Kampuchea dalam Tiga Peristiwa

Oleh: Daruz Armedian

/1/ The Killing Tree, Chankiri[1]

adakah rengekan bayi

kau dengar dari pohon ini?

pada sebuah pohon sunyi, pohon chankiri,

kepala-kepala bayi dihantamkan,

dihapus namanya satu per satu

dalam sejarah kelabu itu.

pita warna-warni, kerlip dunia kini,

dipasangkan pada kulit pohon kelabu ini,

tapi tetap tak ada keceriaan di sana.

lelehan darah, serpih otak, bau amis menguar,

patahan tulang, seperti masih tergambar.

selalu ada yang merengek di sini,

seperti suara masa depan yang tak akan pernah terjadi.

seperti juga suara dendam yang tak bisa terbalaskan.

/2/ The Killing Fields, Choeung Ek[2]

            pengeras suara itu, kau tahu,

            untuk meredam jerit sakit para tahanan di situ.

tentu tak terdengar sampai telingamu

raungan-raungan itu. jerit sakit

orang-orang yang ditusuk bambu,

dipukul palu, kepalanya dihantamkan pada besi tua,

juga yang dijerat dan dipatahkan lehernya,

bercampur-baur dengan lagu-lagu

yang keluar dari pengeras suara.

erangan jadi tampak lain,

kesedihan seperti suatu yang asing.

sebab lagu-lagu itu mengganggumu mendengar

suara kepedihan yang samar.

di atas pohon-pohon, pengeras suara dipasang,

menyuarakan kemenangan diri

dari perang yang seharusnya

tak terjadi.

/3/ Tuol Sleng[3]

            bisakah kita bebas bicara dengan suara

            yang tak terdengar oleh manusia?

ini mungkin cuma mimpi, atau sekadar kelakar para pendongeng.

tapi di tuol sleng, suara tahanan benar-benar dibungkam.

mereka dikumpulkan di dalam ruangan sempit,

kotor, busuk, dan penuh dengan aroma rasa sakit.

di sana, tak ada tempat untuk tertawa,

atau bebas menikmati udara.

pagar listrik, ranjang-ranjang penyiksaan,

borgol besi, makan berdiri, minum air kencing sendiri,

menghapus ‘tawa’ dari kamus dalam kepala mereka.

tak ada yang boleh bicara, atau mereka memilih tersiksa.

dunia tampak bisu. orang-orang bersuara cuma untuk mengaku

keliru, atau menyetorkan nama-nama keluarga

untuk dijadikan tahanan selanjutnya.

Jogja, 2021


[1] Di tahun 1975-1979, pohon ini digunakan oleh pasukan Khmer Merah untuk membenturkan kepala bayi-bayi warga sipil negara Kamboja agar kelak mereka tidak bisa balas dendam atas kekejaman mereka terhadap orangtuanya.

[2] Atau bisa disebut dengan ladang pembunuhan. Di sini, tahanan sipil banyak dibunuh oleh pasukan Khmer Merah.

[3] Merupakan bekas “sekolah Tuol Svay Prey Secondary School”. Pada masa rezim Khmer Merah berkuasa, gedung ini dijadikan sebagai penjara dan tempat introgasi para tahanan. Gedung ini diberi nama A, B, C, D, dan semuanya memiliki cerita kelam tentang kekejaman Pol Pot. Di sekeliling tempat ini ditutupi kawat berduri dan dialiri listrik. Sekarang tempat ini sudah dijadikan museum genosida oleh Pemerintah Kamboja.



Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami