Kabar Sachiko

Oleh: Awit Radiani

Jika memasang paku, bila ada satu yang menonjol pastilah akan dipukul lebih keras untuk meratakannya agar rapi dan seragam. Paku yang menonjol membahayakan, bisa membuat terluka. Sesungguhnya tak semua paku menonjol membahayakan, jika ditempatkan dengan benar paku yang menonjol bisa berguna sebagai cantelan, penggantung baju, tas, atau apa saja.

Ia bukan paku tapi dipukul lebih keras agar tak berbeda. Sachiko hanyalah perempuan yang dianugerahi pemikiran lebih menonjol dari rata-rata, namun ia habis diratakan. Keinginannya untuk maju dengan cara berbeda telah dipukul mundur. Ia kecewa, patah arang, marah pada keadaan. Lalu memukul diri sendiri keras-keras, hingga melesak dalam dan tak terlihat lagi.

Aku mengunjungi rumah keluarga Uehara, hampir satu minggu setelah saat shoushiki ayah Sachiko berlalu. Berita duka sampai padaku sangat terlambat, sehingga aku melewatkan upacara kematian itu. Tak sempat lagi memberi penghormatan terakhir pada jenasah Tuan Uehara. Abu tubuhnya telah tersimpan dalam guci di bawah monumen nisan batu, bersama abu keluarga lain yang telah meninggal di haka keluarga Uehara.

Nyonya Uehara mengenakan kimono hitam, wajahnya terlihat sangat sendu. Suasana duka begitu terasa sejak aku melepas sepatu di genkan. Kutemukan sekuntum bunga layu terselip di sela sandal rumah yang tertata rapi di getabako. Tentu saja aku memahami kedukaannya, siapapun tentu akan berduka bila ditinggal pergi selamanya oleh pasangan yang dicintai. Tapi aku merasa ada suatu kepedihan lain yang menggelayut di punggungnya.

Aku mengikutinya menuju washitsu, lalu duduk bersila di atas zabuton. Nyonya Uehara tampak gelisah, dari caranya menghidangkan ocha aku tahu ia sedang menguatkan tulang untuk menahan beban tubuhnya sendiri. Permukaan air dalam cawan bergetar seiring getar tangannya. Tak ada yang kulakukan selain mengangguk dalam-dalam sambil mengucapkan arigato berkali-kali. Ia sudah seperti ibuku sendiri. Seharusnya tak perlu sesungkan ini. Tapi waktu panjang yang memisahkan, rupanya membuat kami menjadi orang lain kembali.  

Tak jauh dari kami, terpajang pada tansu, foto Tuan Uehara memandang lurus kaku beku tanpa senyum. Menggambarkan bagaimana kepribadiannya selama hidup. Pita hitam bergaris perak menyilang di bingkai. Dua rangkaian bunga segar dalam vas keramik coklat tua diam mengapit di kanan kiri pigura. Sediam kami berdua saat itu.

“Bagaimana kabar Sachiko?” Akhirnya kubuka percakapan. Sejujurnya aku tak dapat melupakan cinta masa kuliahku itu. Sachiko gadis manis yang cerdas dan penuh semangat. Dialah sebab musabab utama kehadiranku di tempat ini. Tak sekadar berbela sungkawa pada kematian Tuan Uehara saja. Lagipula dulu hubunganku dengan ayah Sachiko itu tak pernah baik. Ia tak menyukai lelaki dari negeri asing sepertiku. Hubungan kami berakhir karena larangannya. Walau sempat berjalan sembunyi-sembunyi, kisah kasih kami pun akhirnya putus seiring kepulanganku ke Indonesia.

“Ah, rasanya seperti menunjukkan luka di tulang kering. Sesungguhnya ini aib bagi keluarga kami,” Mata Nyonya Uehara berkaca-kaca. “Tapi aku tahu, suatu hari pasti akan ada orang yang menanyakannya. Hanya saja tak kusangka bahwa itu akan berasal darimu. Orang yang tak pernah lagi disebut namanya di rumah ini.”

“Ada apa dengan Sachiko? Sesuatu yang buruk kah?” Sejenak aku khawatir. Ia memang anak tunggal yang dicukupi segalanya jauh sebelum ia membutuhkan. Tapi ia bukan anak manja, tak pernah meminta berlebihan. Sachiko lebih suka berusaha sendiri untuk memperoleh apa saja yang diinginkan. Rasanya tak bisa membayangkan perempuan mandiri itu melemah bahkan bermasalah.

“Ini sudah lebih dari lima tahun. Tak lama setelah kelulusan, ia mulai mengurung diri. Awalnya menjadi otaku. Seharian di dalam kamar. Bermain game, membaca manga, menonton anime, atau diam di depan televisi dan komputer. Keluar kamar hanya untuk makan saja. Lalu secara perlahan menarik diri dari lingkungan, menolak melanjutkan kuliah master di kampus pilihan ayahnya. Memutus komunikasi dengan teman-teman. Menutup diri dari pergaulan. Ayahnya itu keras sekali, kau tahu bagaimana ayah Sachiko bila marah bukan?  kekerasan itu membuatnya tak mau lagi keluar dari kamar. ”

“Jangan katakan ia menderita hikikomori.” Nyonya Uehara menunduk. Airmatanya menetes diam-diam. Dengan segera diseka dengan saputangan putih yang dikeluarkan dari balik lengan kimono. Kain itu tampak kusut penuh kerut-merut. Terlalu banyak diremas untuk menampung segala luapan emosi.

“Sebelum kehilangan suamiku aku telah kehilangan anakku lebih dulu. Anak itu bahkan tak keluar dari kamar saat ayahnya meninggal. Sekarang aku tak tahu lagi, apa yang terjadi padanya dalam dunia terkucilnya itu.” Kuhela nafas, kemajuan teknologi di segala bidang menimbulkan efek buruk kemunduran psikologis. Tuntutan tinggi karena kompetisi abad ini, membuat Sachiko, si anak tunggal yang begitu diharapkan orangtua tertekan, mengurung diri adalah pemberontakan dan ketidak percayaan pada kemampuan diri sendiri untuk menuruti keinginan orangtua.

“Tapi kudengar ia menjadi penulis yang cukup berhasil.” Aku pernah membaca tulisannya di internet, sama sekali bukan hasil pemikiran orang sakit. Terbaca sadar dan waras. Mengetahui keadaannya sekarang, kukira dalam ketertutupan itu ia membuat lubang kecil tempat ia bisa menarik nafas, walau hanya di dunia maya. Sachiko menyerah sekaligus melawan. Tubuhnya terkurung tapi pikirannya kemana-mana. Ia sangat berbakat dibidang sastra tapi tak diberi kesempatan untuk menunjukkannya. Potensinya dicerca dan dicela. Menulis dianggap kegiatan tak berguna dan tak menghasilkan apa-apa. Tentu Sachiko sangat menderita bakatnya dilecehkan oleh ayahnya sendiri.  

“Ia melakukan apa saja yang bisa dilakukan tanpa perlu keluar dari ruangan itu. Ia bekerja dengan internet, mendapat uang tanpa perlu interaksi langsung. Makanan pun dipesan secara online. Sudah lama ia tak makan masakanku. Ia benar-benar memutus hubungan dengan kehidupan rumah ini. Mungkin satu-satunya cara untuk membawanya keluar adalah dengan menempatkannya dalam kantung mayat.” Bergidik aku mendengarnya.

“Bagaimana ia memenuhi kebutuhan hidupnya? bagaimana jika ia sakit, tak pernahkah anda khawatir nyonya?” Sepengetahuanku penderita hikikomori tetap mendapatkan bantuan dari keluarganya untuk makan atau saat sakit. Sesekali pergi ke swalayan di tengah malam dengan muka tertutup,  membeli makanan untuk beberapa minggu atau bulan sekaligus. Namun Sachiko total memutus hubungan dengan ayah ibunya.

“Seumur hidupku habis hanya untuk mengkhawatirkannya. Sungguh aku merindukan duduk di meja ini berbincang bersama seperti dulu, kita pernah melakukannya di masalalu bukan? Ingatkah kau?” Aku mengangguk. Sepulang kuliah aku sering mampir, Nyonya Uehara adalah ibu rumah tangga yang ramah dan hangat, berlawanan sifat dengan suaminya. Lelaki itu sibuk bekerja hingga tak pernah sempat tersenyum, bahkan pada anak istrinya.

Tiba-tiba bel berbunyi, Nyonya Uehara tergopoh ke pintu depan membawa stempel keluarga. Seperti sudah menjadi kebiasaan. Ia tahu bahwa yang datang adalah petugas pengiriman barang. Setelah mengecap tanda terima ia meletakkan paket di lantai roku, lorong yang menghubungkan washitsu, ruang tempat kami berbincang dengan kamar Sachiko.

“Ia akan mengambilnya tengah malam atau dini hari, saat tak seorang pun bangun. Pernah dengan sengaja aku tak tidur karena rasa rindu ingin bertemu, namun sayang aku hanya sempat melihat siluet tubuhnya membayang pada dinding  fusuma.”

Sejak dari Indonesia aku sudah bersiap dengan segala kejutan jika bertemu dengan Sachiko. Kukira ia sudah menjadi ibu-ibu berkaki lobak dengan dua anak, menjadi istri seorang pejabat pemerintahan seperti keinginan ayahnya. Lalu aku akan bersikap sebagai sahabat lama yang turut berduka cita. Menekan segala perasaan dan terbang kembali ke negaraku. Kubayangkan  menjadi seorang wanita karier yang tegas namun cantik. Lajang dalam penantian cinta sejati. Jika begitu aku siap hadir menjadi sandaran duka atas kematian ayahnya. Itulah khayalan termanis tentang Sachiko di kepalaku. Sungguh kejutan besar menemui keadaannya kini.

Tak dipungkiri teknologi  dunia maya memang telah membuat tiap orang mengisolasi diri tanpa sadar dari dunia nyata. Aku pun mungkin sudah setengah hikikomori. Mengobrol tanpa menggetarkan pita suara. Menemui siapa saja tanpa mengunjungi. Mendatangi  seluruh sudut bumi tanpa perlu bergerak kemana-mana. Semuanya berlangsung senyap di ruang pikiran masing-masing. Sachiko telah menarik diri dari kehidupan sosial, mencipta dunia sendiri di kamarnya. Memberontak pada kompetisi nyata di dunia yang tak dipercayainya lagi. Bagaimana tidak jika orang tua pun dirasa menghianati.

“Euh, Nyonya, Bolehkah saya bermalam? Saya sungguh ingin bertemu Sachiko. Bila tak keberatan saya akan menunggunya di sini.” Perempuan tua itu memelukku. Katanya, beberapa waktu lalu ia pergi ke kuil, dengan sungguh-sungguh, memohon agar para dewa mengirim seseorang untuk membantu Sachiko. Kehadiranku dianggapnya jawaban atas doa itu. Aku merasa tersanjung atas besarnya harapan Nyonya Uehara.

“Aku sudah tua, tak lama lagi akan menyusul suamiku. Membayangkan kehidupan Sachiko setelah aku tiada sungguh membuatku sedih. Sebelum kematiannya, suamiku berkata; Putriku telah kehilangan daya untuk menginginkan sesuatu, tak mau melakukan apa yang ingin ia lakukan. Mungkin dulu ia punya sesuatu, ada cita-cita yang ingin diraih, kuakui aku telah menghancurkannya. Suamiku menyesal dan meminta maaf. Kini tanpa suamiku aku pun kehilangan daya. Tak tahu cara menghadapi anak itu.” Suara Nyonya Uehara melemah. Saputangan lembab sepenuhnya, menggumpal dalam genggaman.  

“Tenanglah nyonya, saya akan berusaha.” Kubayangkan bagaimana rupa perempuan yang akan muncul dari pintu di ujung roku. Perempuan usia tigapuluh tahun yang bertahun tak pernah kena sinar matahari. Rambutnya panjang tak terawat, kulit kotor berdaki, berbaju kumal yang sobek sana-sini. Badannya mungkin gemuk karena jarang gerak atau justru kurus kurang makan. Untuk beberapa saat  aku kecewa dengan gambaranku tentang Sachiko.

Lewat tengah malam, kudengar suara pintu yang digeser perlahan, sepasang kaki pucat melangkah cepat tak bersuara seperti kecoa. Aku bersiaga untuk menangkapnya sebelum ia lari kembali ke balik sarangnya. Aku ingin mengatakan, Sachiko-san, menjadi penyendiri itu tak apa, tapi kau butuh seseorang untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja dalam kesendirianmu itu. Hanya satu orang saja, seseorang untuk memahami dirimu sepenuhnya, dan aku pun bersiap. Semoga masih ada sinar mentari di luar sana yang ingin dilihatnya.***

 

 

Shoushiku: upacara kematian. Haka: pemakaman keluarga. Kimono: pakaian tradisional Jepang. Genkan: ruang depan. Getabako: rak sepatu.Washitsu: ruang keluarga. Zabuton: bantal duduk. Ocha: teh. Arigato: terimakasih. Tansu: lemari kecil. Otaku: pecandu game. Hikikomori: menarik diri. Fusuma: pintu geser yang dilapis bahan tembus cahaya. Roku: koridor.Manga: komik. Anime: film animasi.

 

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami