dia menolak—"
Jafar menggeleng-geleng selagi mengaduk koktail dengan sendok panjang. Isinya berputar-putar, menyedot perhatiannya dan menenggelamkannya.
Pada intinya, Old Solami memang bukan kota yang besar.