Karotangan

Andreas Agil Munarwidya

Jaka Tingkir akhirmya menghadiahkan Alas Mentaok pada Bagus Kacung. Konsekuensi dari kemenangannya dalam sayembara melawan pemberontakan yang dikobarkan Arya Penangsang. Walau bisikan pernah mampir pada sang raja. Wangsit bahwa nanti akan muncul kerajaan hebat di bumi tersebut—dan ada yang belum begitu rela sepertinya.

“Mas, mbok kerja apa gitu lho..

Yang dikasih dengar malah merengut. Waringin, namanya. Mungkin dia sudah jeleh dengan sambat sang istri yang dianggap tak memberikan solusi. Waringin yang kembali menarik sarung hingga menutupi kepala. Kaki tertekuk, badan nglungker.

Bu’ne, sekarang masih tanggal 23. Masih dua harian lagi. Nanti kalau sudah mulai ramai, tek saponi, Bu’ne.”

Aku yang mencuri dengar perbincangan mereka, antara mengelus dada juga sedikit tertawa. Batinku, ‘kok ya,Warti betah bersuami Waringin, yang kerjaannya hanya menunggu pesanggrahan ramai dikunjungi peziarah? Tidak ada inisiatifnya sama sekali. Tapi, ya, kulihat Warti memang asyik-asyik saja sih. Ngomel iya. Tapi kayaknya tidak sampai bertengkar hebat.

“Ah, sudahlah, ngapain juga ngurusin rumah tangga mereka.”

DEG!

Mataku mendadak tertuju pada pintu masuk pesanggrahan yang seperti baru saja dimasuki seseorang. Keadaan masih sangat sepi karena baru saja masuk syuruq. Ah, cerita warga memang selalu berhasil masuk ke perasaan paling dalam saat momen seperti ini. Siapa yang tidak kenal kompleks pemakaman di desa Paremono ini. Terkenal sangat angker.

“Tapi masa jam-jam segini ada setan? Eh, saru ding! Petilasan suci kok dibilang ada setannya. Duh…”

Hatiku menciut. Hendak memeriksa, tetapi kok seperti ada hawa-hawa yang tidak enak. Namun, bila dibiarkan, khawatir itu bukan seperti sangkaanku. Malah bagaimana kalau maling yang hendak menjarah situs purbakala di situ? Ah, bisa bahaya itu.

DER!”

ELAH SETAN ALAS-DHEMIT-CUPRUT-KOLONG WEWE…” Aku menoleh. Kurang ajar, Waringin itu. Mengagetkan saja. Bisa-bisanya tidak nyadar kalau dia sudah ada di belakangku.

[ ]

Bagus Kacung yang juga dijuluki Kyai Ageng Pemanahan merasa harus memperluas Bumi Mentaok sampai daerah barat Gunung Merapi, mencakup luas wilayah daratan Kedu. Akhirnya, dimintakanlah tugas tersebut pada adiknya, Bagus Bancer. Usai melaksanakan amanahnya, Bagus Bancer singgah sejenak untuk beristirahat meregang sendi yang pegal. Setelah hilang pegal beliau, Bagus Bancer kembali melajutkan perjalanan ke arah Timur. Namun, dirinya terpana tatkala menjumpai hamparan sawah yang sudah ditumbuhi padi-padi menghijau. Tebersit hati hendak menetap lebih lama di tempat itu.

Aku tidak melihat Waringin akhir-akhir ini. Semenjak insiden pengagetannya yang kala itu jelas betul aku tak melihatnya, Waringin kini benar tidak terlihat lagi olehku.

Lek Zan, ada apa, kok bengong?” sapa Mundhir, tetangga sebelah yang juga petani sepertiku. Bedanya, dia dapat harta warisan, jadi rumahnya teramati cukup mewah—sekaligus pas jadi singkatan, me-wah; mepet sawah.

“Ah, tidak apa-apa, Ndhir. Cuma kok saya sudah lama tidak lihat Waringin, ya?”

“Eh, apa Lek Zan tidak tahu? Lek Waringin itu sakit semenjak pulang ziarah dari Gunungpring. Nah, sekarang kan lagi musim-musim kopit nggih? Bisa jadi…”

“COVID. Malah, kopit. Sudah ah, jangan menduga-duga, kadang kena apa enggak, dibuat main-main kok. Eh, jebule cuma akal-akalan.”

Mundhir hanya nyengir kuda sambil menenteng sebilah kudi yang baru kuamati terasa unik. Bentuknya “S”.

“Nah, karena itu, akhirnya Lek Waringin diopname di Rumah Sakit Merah Putih untuk di… apa ya? Bahasanya susah. Rapit, po rapet ya?

Aku malah tidak menggubris dan tetap terpaku dengan kudi yang dipegang Mundhir.

Di wilayah tersebut Bagus Bancer bertemu dengan seorang kisanak. Saat itu, Bagus Bancer belum mengetahui bahwa yang ditemuinya adalah Mbah Kyai Jomblang. Bagus Bancer kemudian bertanya-tanya mengenai wilayah tersebut, yang terdapat banyak sekali tanaman padi. Kisanak tersebut mengatakan bahwa daerah tersebut sangat subur sebab berada di dataran yang diapit Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Pegunungan Menoreh, Gunung sumbing, dan Gunung Andong serta Telomoyo. Maka, setiap saat, padi selalu ada. Tiada pernah kurang.

[ ]

Aku kembali melihat bayangan mencurigakan di pesanggrahan. Tapi kali ini terlihat seperti sosok tua berpakaian serba putih. Sekilas, sosok itu berkaos oblong dengan celana kain khas petani, di atas mata kaki. Bagi seorang lelaki sejati, tentu kuberanikan diri mendekat. Namun, suasana yang sepi, walau mentari hampir muncul di ufuk, bisa-bisanya masih menciutkan nyali. Dalam hati, kadang aneh sendiri, buat apa takut? Tapi, ya itu, namanya juga takut, variabelnya kan bisa berbeda-beda.

DERR!”

ELAH SETAN ALAS-DHEMIT…” Aku menoleh cepat. Kurang ajar. Kali ini Mundhir yang mengagetkanku. Bisa-bisanya aku kembali tidak nyadar kalau sudah ada orang di belakangku.

Aku beneran hendak menaboknya, tapi kuurungkan karena dia sudah pasang tampang memelas. Baiklah. Kualihkan kembali pandangan ke arah pesanggrahan.

“Ndhir, kamu lihat ada orang enggak di pesanggrahan?”

Mundhir melangak-longok, menyipitkan mata, menaruh tangan di atas alis, seolah-olah dengan begitu akan terlihat jelas. Lalu, sejurus kemudian, Mundhir geleng-geleng. Aku mendesah.

“Enggak lihat, Lek. Tapi, bagaimana kalau kita ke sana saja? Biar jelas. Daripada dari sini, malah tambah jadi penasaran, betul?”

 Merasa itu adalah ajakan yang bernada ejekan, jiwa laki-laki sejatiku kembali terpanggil.

“Ayo! Siapa takut!”

“Eh, Lek, saya enggak bilang kalau situ takut lho, ya!”

Kembali, hampir saja kutabok dia. Tapi, kelebat yang seperti angin, akhirnya benar-benar membuat kami menghentikan napas sejenak.

“Nah! Benar kan, Ndhir! Kayak ada orang di sana!”

Kami saling berpandangan. Ah, apa ini, sekarang sudah pagi. Mana ada hal-hal aneh yang kami takutkan. Ya, walau suasana masih juga sepi. Tapi, kicau burung yang menyapa, gemerisik daun-daun di pepohonan, suara kendaraan di kejauhan, seakan menolak keadaan yang aku risaukan. Ah, kupompa batinku untuk berani, “Yuh!”

Kami pun memutuskan untuk meneliti dan masuk kompleks pemakaman. Tidak ditemukan seseorang pun di sana. Ini jelas membuat aku dan Mundhir malah semakin bergidik.

“Lah, enggak ada apa-apa, Lek.”

“Mu..mun.ngkin ada di balik pohon besar itu, kita kan belum ngecek  ke sana, ya tho?

Mundhir mengangguk ragu.

“Assalamu’alaikum…”

ELAH SETAN ALAS- CUPRUT…”

Batinku, ini sudah ke sekian kali aku dikagetkan oleh suara yang berada di belakang. Lama-lama bisa mati jantungan aku tuh. Tapi, langsung kutoleh, memastikan bahwa yang menyapa bukan sebangsa makhluk halus.

Syukurlah, manusia. Dan, benarlah! Di hadapanku, sosok tua dengan pakaian yang persis kusebutkan tadi. Mundhir masih ngelus-elus dadanya. Kagetnya sama atau mungkin lebih dariku.

“Ma..ma..af, Mbah, siapa ya? Sepertinya, saya belum pernah kenal Mbah.”

“Dijawab dulu salamnya. Tadi malah saya disebut setan, tha?” tukas sosok tua itu sambil senyuman—antara menyindir dan tulus, batasnya tipis.

“Eh, iya.. wa’alaikumussalam.”

“Ah, kamu Mundhir kan?” tiba-tiba sosok tua itu menyapa lelaki yang masih sedikit meringkuk di sampingku.

Mundhir mengangguk sambil menunduk. Agaknya masih belum usai kekagetannya, sehingga menjawab ‘ya’ saja tidak bisa. Beda sekali saat bercakap-cakap denganku, asal ceplas-ceplos.

“Masih disimpan kudinya? Enggak rusak kan? Apa malah hilang?”

Sontak aku heran. Bagaimana sosok tua malah tanya ihwal kudi yang sering dipakai Mundhir?

“Mohon maaf ini, kok bisa malah menanyakan kudi yang sering dipakai Mundhir, ya, Mbah?”

“Oh, iya, iya, ceritanya panjang.”

Mereka pun menetap di daerah tersebut. Setelah lama menjadi warga, Bagus Bancer dan Mbah Kyai Jomblang, sosok kisanak yang ditemui di awal, berdiskusi untuk menamai tempat yang kini mereka singgahi. Pari Semono, inilah nama awal yang diperkirakan muncul di tahun 1521 Hijriah. Maka, sepeninggal beliau berdua, dari Parine Semono berubah menjadi Pariono, lalu berubah lagi menjadi Parimono dan akhirnya berubah untuk terakhir kalinya menjadi Paremono.

[ ]

Tidak terasa, matahari sudah tepat berada di atas kepala. Seolah-olah kami kesirep. Ikut saja ke mana beliau berjalan. Kami juga tidak bisa memotong perkataannya. Sesekali beliau menjeda dan mendesah. Dan, yang paling kami ingat saat itu adalah…

“Berusaha sendiri itu lebih baik daripada terus minta-minta walaupun memang kita tidak mampu. Dengan tangan sendiri. Mandiri. Jangan gampang marahapalagi males. Gusti Allah, tidak suka orang-orang yang suka berpangku tangan seperti itu.”

Aku mengangguk.

“Oh, iya, jadi bagaimana kudinya, Ndhir?”

“Iya, Mbah, nanti saya cari…” ucapnya sambil mencium tangan sosok tua itu. Sampai di sini, antara heran dan curiga, campur aduk aku melihat tingkah Mundhir yang sepertinya menyimpan rahasia padaku. Hingga saat Mbah Bagus Bancer juga menyodorkan tangan padaku, lalu kucium. Dunia berubah gelap.

[ ]

Warga Paremono sudah berkerumun di sekelilingku. Sontak aku langsung bangun, sambil mengusap wajah.

Lek Zan tidak apa-apa?”

“Ada apa memangnya, Pak Prabot?” ucapku benar-benar lupa kejadian yang sedang dipertanyakan Kepala Dusun.

Njenengan tadi pingsan di Pasarean Kyai Ageng Karotangan.”

Ah, benar, aku ingat. “Mundhir… di mana Mundhir?”

Pak Prabot dan warga sekitar saling lempar pandangan. Raut wajah mereka langsung berubah. “A..a..pa Romzan lupa, kalau Mundhir dua hari yang lalu meninggal dibacok orang dengan kudinya sendiri?”

Dan, samar-samar kulihat kakek yang tadi, layaknya hologram, dilewati beberapa lalu lalang warga, hingga mengeja kata padaku dari kejauhan. “Temukan Kudinya ya?”

Aku ya jelas kembali semaput.

Dilaksanakannya tanpa pamrih, Bagus Bancer, yang juga bernama Kyai Ageng Pagergunung I, membabat alas Bumi Mentaok sampai Wates menggunakan tangan kosong yang dibantu sebilah kudi berbentuk ‘S’. Hingga pada bilangan tahun, Bagus Bancer pun menyebarkan agama Islam di tempat ia menetap. Beliau menikah dengan Nyai Hugeng hingga akhirnya menurunkan generasi-generasi penerus yang kelak di kemudian hari menjadi Patih Ndalem di Mataram dengan gelar Patih Sindurejo I. Bagus Bancer yang terkenal itu sebenarnya juga mempunyai gelar yang fenomenal, yakni Kyai Ageng Karotangan.

[ selesai ]

Scroll to Top
× Hubungi kami