Kampung Halaman Cinta

Oleh: Panji Sukma

Jika kemalangan hidup bisa menimpa siapa saja tanpa terkecuali, mungkin Iwan ialah satu dari orang yang terpilih dan tidak beruntung itu. Kemelaratan sudah menemaninya sedari  kandungan. Bapaknya meninggal saat Iwan masih berusia tiga bulan, tersengat listrik hingga gosong saat dimintai tolong tetangga untuk membenahi atap bocor. Bapaknya tak meninggali apa-apa kecuali sepetak rumah di tepi desa yang suratnya telah lama entah ke mana. Iwan dibesarkan oleh ibu yang saban hari menggantungkan nafkah dengan berjualan es kucir dan dititipkan ke warung-warung. Bisa dibilang, kulkas adalah barang istimewa di rumah Iwan sebab darinya semua kemungkinan untuk bertahan hidup tetap menyala. Kulkas itu berasal dari sumbangan iuran warga. Meski keluarga Iwan melarat dan tergolong jauh dari kata berpendidikan, warga begitu sayang pada mereka. Iwan adalah rujukan utama ketika ada pekerjaan kasar yang tidak bisa diatasi warga, seperti memberesi pohon tumbang, mengatasi parit mampat, dan mengganti genting bocor. Sedangkan ibu Iwan, sudah lama menderita sakit diabetes. Itu pula yang menjadi alasan kenapa Iwan tidak bekerja tetap dan hanya menunggu upah seadanya dari warga ketika ada permintaan tolong dadakan. Tentu alasannya tidak tega meninggalkan sang ibu dalam waktu lama.

Iwan yang sama sekali tidak pernah mengenyam bangku sekolah, dididik oleh ibunya untuk selalu berbuat baik pada siapa pun, dan yang paling utama tidak boleh meninggalkan salat lima waktu. Sebab itu, selain pendiam, Iwan dikenal sebagai pemuda yang santun, murah senyum, dan cekatan di balik dandanannya yang amat sederhana. Namun, seperti pada umumnya lelaki yang beranjak dewasa, rasa cinta mulai tumbuh di diri Iwan pada seorang gadis. Gadis yang entah beruntung atau sial itu bernama Nada, anak dari mantan lurah dan saat ini menjabat sebagai ketua RW. Meski rasa cinta kian hari kian menebal, Iwan merasa tak pantas dan tak akan mungkin menuai apa pun. Untuk setidaknya membuktikan cinta, Iwan diam-diam membuntuti Nada ketika berangkat sekolah, dari rumah hingga jalan raya sebelum Nada naik angkot, dan begitu pula ketika pulang sekolah. Meski terkesan sederhana, hal itu adalah ritual agung bagi Iwan. Memastikan Nada naik angkot dengan selamat dan melangkah melewati pintu rumah adalah kepuasan tersendiri dan membungai dada Iwan. Sering ia membayangkan sebelum Nada naik angkot, kekasih khayalannya itu mencium punggung tangannya dan mengucapkan salam. Namun semua itu hanyalah angan bahkan bisa dikatakan impian yang mustahil, setidaknya dalam dua tahun ini. Sebab, jangankan Nada tahu tentang upaya yang dilakukan Iwan, bahkan mengenal Iwan saja hanya sebatas bertegur-sapa tiap orangtuanya minta tolong menguras kolam lele di belakang rumah.

Di desa, meski jarang keluar rumah dan hanya sesekali keluar saat ada kegiatan karang taruna, Nada dikenal sebagai sosok yang baik. Terlebih kecantikan dan kesantunan dalam berbusana Nada kerap membuatnya jadi buah bibir. Ibarat desa itu sebuah taman, Nada adalah bunga terindah yang tumbuh di sana. Meski baru berumur 16 tahun, tubuh Nada telah tampak sempurna layaknya gadis dewasa. Tinggi dan sintal. Sayangnya, nama besar ayahnya dan garis keturunannya yang cukup melegenda pada masa lalu di desa kecil itu, membuat ciut nyali maupun segan siapa saja yang hendak mendekatinya.

Suatu malam, datang sebuah kabar yang membuat senyum pecah di bibir Iwan. Ayah Nada datang ke rumah untuk meminta tolong memberesi kamar Nada esok pagi, dan itu berarti sebuah kesempatan bagi Iwan bisa bertemu dengan Nada tanpa sembunyi-sembunyi. Pikir Iwan, mungkin atap kamar Nada bocor atau ingin dicat ulang. Pada keesokan paginya, Iwan membongkar seluruh isi lemarinya, mencari pakaian yang dirasa paling layak dikenakan. Sebuah kaos bola warna merah bergaris hitam ia pilih. Perlahan pula ia tarik sebuah sarung. Sarung itu adalah sarung andalan yang hanya keluar di hari-hari besar. Tak ketinggalan ia saut peci hitam peninggalan ayahnya.

“Kamu itu mau manjat-manjat kok pakai sarung to, Wan?” celetuk ibunya dari ranjang yang sedari tadi mengamati anaknya tampak sibuk di depan lemari dan sesekali tersenyum sendiri.

Iwan hanya menanggapi dengan mengangguk kecil dan tersenyum malu lalu mengambil sebuah celana cokelat yang biasa ia kenakan ke masjid. Tentu saja sang ibu tak tahu sedikit pun dengan apa yang sedang meledak di dada anaknya. Jangankan tahu anaknya akan bertemu dengan gadis impiannya, bahkan sang ibu tidak sadar bahwa Iwan telah cukup dewasa untuk jatuh cinta dan menaruh hati pada seseorang.

Sebelum berangkat, Iwan sempatkan menghampiri ibunya yang duduk bersandar di ranjang. Dengan lembut ia pijat kaki perempuan yang amat ia sayangi itu. Tidak keluar sepatah kata pun dari Iwan, tapi bibirnya terus menggurat senyum dan matanya tampak mengambang seperti sedang membayangkan sesuatu.

“Kamu itu kenapa to, Wan? Tidak segera berangkat ke rumah Pak RW malah senyum-senyum sendiri.”

“Hehehe.” Senyum Iwan tampak terlambat saat menanggapi pertanyaan ibunya. “Mbok,” lanjut Iwan dengan nada ragu.”

“Ada apa?” Sebuah belaian lembut mengalir di kepala Iwan.

“Dulu Simbok kenal bapak di mana?”

Ibu Iwan terheran-heran dengan pertanyaan itu. Tak pernah pertanyaan semacam itu dilayangkan anaknya.

“Memangnya ada apa?” jawabnya sembari menepuk-nepuk lembut kepala Iwan.

Mendapat jawaban itu, Iwan malah tampak panik dan terus menggeleng.

“Tidak, Bu, tidak jadi tanya,” jawab Iwan. Pijatan tangannya berhenti beberapa saat.

“Bu, Pak RW itu baik ya?” ucap Iwan tiba-tiba.

“Baik sekali. Dulu bapakmu sering diminta menggarap sawahnya yang ada di belakang desa. Bapaknya Pak RW dulu juga orang baik, Pak Bandi mantan camat.”

Iwan terus mengangguk dan merasa kagum pada trah dari gadis pujaannya. Namun, selain rasa kagum, muncul pula rasa minder yang semakin menjadi. Rasanya semakin jauh mimpinya. Tak ingin lama larut dalam sengkarut hati itu, Iwan berpamitan untuk berangkat. Ia cium punggung tangan ibunya, lalu mengucap salam sembari melenggang keluar pintu rumah. Tapi betapa kagetnya ia ketika mendapati Pak RW telah berdiri di muka pintu. Ditentengnya pula tas plastik besar yang tampak terisi penuh.

“Ini baju dan mukena Nada yang sudah tidak dipakai. Tolong dikasih ke ibumu, Wan,” ucap Pak RW dengan suara berat khasnya dan membuat Iwan mengangguk beberapa kali.

Iwan kembali masuk ke dalam rumah. Sebelum diserahkan pada ibunya, Iwan menghirup isi tas plastik sepenuh dada. Dalam hidup, baru pertama kali ini ia merasa begitu dekat dengan Nada, menikmati wangi yang saban hari menemani Nada.

Melihat matahari mulai membumbung tinggi, Pak RT mengajak Iwan berjalan lebih cepat menuju rumahnya. Sebenarnya Iwan ingin sekali bertanya perihal pekerjaan apa yang akan ia tangani di kamar Nada, tapi sadar bahwa ia buruk dalam berkomunikasi dan segan pada Pak RW maka ia urungkan niatnya itu. Hingga akhirnya sembari terus melangkah, Pak RW membuka obrolan.

“Nanti kamu angkat semua yang ada di teras ke mobil. Jangan sampai ada yang ketinggalan.”

Iwan merasa bingung, sebab setahunya, ia kemarin diminta untuk memberesi kamar Nada. Karena rasa penasaran yang tak bisa lagi dibendung, akhirnya Iwan beranikan bertanya.

“Itu. Dipan, kasur, lemari. Padahal aku sudah bilang ke Nada tidak usah bawa yang berat-berat. Di sana ‘kan bisa beli yang baru. Tapi dasar gendhuk itu ngeyel, ya sudah aku turuti,” jawab Pak RW.

Iwan semakin merasa penasaran dengan jawaban Pak RW. Dengan mengumpulkan seluruh nyali, Iwan kembali bertanya maksud ayah gadis impiannya itu.

“Lho, kamu belum tahu, to?”

Pak RW menjelaskan bahwa dua bulan lalu Nada diterima kuliah di kota dan hendak indekos. Karena Nada terlanjur nyaman dengan suasana kamarnya, maka ia akan membawa semua perabotnya.

Seperti berhenti detak jantung Iwan. Ia sadar, gadis pujaannya bukan lagi tak akan pernah tahu perasaannya, tapi juga akan terpisah jarak. Langkah Iwan yang tadinya cepat kini tampak diseret. Ia sudah tak berminat lagi dengan apa yang akan dikerjakan. Menuntaskan pekerjaan yang diberikan Pak RW sama artinya merestui kepergian Nada. Dengan hati yang remuk redam, Iwan memaksa kepala berpikir keras guna mencari alasan untuk membatalkan tugas dari Pak RW. Namun belum sempat mendapat alasan, langkah kakinya telah sampai di halaman rumah Pak RW. Iwan terpaku. Ditatapnya Nada yang tampak sibuk memilah-milah barang di teras dengan wajah berbinar, seolah begitu bahagia dengan apa yang telah ia pilih. Tentu saja Iwan tak bisa menerka isi kepala Nada tentang jenjang kuliah. Jauh, terlalu jauh. Yang Iwan mengerti hanya gadis pujaannya itu akan pergi dalam waktu yang lama.

Dengan dingin Iwan mengangkat barang-barang Nada ke bak mobil. Isi kepalanya seperti berlarian. Pada titik ini ia merasa kemalangan hidup kembali menimpanya. Di saat matanya memejam beberapa saat, tiba-tiba sebuah tepukan di pundak ia dapat. Ia Menoleh. Tepukan itu berasal dari Nada. Itu pertama kalinya dalam hidup ia mendapat sentuhan dari Nada.

“Mas Iwan, kasurnya dilipat saja ya,” ucap Nada. Iwan hanya diam dan terus berkedip cepat. “Oh iya, sekarang kita sudah tidak bisa lagi kebetulan ketemu kalau aku berangkat dan pulang sekolah,” lanjutnya.

Iwan terkejut bukan kepalang, ternyata Nada memerhatikan keberadaannya. Padahal selama ini ia sengaja menjaga jarak ketika berjalan. Belum rampung ia dengan yang meletup-letup di dadanya, Nada dengan ramah terus mengajak Iwan mengobrol sembari memberesi barang-barang kecil di bak mobil. Dengan wajah yang antusias, Nada terus menceritakan hal-hal yang akan ia lakukan selama kuliah. Tentang impiannya menjadi dokter yang terasa amat tinggi meski sekadar dibayangkan oleh Iwan.

“Kalau aku sudah jadi dokter, warga di sini tidak perlu lagi jauh-jauh ke kota untuk berobat.”

Keduanya larut dalam percakapan yang kian mencair, hingga tak sadar semua barang telah beres dan tibalah waktu keberangkatan Nada. Pak RW dari belakang kemudi mobil memberi isyarat pada Nada untuk segera naik ke kursi samping. Usai meraih ransel, Nada bergegas naik ke mobil. Perpisahan kian nyata bagi Iwan. Meski kehilangan Iwan rasakan, tapi kata-kata Nada perihal cita-cita menjadi dokter begitu melegakannya. Dalam hati Iwan, tak ada bedanya Nada ada di desa ini maupun tidak. Muncul kesadaran baru padanya bahwa yang selama ini Iwan inginkan ternyata bukan tentang balasan cinta, melainkan harapan agar Nada selalu dalam keadaan baik. Dan, untuk mengakhiri perpisahan itu, Iwan melakukan ritual sakral yang selama ini ia lakukan, yakni membayangkan Nada mencium punggung tangannya dan mengucap salam.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami