Gubuk Setia
Oleh: Urip Limantoro Aris
Tak terasa, sepuluh tahun lamanya Mak Ijah menunggu suaminya di tepi pantai. Dia tinggal di sebuah gubuk hasil gotong royong warga di tanah milik juragan perahu, Man Jalik, di pinggir pantai. Tanah itu dipinjamkan sebagai bentuk tanggung jawab karena suami Mak Ijah terkena musibah saat bekerja padanya. Gubuk ukuran dua kali dua itu ditinggalinya sendiri. Karena Mak Ijah tak punya anak.
Penyangga gubuk dibuat dari kayu seadanya yang ditemukan di pantai, salah satunya kayu bekas tiang kapal. Dindingnya terbuat dari gedheg bekas pemberian beberapa warga yang merasa iba. Atapnya dari daun kelapa yang dianyam seadanya, asal mampu menahan rembesan air hujan. Namun jika hujan deras, terjangan air tetap tak mampu terbendung atap jeliring. Rembesan air dari jeliring dibiarkan oleh Mak Ijah. Paling-paling hanya menyingkapkan tikar usang untuk tidur malamnya agar tak basah. Tikar itu pun ditemukannya di tepi pantai.
Atap daun kelapa itu didapatkan dari pohon kelapa milik Man Jalik yang ada di sekitaran pantai. Selain juragan perahu, Man Jalik juga dikenal sebagai pengusaha gula kelapa. Ratusan pohon kelapa di sekitaran pantai, di-deres untuk pembuatan gula kelapa. Suami Mak Ijah juga ikut menjadi tukang deres kelapa bila tidak melaut. “Yang penting hasilnya halal kan dan dapur tetep bisa ngebul,” ujarnya pada Mak Ijah.
Di dalam gubuk setinggi hanya satu setengah meter itu, ada kursi plastik hasil mungut dari pantai yang satu kakinya sudah hilang. Beberapa perlengkapan masak usang hasil pemberian warga. Satu bantal gepeng yang di sana-sini ada banyak gambar peta kepulauan. Lantainya tanah tanpa rerumputan. Mak Ijah selalu membersihkannya bila ada sedikit saja rumput yang tumbuh.
Semenjak aku masih SMP, Mak Ijah terus setia menunggu suaminya pulang melaut. Saat itu Mak Ijah masih terlihat muda dan cantik. Dia bersama suaminya yang nelayan, indekos di rumah orang tuaku, kurang lebih limaratus meter dari bibir pantai. Sehari-hari, suaminya ikut bekerja pada Man Jalik pemilik perahu. Hampir seminggu dua kali, suami Mak Ijah melaut dengan perahu milik Man Jalik.
Tragedi itu terjadi pada malam Minggu sepuluh tahun silam. Bersama lima rekannya, suami Mak Ijah berangkat melaut selepas sholat Magrib. Perahu Man Jalik dengan lambung bertuliskan ‘Sumber Urip’, selalu setia menemani. Sengaja nama itu ditulis oleh Man Jalik agar bisa menjadi sumber kehidupan mereka.
Tak ada firasat apapun. Mimpi pun tak pernah mereka alami. Mereka berangkat dengan angan-angan mendapatkan hasil tangkapan yang melimpah. Namun naas bagi mereka berenam. Selepas Isyak, tiba-tiba cuaca tak bersahabat. Awan tebal memayungi lautan. Semakin lama menyatu dan bergumul menjadi satu. Bergulat dan memutar-mutar di tengah laut. Hujan pun mendadak turun dengan deras, petir menyambar di tengah laut. Bak cemeti api merobek gelapnya malam. Ikan-ikan pun lari sembunyi. Para nelayan menganggap ini salah mangsa. Semestinya belum waktunya turun hujan badai. Guyuran hujan begitu deras tanpa ada tanda gerimis. Semua merupakan rahasia Tuhan. Perhitungan mangsa ternyata bisa meleset.
Semalaman hujan turun deras. Jalan-jalan kampung tergenang air hujan. Di sana-sini lejeg dan licin. Warga pun enggan keluar rumah. Udara begitu dingin. Angin laut menambah dinginnya malam. Mereka lebih memilih tinggal di rumah. Menghilangkan rasa dingin dengan menyantap sawi godhog ditemani se-morong kopi panas.
Malam itu, Mak Ijah sempat mengungkapkan rasa cemasnya pada ibuku. “Mbak, semoga mereka tidak mengalami musibah apa-apa di tengah laut. Semoga mereka bisa pulang dengan selamat besok,” tutur Mak Ijah sedikit was-was.
Menjelang Subuh, hujan mulai reda. Dedaunan masih terlihat basah dan ada beberapa masih meneteskan air bekas hujan semalam. Aroma tanah basah mulai tercium setelah matahari terjaga. Burung-burung keluar sarang, beterbangan riang. Suaranya saling bersahutan. Tak lagi tampak ketakutan akan suasana semalam.
Mak Ijah terlihat agak pucat. Semalaman tak bisa tidur nyenyak. Mimpi buruk tentang suaminya terus menghantui tidurnya. Beberapa kali Mak Ijah terbangun, selanjutnya tak bisa memejamkan mata hingga Subuh tiba. Ternyata itu juga dirasakan Man Jalik. Dia membayangkan bagaimana kondisi anak buah kapalnya yang melaut malam itu.
Untuk mengusir segala pertanyaan dalam batin, Man Jalik pagi-pagi sekali bergegas menuju pantai. Dia mencari jawaban semua pertanyaan yang menghantuinya semalaman. Begitu juga Mak Ijah. Di pantai tampak beberapa kapal nelayan satu demi satu merapat. Walau tak banyak ikan yang didapat, namun mereka bersyukur bisa selamat sampai ke darat. Hanya perahu dengan lambung ‘Sumber Urip’ yang belum juga terlihat merapat.
Hingga menjelang sore, ada kabar mengejutkan. Ditemukan mayat laki-laki setengah baya terdampar di pasir. Yang lebih mengejutkan, ternyata laki-laki itu Kang Dullah, salah seorang anak buah kapal Man Jalik. Kondisinya cukup mengenaskan. Bajunya terlihat robek di sana-sini, hanya celananya yang terlihat masih utuh. Beberapa luka terlihat di pundak dan kepalanya. Bekas darah terlihat dari luka yang menganga. Kang Dullah ternyata sudah tak bernyawa.
Sementara lima anak buah kapal lainnya, termasuk suami Mak Ijah, tak ada kabar berita. Hidup ataukah sudah mati, masih menjadi tanda tanya.
Sejak saat itu, Mak Ijah tak lagi tinggal di rumah orang tuaku. Sehari-hari Mak Ijah selalu berdiri di tepi pantai. Dia dengan setia menunggu suaminya pulang melaut. Dalam angannya, sang suami masih berada di tengah laut mencari ikan. Matanya terus memandang jauh di ujung tepi. Itu selalu dilakukannya sepanjang hari. Sudah hampir sepuluh tahun tak pernah henti. Tak lagi dirasa panasnya terik mentari. Yang diangan hanyalah kapan suami tercintanya akan kembali.
Mata itu masih juga seperti dulu. Selalu yakin kalau sang suami pasti akan kembali bersatu. Walau sesekali mata keriputnya terlihat sendu. Tak peduli entah berapa tahun lagi harus menunggu. Keyakinan itu tak pernah goyah. Di angannya, suaminya masih belum sempat berwarta.
Warga nelayan iba melihat kondisi Mak Ijah yang tak pernah meninggalkan pantai. Dia selalu berdiri sendiri, bagai pohon kelapa kokoh di tepi pantai. Akarnya menancap menembus bumi. Daunnya melambai-lambai diterpa angin laut. Rambutnya yang mulai beruban, terlihat terbang tertiup angin laut. Terkadang menutupi wajahnya yang tak lagi halus. Bajunya terlihat tak lagi serapi dulu. Bahkan terkesan baju yang itu-itu. Di sana-sini terlihat robek dan kumuh.
Walau baru beberapa minggu suaminya tak kembali, wajah Mak Ijah mulai terlihat keriput. Garis-garis di sekitar matanya semakin kentara. Namun guratan kecantikan masih nampak terlihat.
Berkat kebesaran hati Man Jalik dan bantuan beberapa warga, akhirnya Mak Ijah dibuatkan sebuah gubuk di tepi pantai. “Kasihan kalau tak ada tempat bernaung, bisa kepanasan dan kehujanan. Semoga gubuk ini bisa sedikit membantu Mak Ijah menuntaskan semua kesetiaanya pada sang suami,” aku Man Jalik ketika itu.
Sejak kejadian itu, Mak Ijah terus menyisir sepanjang pantai. Setiap yang mencurigakan di pantai, selalu menjadi perhatiannya. Setumpuk sampah yang terseret ombak pun, menjadi perhatian matanya. “Jangan-jangan suamiku ada dalam tumpukan sampah itu”.
Bahkan cerita dongeng yang berkisah tentang surat dalam botol, juga sempat mengganggu pikiran Mak Ijah. Hampir setiap botol yang ditemukan di pantai, diambilnya. Diteliti, kali aja ada surat terselip dalam botol mengabarkan kondisi suami tercintanya. Hingga puluhan bahkan mungkin ratusan atau ribuan botol telah Mak Ijah pungut dari pantai. Tanpa sengaja, Mak Ijah pun menjadi pemulung botol. Dari botol-botol yang dikumpulkan dan dibawa pulang, Mak Ijah mendapatkan sekadar buat kebutuhan hidupnya.
“Berkat Mak Ijah, pantai kita jadi lebih bersih. Tak ada satu botol pun berserakan di bibir pantai,” tutur salah seorang nelayan yang nelangsa menyaksikan kondisi Mak Ijah yang sebatang kara.
Setiap pagi Mak Ijah rutin menyisir pantai seorang diri. Terkadang aku menyaksikan ketika libur sekolah. Kadang aku ikut membantu memungut botol-botol yang terbawa ombak dari tengah laut. “Ambil botol itu, pasti di dalam itu ada surat suamiku,” teriaknya padaku ketika melihat galon air mineral yang terombang-ambing terhantam ombak di bibir pantai.
Para nelayan yang baru pulang melaut, tak luput jadi sasaran pertanyaan Mak Ijah. Pertanyaannya selalu dengan kalimat yang sama. “Kang, apa nggak ketemu suamiku di tengah. Tolong suruh pulang, istrinya selalu setia menunggu. Istrinya sudah menyiapkan arang untuk membakar ikannya”.
Para nelayan sudah memahami kondisi Mak Ijah. Mereka kadang hanya tersenyum. Bahkan ada sebagian warga yang menganggap Mak Ijah sudah tak waras. Tapi tak sedikit yang iba dan sengaja menjawab pertanyaan Mak Ijah untuk melegakan. “Iya Mak, nanti kalau saya ketemu di tengah laut, pasti saya sampaikan pesan emak. Emak tunggu saja di rumah, nggak perlu nunggu di pantai setiap hari”.
Kegiatan rutin Mak Ijah setiap hari di pantai, tak pernah diselingi dengan keluh kesah. Seakan Mak Ijah menikmati pencarian dan penantiannya tanpa gelisah. Walau terkadang sekujur tubuhnya berkeringat dan basah. Mak Ijah tetap berkeyakinan kalau suaminya pasti akan tiba.
“Suamiku pasti pulang. Dia telah berjanji untuk tetap menemaniku sampai kapanpun. Dia pasti menepati janjinya,” ujar Mak Ijah ketika kami menyisir pantai berdua.
Suatu ketika, Mak Ijah sempat dibuat sedikit bahagia. Pagi itu, cuaca tidak seterik biasanya. Sambil memungut botol-botol di pantai, tiba-tiba Mak Ijah menyaksikan pemandangan yang berbeda. Di tepi pantai tak jauh darinya memungut botol, terlihat kerumunan warga. Dari kejauhan terdengar kalau ada ditemukan laki-laki terdampar.
“Itu pasti suamiku”.
Begitu bahagianya Mak Ijah, botol-botol yang dikumpulkan dilemparnya. Semuanya berserakan di pasir. Ada yang menggelundung tersapu angin dan masuk kembali ke air laut. Mak Ijah dengan napas tersengal-sengal, berlari mendekati kerumunan warga. Mak Ijah menyeruak dan mendesak masuk ke tengah. Di sana tampak laki-laki muda dengan baju robek tertelungkup mencium pasir. Nampaknya laki-laki itu masih bernapas. Terlihat dari gerakan punggungnya yang naik turun dengan halus.
Warga nelayan yang berkerumun segera membalikkan tubuhnya. Benar, laki-laki muda itu masih bernapas. Tapi tak seorang pun yang mengenali wajahnya. Termasuk Mak Ijah. Timbul sedikit rasa kecewa di matanya. Tapi semua itu tak menyurutkan niat Mak Ijah untuk tetap mencari dan menanti pulangnya sang suami. “Suamiku pasti akan pulang seperti laki-laki itu. Suamiku laki-laki yang bertanggung jawab. Tidak mungkin membiarkan aku sendirian”.
Melihat kondisi Mak Ijah seperti itu, beberapa tokoh masyarakat sekitar ikut bersedih. Untuk ikut membantunya, mereka tanpa meminta imbalan membawanya ke beberapa orang pintar. Mulai dari desa setempat, sampai ke beberapa desa yang ada di pelosok. Berbotol-botol air jampi dari orang pintar, ternyata tak mampu mengubah keyakinan Mak Ijah kalau suaminya pasti pulang. Mak Ijah tetap setia menunggu suaminya di bibir pantai.
“Kasihan suamiku, kalau aku tak ada saat dia pulang. Suamiku pergi melaut juga agar aku senang. Nanti ikan-ikannya bisa dipanggang,” selalu seperti itu alasannya ketika kutanya saat aku libur sekolah.
—
Hari berganti hari. Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Kini aku sudah menjadi pria dewasa. Aku telah bekerja di sebuah instansi pemerintah. Hari ini tepat sepuluh tahun suami Mak Ijah tak ada kabar berita. Mak Ijah masih tetap setia menunggu di pantai dengan sabar. Selepas Subuh, Mak Ijah kembali mulai menyisir pantai. Langkahnya tak secepat dulu lagi. Tubuhnya sudah sedikit membungkuk. Dia menyisir pantai, lantas berdiri di samping pohon waru dekat gubuknya. Selalu dilakukannya sepanjang hari. Selalu seperti itu setiap hari. Entah sampai kapan. (**)
(Banyuwangi, Desember 2022)
Catatan (dari Bahasa Using):
Gedheg : dinding dari anyaman bambu
Jeliring : daun pohon kelapa
Deres (nderes) : sadap
Mangsa : musim yang datang tidak seperti musim yang seharusnya
Lejeg : menjadi agak rusak (tidak rata) karena sering diinjak-injak
(tentang tanah)
Sawi godhog : ketela rebus
Morong : teko