Istana Langit

ISTANA LANGIT

Oleh: Nisa Fauztina

Siang ini, Amina sedang bermain game di handphone sambil duduk beralaskan tikar pandan. Ini hari ketiganya berlibur di rumah kakeknya di desa. Amina merasa sangat bosan  karena tidak ada sinyal handphone di sini, sehingga ia tidak bisa menghubungi teman-temannya di kota. Kakek yang hendak pergi ke kebun tersenyum melihatnya cemberut melulu.

“Amina, yuk, ikut Kakek ke kebun!” Ajak Kakek. Amina lagi-lagi menolak, alasannya karena ia takut serangga. Akhirnya, sekali lagi Kakek pergi ke kebun sendirian.

Amina duduk mengamati halaman. Di tengah lamunannya, tiba-tiba ia melihat seorang anak laki-laki yang mengendap-endap melewati semak belukar di depan rumah Kakek. Amina curiga, jangan-jangan anak itu adalah pencuri ayam yang sering Kakek keluhkan. Ia akhirnya memberanikan diri mengikuti anak itu dari belakang.

Anak laki-laki itu berjalan menuju pematang sawah. Amina mengikutinya diam-diam hingga akhirnya anak itu menghilang di balik pohon.

“Duh, kemana ya dia?” Amina menggaruk-garuk kepalanya karena kehilangan jejak.

Tiba-tiba..

“DORR!”

“Huwaa!” Amina menjerit karena seseorang mengagetinya dari belakang. Anak tadi terbahak-bahak melihat wajah Amina yang pucat.

“Kamu!” Amina kesal karena anak yang tadi ia ikuti malah kini mengagetkannya.

“Kamu mengikutiku, ya?” Tanya anak itu.

“Eh? Hehehe.. iya,” Akhirnya Amina menjawab dengan malu. “Habisnya kamu kelihatan seperti mau mencuri!” Ujarnya membela diri.

“Makanya, jangan berburuk sangka!” Kata anak itu. Amina tersenyum malu karena ia salah mengira.

“Oh iya, namaku Langit. Kamu pasti Amina, cucunya Kakek Hasan yang datang dari kota, kan?” Tebak anak itu. Amina mengangguk.

“Kamu tidak pernah keluar dari rumah kakekmu selama ini. Memangnya kamu tidak bosan?” Tanya anak itu yang ternyata bernama Langit.

“Tidak, dong. Aku kan, selalu bermain handphone,” jawab Amina sombong. Padahal, selama ini Amina bosan karena permainan di hape-nya itu-itu saja.

“Oh ya?”

Amina lagi-lagi mengangguk memamerkan handphone yang ia bawa di saku.

“Kalau aku jadi kamu, aku sih, sudah bosan! Apa serunya menatap layar kecil itu terus?” Ejek Langit.

Amina marah mendengar handphone terbarunya diejek. “Hei, ini hape terbaru yang mahal! Memangnya kamu punya?!”

Langit menggeleng. “Aku memang tidak punya hape canggih. Tapi, aku punya istana yang megah tempat aku bermain!”

Seketika Amina terkejut mendengarnya. Benarkah anak ini mempunyai istana megah? Ia penasaran sekali.

“Ayo ikuti aku!” Ucap Langit.

 Langit mengajaknya pergi menyusuri kebun. Amina mengikuti di belakang.

Akhirnya kedua anak itu berjalan beriringan. Awalnya, Amina merasa lelah berjalan. Tapi kelelahannya tidak terasa karena ia melihat banyak hal baru yang dilewatinya. Mereka melewati sungai yang berkelok, juga padang rumput yang luas. Hamparan pepohonan yang hijau dan bunga warna-warni memanjakan mata. Sejauh mata memandang, Amina selalu menatap pemandangan di sekitar dengan kagum.

“Lihat! Burung itu berwarna biru!”

“Wah, iya! Ada juga kumbang yang berwarna emas!” Keduanya asyik menikmati pemandangan di sawah.

Di tengah jalan, Amina tiba-tiba berteriak karena melihat laba-laba besar yang membuatnya takut. “Aku takut serangga!” Keluhnya pada Langit.

Langit tertawa. “Hei, kumbang berwarna emas tadi juga serangga, tau. Tidak semuanya menyeramkan, kok!”

Amina takut-takut membuka mata.

“Ayo, kamu pasti bisa melewatinya!” ujar Langit menyemangati. Akhirnya, Amina berhasil mengatasi rasa takutnya. Ia berhasil melewati perjalanan yang jauh itu.

“Kita sudah sampai.” Kata Langit akhirnya, setelah mereka berjalan hingga matahari tampak mulai teduh.

Amina celingak-celinguk, mencari istana yang Langit bilang. “Mana istanamu? Kamu bohong, ya?” Amina marah karena tidak ada istana apapun di sana.

Langit tersenyum. Ia menunjukkan sebuah pohon besar di depannya, yang ternyata terdapat tangga di dahannya. “Lihat, ini istanaku. Ada di atas pohon ini.”

Amina melongo heran. Bagian mananya yang bisa disebut istana?

Langit kemudian mengajaknya naik. Mereka kemudian menaiki tangga itu. Betapa takjubnya Amina, ternyata di atas pohon tadi ada rumah kecil yang terbuat dari kayu.

Sebuah rumah pohon!

Takut-takut, Amina memanjat ke rumah pohon itu tanpa memandang ke bawah. Ia berpegangan dengan erat. Dan ketika sampai di atas, ia terkejut.

Wah.. ternyata pemandangan dari sini indah sekali!

Sejauh mata memandang, ia bisa melihat hamparan sawah yang mulai menguning. Sungai yang tadi ia lewati tampak berkelok indah, dihiasi pepohonan yang rindang. Langit sore yang berwarna jingga terlihat seperti lukisan. Amina memandang dengan takjub. Ia tidak sadar kalau pemandangan di sekitarnya sangat cantik.

“Inilah istanaku, Amina. Aku bisa melihat hamparan langit yang luas dari sini. Indah, bukan?”

Amina mengangguk sambil tersenyum.

“Lihat, aku bisa memandangi dunia dari istanaku. Bagaimana denganmu? Apakah kamu bisa melihat indahnya dunia dari gadget kesayanganmu?”

Amina terdiam. Jadi, inilah alasan Langit membawanya ke sini.

Istana Langit tidak seperti yang Amina bayangkan, namun lebih indah. Perjalanan  menuju istana Langit juga menyenangkan. Ia bisa menemukan banyak hal baru yang jarang ia temui. Tidak sepertinya, yang terkurung dalam dunia digital bernama handphone. Amina jadi iri pada Langit. Meski tidak punya gadget paling canggih, ia punya dunia yang begitu luas untuk dijelajahi.

“Dunia ini luas, Amina. Istana di luar sana menunggu untuk kamu temukan.” Ucap Langit sambil tersenyum.

Sepulang dari sana, Amina jadi sadar, kalau selama ini ia jarang melihat dunia luar. Ada banyak pemandangan, permainan, dan istana yang lebih indah daripada sekadar memandangi layar handphone-nya. Kini ia berjanji, untuk mulai membuka diri pada lingkungan sekitar dan menjelajahi indahnya dunia.

Berkat istana Langit, Amina juga mulai membangun istananya sendiri. Bagaimana denganmu? Apakah kamu juga punya istana indah untukmu menjelajah?

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami