blog

Abu Dzar

Cerpen 21 Jun 2024

Dengarkan Ibu  

 

Tak mudah dimengerti apa yang diinginkan ibu kepada Lina. Teriakannya memekakkan telinga. Yang terdengar sekadar, “Kenapa harus begitu? Kamu bisa berbohong. Toh, untuk kebaikanmu sendiri!” Lalu, gagang sapu memukul pintu kamarnya. Suara gebukan itu terdengar sampai matahari lengser dari singgasana. Lina hanya bisa duduk memeluk lutut di pojok kamar, seraya menutup mata. 

 

Bukan hal yang aneh ibu marah ketika Lina pulang sekolah. Padahal, gadis itu pulang untuk lari dari cercaan kawan. Ia mencari ketenangan. Melihat wajah Lina babak belur, ibu justru memarahinya habis-habisan. Bilang kesialan akan terus mengikutinya ke mana pun  ia datang. Seburuk itukah keadaan yang harus ia tanggung? Umurnya saja belum genap 14 tahun sekarang. 

 

“Dengarkan, Lina. Kau tidak boleh kalah dari siapa pun. Nilaimu harus bagus di sekolah, ibu tidak mau tahu bagaimana kau mendapatkannya. Keluarga kita sudah terpuruk sebab lelaki bajingan itu. Kau mesti memutar kepala agar martabat kita terjaga. Berbohong tidak apa jika itu baik untuk kita, mengerti?” kata ibu sambil terengah-engah di depan pintu kamar putrinya. Setelah beberapa menit berusaha tenang, ia pergi. 

 

Di sekolah Lina tak banyak bergaul, ia benci ketika teman sekelasnya bertanya ke mana bapaknya pergi? Ia juga tidak tahu pasti, yang jelas jawaban Lina akan selalu sama: “Bapak pergi bersama perempuan lain.” Ia tidak bodoh dan tahu bahwa itu perbuatan keji yang mengundang banyak benci. Setelah mengatakan hal itu, sontak mereka mengutuk Lina: “Huh, jangan-jangan kamu juga nanti ambil lelaki orang. Dasar pelacur!” Tak tahan, gadis itu memukul si pemilik mulut. Cekcok pun tak bisa dielak. 

 

Kabar soal bapaknya yang pergi bersama perempuan lain tak pernah padam di kampung. Kehidupan Lina dan ibunya menjadi berat berkat ihwal tersebut. Meski pelan-pelan ibunya menyimpan banyak simpati dari tetangga, Lina malah jadi korban gunjingan karena bicaranya tak bisa dijaga. Suatu sore saat ibu-ibu berkumpul gadis itu dengan enteng mengatakan, “Bapak tak jujur saja, sebenarnya ia pergi karena ibu juga melakukan hal sama.” Belum beres bercerita raut wajah ibu memerah, ia menjewer telinganya. 

 

“Anak kecil mana tahu keadaan orang dewasa, ya. Kadang-kadang suka sok tahu begitu,” ujar ibu pada para tetangga. Senyumnya terkembang seolah bisa menutupi hal paling nyata. 

 

“Lina, dengar. Turuti ibumu. Dia yang banting tulang menghidupimu. Jangan melawan.” Salah satu tetangga menepuk pundak Lina. Bijak sekali perkataannya. 

 

Di lain waktu Lina mendengar bisik-bisik mereka, “kasihan sekali dia. Sudah ditinggal bapaknya pergi sekarang sering dimarahi ibunya.” 

 

Hal itu tidak ada habisnya. Pembahasan keluarga Lina memang topik paling seru untuk di bahas di kampung. Itulah mengapa ibu ingin mengusir bisik-bisik tak sedap dengan prestasi dan keunggulan bahwa dia bisa membesarkan putrinya sendirian dengan baik. Citra itu harus terbentuk supaya ia menjadi perempuan paling disegani. 

 

Lina mencari cara untuk paham, maka ia beradaptasi menggunakan kebiasaan baru. Seperti di sekolah keesokan harinya. Ia mengabaikan segala tanya yang datang, bersikap lebih ramah di hadapan guru, duduk dengan tenang saat jam pelajaran. Syakila, teman sekelasnya yang senang usil, menatap Lina heran. Bibirnya terangkat sebelah, matanya sinis. Usaha Lina itu membuahkan hasil setelah sepekan berlalu. 

 

“Bagus, Lina. Ibu percaya padamu.” Ibu semringah tahu putrinya bisa diandalkan. 

 

Lina baru saja pulang dan mendapati seorang lelaki di rumah tengah duduk di kursi tamu. Perawakannya bagus, rasa-rasanya bukan berasal dari kampung sini. Gadis itu bertanya siapa gerangan. 

 

“Oh, kenalkan ini Om Rudy dari kota. Ia datang karena tertarik dengan bisnis ibu. Kamu tidak mengerti, masuklah.” Ibu mengibaskan tangan, menyuruh Lina masuk kamar. 

 

Gadis itu mengangguk. Menatap tajam. Hari ini ibu berpakaian terlalu minim. Riasannya saja berbeda.

 

Dari celah pintu kamarnya, Lina memperhatikan saksama; gaya bicara ibu, raut wajah, gestur tangan, sampai bagaimana ibu mengikat rambut. Sepertinya tamu itu spesial. Selepas bercakap-cakap panjang, ibu mengajak tamu itu ke kamar. Mungkin satu jam lebih mereka baru keluar. Terlihat riasan ibu yang luntur dan rambutnya tergerai. Namun, senyumnya tak pernah hilang. Lina bergidik, menyimpan semuanya. 

 

Lelaki itu, Om Rudy, rutin mengunjungi ibu setiap hari Selasa dua minggu sekali. Memang benar bisnis warung jajanan ibu semakin berkembang sejak kedatangan Om Rudy. Ibu punya stok dagangan banyak, bahkan warung kecil itu disulap menjadi warung kopi dengan kursi-kursi di halaman. Banyak anak muda yang berlangganan. Lina cukup senang dengan perubahan itu. Lebih-lebih, kalau ada uang tambahan yang masuk kantong bajunya. Bisa seharian ia tersenyum. 

 

Ibu tak pernah marah-marah lagi. Ibu pula semakin rajin berkumpul dengan tetangga, untuk arisan atau sekadar mengobrol santai. Kemajuan itu dipandang baik oleh semua orang, satu dua menyuruh ibu cepat menikah saja dengan Om Rudy. Itu yang terbaik, ujar mereka. Namun, ibu bilang masih memikirkan ke depannya akan bagaimana. 

 

Dua bulan berlalu, ujian akhir semester di sekolah Lina dimulai. Gadis itu giat belajar. Sesekali sampai larut malam, dan saat dirinya mulai terkantuk-kantuk ia mendengar ada seseorang yang masuk dari pintu depan. Suara cakap-cakap setengah berbisik sampai di telinganya. Lina penasaran, mengintip dari celah pintu. Seorang lelaki tengah berdiri bersama ibu. Wajahnya tidak terlihat jelas. Mereka berbincang sambil berdiri, tak lama ibu mengajaknya ke kamar. Lagi-lagi, pakaian ibu terlalu minim dan riasannya tak biasa. Lina menunggu, mungkin setelah tiga puluh menit baru mereka keluar. Lelaki itu langsung pamit tanpa banyak cakap. 

 

Lina bertanya-tanya siapa lagi lelaki yang ibu undang ke kamarnya? Om Rudy masih rutin datang, dan selama sepekan ini sudah ada tiga lelaki baru. Apa ibu punya pekerjaan baru bersama mereka? Lina tidak tahu. Sepertinya ibu membuat banyak kesepakatan bersama mereka, sebab warung ibu semakin dibanjiri pelanggan. 

 

Ujian akhir semester ini membuat Lina lelah. Ia harus mengejar nilai-nilai bagus supaya marah-marah ibu tak kambuh. Baru tiga hari lalu ibu kembali memarahinya, nilai tugas Lina anjlok dan ada rumor yang mengatakan bahwa gadis itu gemar menyontek. Kabar itu sampai kepada ibu, sekonyong-konyong tak bisa dibendung lagi kemarahannya. Lina dicaci habis-habisan. 

 

“Bodoh sekali kau! Kalau menyontek itu jangan sampai ketahuan. Malu ibu menghadapi guru jika kau seperti ini. Ingat, lakukan apa pun supaya nilaimu kembali baik!” sergah ibu. 

 

Lina menggigil di lantai. 

 

Rumor itu tak benar, tetapi tak juga sepenuhnya salah. Lina bukan gadis bodoh. Ia bisa mengerjakan tugas dengan baik di semua mata pelajaran, kecuali matematika. Setiap ada tugas matematika ia akan mengincar jawaban dari buku teman sekelasnya, terutama Syakila. Mudah saja mendapatkan kunci jawaban itu. Lina akan diam-diam mengambil buku tugas dari tas saat jam istirahat. Tidak ada yang curiga. Lantas, ia menaruhnya di tong sampah. Saat semua siswa pulang, ia menyalinnya sempurna. Keesokan harinya ia kembalikan. Saat ditagih oleh guru, buku itu sudah sedia dan Lina sukses mendapatkan nilai bagus. 

 

Untuk UAS ini Lina harus mengubah strategi. Beruntung Matematika tidak ada di hari pertama. Ia bisa bernapas lega sambil menyusun rencana. Ia jadi teringat bagaimana sikap ibu di hadapan lelaki seperti Om Rudy, sementara guru matematikanya lelaki paruh baya yang masih bugar. Apakah ia bisa berbisnis dengan lelaki itu? Lina berpikir keras. 

 

Maka, ia pun memutuskan akan berbisnis. Pertama-tama, ia mencuri riasan dan pakaian ibu. Ia belajar merias diri depan cermin. Hasilnya luar biasa. Lina tampak cantik. Kulit putihnya cemerlang. Bulu matanya lentik. Postur tubuhnya pun tak kalah dengan ibu. Ia ranum, seolah buah yang siap matang. Lina pun mempraktikkan apa yang ia lihat dari ibu setiap malam. Gaya bicara, gestur tangan, hingga raut wajah. Sampai terkagum-kagum bisa melakukannya sama persis dengan ibu. 

 

Guru matematika terkenal bandot karena sering menggoda muridnya yang cantik. Tak sekali Lina jadi sasaran. Fakta ini membuat rencana gadis itu mudah. Ia memulai rencananya saat di sekolah, Lina sengaja menyenggol guru tersebut saat berpapasan di lorong. Si guru limbung, hampir jatuh. Lina segera meminta maaf, seraya menyerahkan kertas kecil dari tangannya. Ia mengedipkan mata, lantas pergi. 

 

Hari memasuki sore saat Lina selesai merias diri. Ia siap berbisnis dengan guru matematikanya demi nilai sempurna. Kali ini ibu pasti bangga. Gadis itu memeriksa kembali gaya rambutnya dan kerah bajunya yang amat terbuka. Melihat ke bawah, kaki putihnya tampak tak bercela. Gadis itu semakin siap, menunggu di balik pintu. 

 

Tepat pukul lima sore, pintu depan diketuk. Lina bergegas keluar. Terlambat, ibu lebih dulu membukakan pintu. Dengan wajah heran ibu menatap lelaki di depan. 

 

“Subagyo, ada apa kau kemari?” tutur ibu seraya menahan langkah lelaki setengah botak di depannya untuk masuk. 

 

“Ayolah, Linda. Izinkan dulu aku masuk. Kita mengobrol di dalam.” Lelaki itu bersikeras. Menampilkan senyum bandotnya. 

 

Dengan ragu-ragu ibu mengizinkan Subagyo, guru matematika Lina, masuk ke dalam. Mereka berdiri sementara mata lelaki itu menyapu seisi rumah. 

 

“Bukan jadwalmu malam ini. Ada apa kau kemari?” Ibu memaksa. Raut wajahnya gusar. 

 

“Aku datang bukan untukmu, Linda. Tapi, untuknya,” Subagyo menunjuk Lina yang mematung di depan pintu kamarnya, “ia yang mengundangku datang kemari.” 

 

Ibu seketika berbalik, wajahnya memerah. 

 

“Lina!” Ibu berseru. 

 

Sebelum amarah itu sampai, Lina mengerti satu hal: guru matematikanya adalah salah satu orang yang senang berbisnis dengan ibu. Ia luput, boleh jadi karena baru kali ini ia melihatnya tanpa sembunyi-sembunyi. Seharusnya itu bagus karena bisa membantu keinginannya, tetapi entah kenapa sekujur tubuh gadis itu bergetar hebat. Boleh jadi gugup, atau justru takut. 

 

Ibu sampai di depan Lina, melihat penampilannya saksama. “Apa yang kau pakai ini, hah? Cepat lepaskan!” Serunya galak. 

 

Lina diam saja. Balas menatap ibu tajam. 

 

“Seharusnya ibu bangga padaku. Aku akan berbisnis dengan guru matematika demi nilai yang bagus. Bukankah ibu yang mengajarkan hal ini? Lakukan apa pun! Ibu senang berbisnis dengan cara seperti ini, bukan? Lihatlah, betapa aku mirip dengan ibu.” Suara Lina bergetar. Air matanya hampir buncah. 

 

Di sela keramaian itu, seseorang masuk dari pintu depan yang tidak ditutup. Ia menatap kosong ke dalam. 

 

“Rudy, seharusnya kau tidak asal masuk.” Ibu jatuh ke lantai. 

 

Suara tangis Lina pecah. Mengalun di seantero ruangan. 

 

Baca Lebih Banyak

Cerpen

blog

Nathanio Chris Maranatha Bangun

Di Depan Jalan Bercabang

Cerpen

blog

Abu Dzar

Dengarkan Ibu

Cerpen

blog

Sketsa Ultra Pelangi

Mariati

Cerpen

blog

Claresta Annisa Rahmandri

Nukilan dari Masa Lalu

Cerpen

blog

Ridho Adji Asshodiq

Namaku Sumarni dan Anakku Dua

Cerpen

blog

Abdul Aziz

Bocah Pedagang Asongan

Cerpen

blog

Rifki Kurniasari

Tidak Seperti Matematika

Cerpen

blog

Luhung Kirana Cahaya Nabila

Ketika Lilin Menyala

Cerpen

blog

Desy Romadhon

Sahabat Hujan

Cerpen

blog

Fadillah Utami Ningtyas

Belati di Persimpangan Jalan

Cerpen

blog

Ardi Wina Saputra

Surat Kepada Bapak

Cerpen

blog

Kartik Salokatama

Hikayat Sang Suka-Suka

Cerpen

blog

Elisa Dwi Susanti

Seratus Purnama

Cerpen

blog

Sintha Rosse Kamlet

Tasbih Baru untuk Bapak

Cerpen

blog

Widayati Mia Pratiwi

Kobe Modhe