Jakarta yang Lain
Muhammad Ade Putra
- Ibu
Sejak Jakarta menjadi Jakarta, yang kutahu hanya ibu.
tukak telapak kaki menahan koyak dan lapar perut anak-anaknya.
Ibu pergi ke pinggir-pinggir kota dengan air mata mengirim banjir.
ku ambil satu cerita dari sisa kantuknya.
dari rumah-rumah, jalan beton dan proyek-proyek.
dari hitam kuku ibu, bibirnya masih kokoh mencium keningku.
menitip kata. mengintip kota.
Kini, ibu tidak lagi di sini, bercak keringatnya telah mengering.
matahari hilang tempat, pejalanan kaki itu sudah sampai pada tujuan.
tanah entah, di mana Jakarta masihlah Jakarta yang lama.
tapi tanah ibu masih subur gembur akan doa.
- Jalan
Aku telah membuka pintu yang tidak kukenal,
Jakarta paling asing yang pernah ibu ceritakan dalam dongeng pengantar tidur.
kota dengan lilitan jembatan penghubung banyak hal.
lalu sungai itu, tempat anak-anak berenang sepanjang hari.
apa ia masih memiliki hulu, paling tidak untuk pulang sekali saja.
Pasar terus ramai dalam pekat malam, rumah ruko itu terus menjajakan kata hati.
lampu jalan sesekali redup, membiarkan trotoar merindu mata arah angin.
Tukang surat lalu lalang, mengirimkan paket seorang ibu dari tanah seberang.
anaknya tidak juga membalas SMS, kantor-kantor imigrasi menutup badan serapat-rapatnya.
kepada siapa aku harus bertanya?
kursi taman sisa hangat bekas dua anak muda itu saja diam menahan dingin.
apa lagi bus-bus tua yang pensiun sebelum terbelah,
mereka diam-diam mengenang rusak jalanan.
Sudah 1740 langkah kakiku memutari tanah ini, tapi Jakarta tidak juga kutemukan.
aroma keringatnya masih membekas di pinggir hidungku.
tanda tangannya tumpah di bajuku.
apakah ia masih ada? atau aku harus pulang saja?
Menyerah mencarinya.
- Pulang
Bulan diam di bawah lampu trotoar sepanjang-panjang Sudirman
tidak ada peluk erat “selamat tinggal”
hanya kisah sedih: akulah anak-anak kalah
patah tulang punggung keluarga, sedang Jakarta ternyata hanya gelisah
malam hitam membutakan mata gelap sampai ke ujung.
Kota sebagai ibu: gaji receh pertama, menabung atap koran lama
nasi bungkus bagi bertiga
gedung-gedung tinggi, Senayan yang sendu. Jakarta malam ini tidak ada.
Sepi merengkuh tubuh orang-orang rindu rumah.
- akulah anak-anak kalah
doa ibu ditelan mimpi-mimpi, ia entah di mana.
Dulu Jakarta berjanji: hangat setiap dini hari, banyak roti sebelum berangkat bekerja
dan aku bisa mengenakan kemeja biru tua -menyalami istri-.
Aku pulang Jakarta, kalah kali ini begitu menyakitkan.
“Alasan bertahan hanya tentang kaki yang masih berdiri.
selebihnya patah dan minta mati.”
kau tidak menjagaku, luka menganga dan mata merah nyala. kian sesak.
Aku sendirian.
2023