Jerat Pesut Mahakam

Nur Cholish Majid

Di atas gelombang pasang itu, tak ada yang memperhatikan gerakan sepimu.

Semua pandang tertuju pada keramaian di daratan, bersiap menyambut acara puncak Festival Erau[1] yang sebentar lagi akan dimulai.

Perahu kecil tersadai tak tenang, ditarik-tarik gelombang pasang yang tak sabar, menanti seorang pemancing berpengalaman turun ke sungai. Namun bahkan seorang pemancing terbaik sekalipun memiliki hari sial dimana ikan tidak dia dapatkan.

Kautahu itu.

Tapi sepi yang kaurasakan ketika melemparkan kail dan kesunyian yang dingin menunggu tarikan pada senar telah merangkum seluruh kisah.

Ini bukanlah sekadar hari sial.

*****

Kaumenunggu penuh ragu. Berdayung jauh hingga tubuh penuh peluh, tak pelak terbitkan jenuh. Apalagi matahari kian tergelincir ke barat, tak jua tampakkan hasil yang kan didapat.

Asa perlahan menguap, namun nasib sudah tersurat.

Kala hati menyiapkan raga untuk kembali makan nasi tanpa lauk, air sungai menyembur, munculkan riak yang ramai. Asa yang hampir tenggelam kini kembali timbul.

“Pasti ada ikan,” bisik Anek[2] dengan pancing yang siaga, kala melihat kawanan Pesut Mahakam[3] muncul ke permukaan.

Dengan sebuah ayunan pasti kail beserta umpan segera menghilang ke dalam air yang kuning kecokelatan, penuh harap. Hening sebentar sebelum terasa tarikan berat. Sebuah sentakan cepat cukup untuk memindahkan ikan dari dalam air ke dalam perahu. Sesuatu yang terus Anek ulangi beberapa kali.

“Mereka selalu tunjukkan kita ikan,” Anek tersenyum puas, sambil mengucapkan terima kasih pada kawanan Pesut Mahakam yang juga tengah berpesta ikan.

“Mereka adalah saudara kita,” Pungkas Anek yang lalu bercerita tentang asal usut mamalia air tawar itu.

Dahulu kala terjadi kemarau yang sangat panjang. Membuat sungai kering dan makanan sulit didapatkan. Segala upacara ritual dilakukan dan doa telah habis dirapalkan namun hujan yang dinantikan tak kunjung turun.

Hingga keputusan pahit dibuat untuk mengorbakan seorang manusia agar yang  maha kuasa iba. Tersebutlah nama Silu, si bungsu dari dua bersaudara yatim piatu yang harus dikorbankan. Meski kakaknya menentang namun keputusan sudah ditetapkan, demi selamatkan banyak orang.

Usai pengorbanan dilaksanakan hujan turun dengan derasnya, seakan menangisi kepergian gadis suci. Sang kakak yang masih tidak rela, tidak beranjak dari sungai tempat pengorbanan dilakukan. Menangis bersama hujan.

Dari sungai yang kembali mengalir muncul seekor makhluk, diyakini sebagai jelmaan sang adik. Sang kakak memutuskan untuk terus tinggal di Sungai Mahakam bersama jelmaan sang adik yang diberi nama Pesut.

Merekalah leluhur kita para manusia yang tinggal di rumah-rumah rakit.

*****.

“Dapat kita[4] ikan?” Tanya seseorang yang tak kaukenal dari arah bantaran sungai yang kaujawab dengan sebuah gelengan.

“Di sini sudah tidak ada lagi ikan, kita ke hulu lagi sana baru bisa dapat,” sarannya sambil melemparkan beberapa kantong plastik sampah berukuran besar ke sungai. Kantong plastik sampah itu mengambang pelan, bergoyang-goyang ke hulu mengikuti arus sungai.

Kecewamu sudah penuh hingga tidak ada lagi yang kan buat tekadmu rapuh. Kau mendayung jauh hingga tubuh penuh peluh, meski hati kian jenuh namun mulut enggan ucapkan keluh. Bertahun-tahun alat penggerak perahumu tidak pernah berubah, hanya sebilah dayung yang kini patah sebelah.

“Dengarlah, dengarkan suara angin. Rasakan aliran sungai, ikuti petunjuk kawanan pesut,” kata Anek dahulu, mengajarimu cara menangkap ikan.

Kau mendengus kesal. Suara di udara hanyalah bisingnya knalpot kendaraan ataupun pabrik-pabrik yang beroperasi mengejar target korporasi. Aliran sungai tak lagi pasti kala pasang dan surutnya sudah tak lagi terprediksi.

Arus sungai terdorong gelombang kapal tongkang pengangkut lima gunungan batu bara, bagai bukit hitam yang mengapung.

Kutahu seperti halnya diriku yang merindukanmu setiap kali melihat Sungai Mahakam, kaupun teringat padaku.

Anekmu adalah seorang tetua yang bijak, namun dia sangat tegas dalam hal adat dan tradisi. Terlebih semenjak tak ada lagi penerus selain dirimu, cucu perempuan satu-satunya yang menjadi yatim piatu semenjak kanak-kanak.

Kaupun menjadi tidak ada pilihan selain mengikuti jalan yang telah dipilihkan untuk terus menjaga tradisi sebagai manusia rakit. Membuatku ragu untuk bertahan dan berharap ada suratan yang membawa cerita berbeda.

Akupun yakin kausebenarnya telah melihat tanda-tanda perubahan zaman.

“Masa depan seperti apa yang kauharapkan dari hidup berpindah-pindah dengan rumah rakit ini?” tanyaku memastikan, berharap gambaran masa depan yang kaubayangkan memiliki kesamaan denganku.

Atas nama cinta, aku mengajakmu untuk bersama memulai kehidupan di darat. Membangun rumah tapak kecil, bekerja di sebuah perusahaan tambang dan menyusun masa depan yang lebih pasti.

Pintaku tegas namun kaubersikeras. Hati kita mungkin sejalan namun prinsip membawa langkah kita tak seiring.

Ada tradisi yang harus kaujaga dan ada masa depan yang ingin kuraih.

Zaman yang terus berubah tidak bisa kautahan. Satu persatu manusia rakit pindah ke darat, tinggalkan dirimu seorang diri susuri sungai sepi.

Kutahu bukannya kau tidak pernah terpikir untuk meninggalkan rumah rakit. Jauh sebelum itu sebuah petuah pernah hinggap di kepalamu hingga hampir menggerakkan hatimu.

“Jika impian hanya sebatas di pikiran maka itu adalah khayalan, jika impian dituliskan maka itu adalah ide. Namun jika impian dikejar dengan kerja keras, maka itu adalah hasil,” kata Pak Jono, wali kelas kita di sekolah dasar dasar dahulu. Ia merupakan seorang sarjana dari Pulau Jawa.

Namun ketika sebuah impian kautuliskan pada selembar kertas buram yang dibagikan untuk menghitung, hasilnya bagaikan kumpulan rumus yang tidak kunjung menemukan jawabannya.

 “Jika hanya sekadar mencari uang untuk makan, sebarang pekerjaan tidak akan menjadi soal. Tapi ada adat yang harus kita jaga. Kita bisa kena bala bila meninggalkan Pesut.” Tentang Anek keras sewaktu melihat kertas burammu itu.

Bagi kita anak rakit, sangat jarang yang menamatkan bangku sekolah dasar, cukup sekadar bisa membaca dan menulis. Kita harus terus berpindah dengan rumah rakit untuk mengikuti kawanan Pesut Mahakam.

*****

Burung-burung yang pulang dengan perut terisi, bercicit riang seakan meneriakkan ejekan.

“Bersyukurlah, semua akan terasa nikmat,” pungkas Anek suatu kali sambil menunjukkan hasil tangkapan yang hanya cukup untuk makan satu kali. Kau tak tahu untuk apa senyum bangga yang merekah di wajahnya. Sedangkan esok pagi tak tahu lagi apa masih ada lauk sebagai teman nasi. Sudah sangat lama semenjak terakhir kali tangkapan besar kalian dapatkan. Seekor ikan patin seberat satu kuintal yang hasilnya cukup untuk makan sebulan.

Dadamu terasa sedikit sesak, sedang sampan terus ditarik senja yang kian menua.

Namun kau teringat bahwa masih ada harapan. Rengge[5] yang kau pasang kemarin belumlah kauperiksa. Sedari kecil kita sudah diperingatkan untuk tidak menggunakannya.

“Pesut bisa mati jika terjerat rengge, kita semua bisa terkena tulah.” terang Anek.

Bahkan sekarang tanpa rengge pun pesut-pesut telah hilang bak ditelan bumi.

Semenjak pesut tidak lagi kelihatan, kau memutuskan untuk memasang rengge kemarin. Kau tidak bisa lagi berharap pada Pesut Mahakam. Tidak semenjak mereka tidak lagi ada.

Cepat kauarahkan perahu menuju tempat rengge itu terpasang.

Hati-hati kauperiksa rengge dari ujungnya, tak lagi menyisakan kecewa kala kekosongan yang kaudapatkan. Tapi sedikit rasa berat membuat hatimu membuncah kegirangan. Semakin lama, terasa semakin berat.

Pastilah ikan yang cukup besar, pikirmu.

Akan tetapi rasa girang berubah menjadi kebekuan saat yang kautemukan adalah seekor Pesut yang telah mati terjerat rengge.

Kaumemandang jauh ke hilir, melewati beberapa kelokan sungai, terbayang sebuah rumah rakit tua yang telah lama tak berpindah, di dekatnya ada sepasang batu nisan tertanam. Batu nisan dari Anek, yang dulu mengajarimu dan juga diriku untuk mencari ikan dan terus bertahan. Terendam dalam air pasang tempatnya dulu mencari penghidupan.

Dari daratan terdengar suara keramaian. Riuh rendah bersahutan teriakan kegembiaraan.

Aku turut serta dalam Festival Erau ini sebagai arwah yang dipanggil untuk Upacara Belian[6]. Tubuhku telah lama terkubur di dasar tambang dan tak pernah ditemukan saat longsor melanda lubang galian bertahun-tahun silam.

#####


[1] Memiliki Arti Ramai, sebuah tradisi festival adat Kerajaan Kutai yang diadakan setiap tahun hingga sekarang

[2] Panggilan orang hulu Sungai Mahakam untuk Kakek

[3] Hewan endemik Kalimantan Timur yang terancam punah, sejenis mamalia air atau dikenal pula sebagai lumba-lumba air tawar

[4] Bahasa Kutai halus untuk menyapa yang lebih tua

[5] Alat menangkap ikan sejenis jaring panjang yang populer digunakan para nelayan di Sungai Mahakam

[6] Upacara Suku Dayak untuk memanggil arwah guna menyembuhkan penyakit dan menjauhkan bala

Scroll to Top
× Hubungi kami