Jejak Kesyahidan yang Esa

Jejak Kesyahidan yang Esa M. Arif Rahman Hakim /I/: Potret Tanah Thur. Telah bangkit seorang cahaya dari serat tanahmu. Dan serat tanah-Mu merendam cahaya itu dalam anggur-anggur cinta, lalu anggur-anggur lain lahir-menjamur dari cahaya tersebut. Hingga cahaya itu dihukum. /II/: Sejagat kitab-kitab telah ia darah-dagingkan. Namun betapa lelaki itu sadari, lautan miliknya adalah najis dan dahaga. Maka ia putuskan dirinya musti lebih berjalan di atas waktu, menjamah sudut-sudut gurun demi bintang-bintang impian yang ia layangkan menembus langit kedelapan: sebuah pengharapan, persetubuhan hakiki dengan cakrawala sufi. Sampai beberapa waktu telah membawanya kembali—ia kembali, mengamalkan bajik dan keajaiban. Dibacanya segala yang ada atau yang hilang dari balik raib tabir Tuhan. Oracle Delphi tak pernah membuka tabir sampai tanah Persia, tapi Putera Mansur itu datang, kemudian sekujur lembar angkasa ia singkap di bawah kurun langit Abbasiyah. Dan alangkah jagat keilmuan itu terlanjur melebur hangat dengannya, lelaki itu tak kuasa memendam nirmala cinta yang menghembus napasnya: Orang-orang harus menikmati ihwal surgawi ini, teguk cinta yang Mahacinta. Cinta yang benar dari Mahabenar. Dengan lisan berlumur moksa, bongkah-bongkah kalam anggur kudus keluar mengucur, deras mengisi telinga dan urat-urat kota. Tapi bagaimanapun juga, anggur surga memang sulit diterima tadah tangan mayapada, yang banyak orang-orang terima hanyalah anggur-anguur dunia. Tiada heran kalakian singa-singa kerajaan itu datang, mengecamnya lagi mengancam: Akhiri ucapan itu! Atau bagimu hanya terbangun terali bui dan penebangan nyawa. Mendengarnya, lelaki itu hanya tersenyum, ia tantang bahaya, ia goda penjara. Baginya, cercah cahaya hanya akan sempurna kala ia berhasil menghunus tumbang pengadangan pekat gulita: Terkutuklah ancaman itu. Merdekalah kalam-Ku, ‘Akulah Kebenaran’. /III/: Dan lepas rusuk-rusuk penjara ia lewati, kini dengan rantai-rantai, lelaki tua itu diseret di atas tanah terpanggang, di hadapannya terpampang muka pilar penggantungan. Ia pandangi tiang itu dengan anggun dan tersipu senyum gembira: Sungguh mulia puncak itu. Lalu orang-orang menamparnya dengan lesat kerakal, tapi ia begitu menikmatinya: diam. Hingga Syibli, karibnya yang betapa bermekaran iba melemparinya dengan bunga—dan tak ada menyangka, sentuhan iba kelopak puspa Syibli memicu rintih Putera Mansur lantang tanpa lirih. Katanya, ia lebih merestui lesatan koral yang ikhlas menerjang, ketimbang harus dihantam helai bunga-bunga atas rasa iba dan terpaksa. Kemudian rajaman terhenti, lantaran penjagal kerajaan datang; sebab tanda semuanya akan dimulai dan ditumpaskan. Dan lihatlah, tubuh dan daging Putera Mansur itu seketika remuk- ringkih—dicabik sengat jangat rotan penjagal. Tapi ia tak mengerang. Tangan-kakinya diiris, berpancar merah darah segar. Tapi demikian pula lelaki itu hanya semakin bangga: Bukankah aku masih memiliki sepasang tangan-sepasang kaki yang mengantarkan diri ini kepada nirwana. Dan kalian mustahil merebutnya. Seperti Socrates, yang memeluk keteguhan sampai pupus di teguk racun cemara. Seperti Hypatia, yang ditelanjangi dan dirobek tubuhnya demi sebuah iman. Seperti Ibrahim, yang rela dibakar dekap gelondongan kayu demi menebas kobar kebatilan. Tapi Al-Hallaj tak seperti Ibrahim yang bermandikan mukjizat dan membekukan api. Ia hanya teguh, dan melumuri jiwanya dengan guyuran lafaz: Akulah Kebenaran. Lantas sekejap mata, dua bulat mata itu lepas, telinga, hidung, dan lisan itu dicabut dari tanam tubuhnya. Hingga hanya tersisa seonggok tubuh yang berdenyut kecil, lalu tubuh itu digantung pada pancang kayu seutuh malam—seusia malam, seluruh tetes darahnya merangkai nama Tuhan. Kala esok hari datang, kepalanya ditebang, sekujur badan dicincang. Dan alangkah mereka tercengang kemudian, dari seluruh potongan raganya semuanya bersabda: Akulah Kebenaran. Demi menghapus jejak-jejak tabu, potongan-potongan tubuh itu dibakar jelaga. Namun ucapan itu tetap kembali bermekaran tanpa henti: Akulah Kebenaran. Maka dengannya kerajaan kalut kepalang. Lalu diputuskanlah lebu jasad itu dikaramkan ke arus Tigris, dan sungai itu terbakar. /IV/: Sangkala semua kejadian tergerus waktu, larut-tenggelam. Sekonyong-konyong seorang tokoh sembahyang di hadapan tiang penjagalan Husain al-Hallaj seumur malam. Di tengah sembahyang, ia tangkap suara raib menggema halus sutra: Kami berikan salah satu rahasia kami, dan ia tidak menjaganya. Sungguh, inilah hukuman bagi mereka yang mengungkapkan segenap harta karun kami.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami