blog

Sholihati Lathifa Sakina

Cerpen 03 Nov 2024

Pagebluk Kematian

 

Raut wajah pria paruh baya itu menunjukkan ekspresi kemarahan yang jelas. Kerutan di dahinya semakin dalam. Alis lebatnya menukik dan matanya melotot keluar. Gerahamnya mengatup rapat, seolah menahan amarah yang menguar dari sekujur tubuhnya. Pria itu, Keseno, baru saja kembali ke kampung halamannya setelah tiga tahun merantau di ibu kota. Gegas ia menyebrangi jalan, menuju rumah lumbung—balai desa tempat warga berkumpul. Berbeda dari suasana hati Keseno, warga Kedungrejo justru bersuka cita. Jelang tanggal 14 bulan Maulud, semua warga riuh menyiapkan larung sesaji – ritual sedekah laut untuk mendapatkan kesalamatan dan terhindar dari penyakit yang sudah berjalan lebih dari seabad di desa itu.

 

Tapi itulah yang membuat Keseno muntab. Bola matanya liar mencari sosok yang ia kenal di balai desa, sebelum akhirnya kedua netra Keseno menangkap rupa istrinya yang tengah menghias jitek bersama sekumpulan ibu-ibu, sementara anak gadisnya semata wayang berlatih tarian sebab akan menjadi dayang pengantar sesaji. Kemarahan yang sedari tadi ditahannya pun meledak. Dengan suara meraung, pria itu berseru pada semua orang yang berkumpul di sana, “Desa ini akan dihukum Tuhan!”

 

***

 

Warga yang tengah sibuk menyiapkan ritual tertegun dan menghentikan aktivitas mereka. Suara keras Keseno bagai petir yang menyambar di tengah keramaian, membuat seluruh mata menatap pria itu. Istrinya, Sumi, kaget melihat suaminya berdiri dengan amarah membara di tengah balai desa. Ia nyaris tidak mengenali Keseno yang memakai gamis serba hitam dan bersorban, sementara separuh wajah pria itu ditutupi janggut lebat.

 

“Kau sudah pulang, No?” Mbah Pangat, juru kunci larung sesaji sekaligus mertua Keseno, melangkah maju. Sosoknya yang renta berbalut kain lurik, tampak berwibawa meski usia menambah kerutan di wajahnya. Mbah Pangat bertanya dengan tenang, namun matanya menghujam Keseno, tajam.

 

“Kalian semua gila! Ini dosa besar! Kalian meminta keselamatan kepada laut, bukan kepada Tuhan! Ini syirik!” Keseno meraung, telunjuknya menuding tajam ke arah jitek yang dihias. “Deso Iki bakal binoso yen terus-terusan koyo ngene iki!”

 

Sumi melangkah maju mendekati Keseno. Dengan wajah tegang, ia berbisik pelan, mencoba meredakan suaminya. “Sudahlah, Mas. Ini sudah tradisi. Ojo gawe kisruh neng kene. Semua orang sudah menyiapkan ini berhari-hari.”

 

“Tidak! Aku tidak bisa diam!” sergah Keseno, suaranya menggema di antara para warga. “Kamu dan anak kita juga harus berhenti. Iki dudu carane golek slamet. Iki dalan marani binoso!”

 

Sorot mata Sumi terbeliak. Ia tidak menyangka tiga tahun setelah suaminya meninggalkan desa, Keseno menjadi pria yang sangat berbeda. Bagaimana mungkin suaminya yang dulu lembut dan penuh canda, bahkan disebut-sebut akan menjadi juru kunci berikutnya, kini berubah menjadi sosok yang keras dan kaku dengan pandangan agamanya?

 

***

 

Keseno tahu betul, betapa penting ritual larung sesaji bagi warga desanya. Ia lahir dan tumbuh besar di desa ini, tak pernah sekalipun melewatkan upacara larung sesaji. Sejak tiga bulan sebelum Maulud, warga Kedungrejo sudah membentuk panitia ritual, mengumpulkan ayam, kambing, dan kerbau yang akan dijadikan sesaji, menghias jitek, berlatih tari, hingga menyiapkan kostum dayang perawan. Semenjak ia menikahi Sumi, orang-orang menyebutnya sebagai pewaris juru kunci, karena Mbah Pangat yang mendidiknya langsung.

 

Mbah Pangat yang mengajarinya bahwa ritual ini telah ada sejak ratusan tahun silam, karena pagebluk pernah melanda desa Kedungrejo. Sesepuh zaman dulu menyebutnya pagebluk kematian, jika terkena sakit di pagi hari, sore harinya akan meninggal. Jika sakit di sore hari, keesokan paginya akan meninggal. Mbah Tholib, leluhur Kedungrejo, memutuskan bersemedi di Gunung Gumbala dan mendapat wangsit untuk memberikan persembahan pada penjaga Pantai Selatan pada tanggal 14 bulan Maulud. Sejak itulah ritual larung sesaji terus dilangsungkan. Saat merantau ke ibu kota, Keseno belajar bahwa hal-hal tersebut syirik, bertentangan dengan syariat. Ia hubungi Sumi berkali-kali, melarangnya ikut dalam pelaksanaan larung sesaji. Tapi ucapannya tak digubris. Padahal Keseno hanya ingin mereka selamat, dunia akhirat.

 

Meskipun mendapat tentangan dari Keseno, persiapan larung sesaji terus berjalan. Warga tetap mengumpulkan sesaji: tumpeng, pisang kuning, darah kambing, menyan, sayur mayur, buah, minyak cendana, hingga ayam hidup berbulu putih. Sumi memutuskan tetap ikut serta mengurusi jitek, sementara Ayu, putri mereka, tetap berlatih menari. Keseno yang tak tahan dengan semua itu memutuskan pergi ke rumah sambil tetap merapal rupa-rupa azab yang akan diterima desa kepada siapapun yang ia temui di jalan.

 

Pada hari pelaksanaan ritual, suasana desa dipenuhi dengan semangat dan kegembiraan. Warga Kedungrejo, orang-orang dinas, bahkan turis, berkumpul di rumah lumbung. Jitek yang sudah dihias berisi sesaji, diarak mulai dari rumah lumbung hingga tepi pantai. Para dayang perawan mengikuti arak-arakan tersebut sambil mengenakan selendang kuning—warna yang khusus dipilih untuk kesakralan. Sebelum ritual dimulai, Mbah Pangat memohon izin dan membakar kemenyan yang ditujukan untuk Ratu Kidul, meminta agar acara pelarungan dapat berjalan lancar. Setelah acara pembukaan dan penampilan reog, dimulailah puncak ritual pelarungan ke tengah laut.

 

Mbah Pangat mulai merapal doa-doa. Meminta perlindungan bagi desanya, hasil panen melimpah, dan keselamatan warga Kedungrejo. Setelah itu, sesaji pun dilarungkan ke laut. Semua mata menatap perahu yang terombang-ambing dengan penuh harapan. Namun, seperti ada kecemasan yang tersembunyi—perkataan Keseno tentang hukuman Tuhan terngiang di benak mereka. Dan kecemasan itu mewujud ketika perahu yang membawa sesaji berputar-putar tak tentu arah, seolah laut menolaknya. Angin kencang tiba-tiba berhembus, mengacak laut yang semula tenang. Lalu ombak yang bergelung tinggi menghempas jitek hingga terbalik, menghilangkan harapan dalam sekejap.

 

Atmosfer mencekam mewarnai upacara sedekah laut setelah melihat perahu yang mereka larungkan terbalik. Semua orang merasa waswas dan khawatir. Lebih dari seratus tahun ritual ini berjalan, tak pernah ada kejadian laut menolak persembahan. Terlebih hingga perahu yang membawa sesaji terbalik. Tentu ini pertanda buruk. Apa betul desa ini akan dihukum?

 

Warga terdiam, mulut-mulut yang tadinya riuh dengan canda kini terkatup rapat. Mereka saling pandang, penuh rasa takut dan khawatir. “Ini pertanda buruk!” teriak salah satu warga, memecah keheningan. “Laut tidak menerima sesaji kita!”

 

“Kita kembali dulu ke Desa. Tidak apa-apa. Ombak sedang tinggi. Laut tidak menolak persembahan kita,” Mbah Pangat berusaha menenangkan warga. “Mari kita selamatan dulu.”

 

Tapi tak ada yang benar-benar menikmati selamatan. Semua orang bersusah payah menelan, tak peduli selezat apa santapan yang terhidang. Mereka berbisik-bisik lirih, membicarakan kejadian laut yang menolak persembahan. Malam itu, apa yang ditakutkan warga terjadi: bencana mengusik ketenangan Kedungrejo.

 

***

 

Pak Parmin karo Yadi mari mati, Mbah!” seorang wanita bertubuh gempal terburu-buru memasuki rumah Mbah Pangat, melapor kepada juru kunci dengan napas terguncang. Matanya benar-benar ketakutan. “Hadi kritis! Sisanya masih dibawa ke rumah sakit.”

 

Sejak semalam, satu persatu warga Kedungrejo mengalami demam hebat, lantas seluruh isi perutnya terkuras. Beberapa bahkan mengalami kelumpuhan otot. Pagi ini, dua orang yang menjadi panitia ritual dikabarkan meninggal. Belum sempat Mbah Pangat menanggapi, seorang pria datang sambil menggendong anaknya yang masih kecil, “Tolong Mbah, anak saya mulai muntah-muntah. Selamatkan anak saya,” ujarnya dengan suara bergetar.

 

Mbah Pangat dan Sumi segera membaringkan anak yang lemas itu. Namun, tak lama setelahnya, tubuh anak itu mendadak kejang-kejang. Tubuhnya bergetar tak keruan. Seluruh matanya memutih. Dengan penuh kengerian, Mbah Pangat mendesis, “Pagebluk. Desa kita terkena pagebluk.”

 

Kabar pagebluk kematian yang kembali menyambangi Kedungrejo menyebar dengan cepat. Membuat panik dan ketakutan semua orang, serta menebar putus asa bagi warga yang melihat keluarganya telah terjangkit. Berbondong-bondong mereka mendatangi rumah Mbah Pangat, memohon agar juru kunci meminta ampun kepada penjaga Pantai Selatan.

 

“Kalian sedang menyesatkan diri sendiri! Seharusnya kalian bertaubat, meminta ampun kepada Gusti Allah. Bencana ini turun lantaran kalian memakan daging haram, sembelihan tanpa menyebut nama Tuhan,” bentak Keseno kasar.

 

Namun, sebelum perdebatan itu berlanjut, Sumi tergopoh-gopoh menghampiri ayahnya. Wajahnya penuh air mata. Lalu ia menyampaikan kabar yang membuat Keseno terbelalak, “Ayu mulai demam dan muntah-muntah, Pak.”

 

“Tak ada pilihan lain” ujar Mbah Pangat getir. “Kulo bade semedi dateng Gunung Gumbala.”

 

***

 

Sekali lagi, ritual larung sesaji kembali dilaksanakan di Desa Kedungrejo. Hanya saja kali ini tidak ada tawa dan senyum yang menghiasi wajah para warga. Semua orang tenggelam dalam kekhawatiran yang mendalam. Setiap langkah persiapan ritual dilakukan dalam diam dan sarat akan kecemasan. Bayang-bayang pagebluk masih terus menghantui mereka.

 

“Kita harus mengulang ritual, begitu pesan penjaga Pantai Selatan,” ujar Mbah Pangat dengan suara berat sepulang dari semedi. Tidak ada yang berani membantah titah tersebut. Bahkan Keseno tak bertingkah, sebab dihantui kekhawatiran akan kematian putrinya. Warga Kedungrejo segera mengumpulkan kembali bahan-bahan sesaji. Jitek berisi kepala kerbau dan kambing dihanyutkan, diikuti dengan persembahan lain. Suasana berjalan khidmat. Doa-doa dilangitkan agar pagebluk segera diangkat dari Kedungrejo.

 

Ajaib. Dua hari setelah ritual kembali dilakukan, warga yang terjangkit pagebluk berangsur membaik. Orang-orang kembali percaya bahwa ritual larung sesaji memang memiliki kekuatan untuk menolak bala. Di warung-warung kopi, nama Keseno sering dibicarakan. Tidak sedikit yang meyakini bahwa dialah penyebab awal musibah yang menimpa desa. Sumi yang tak tahan suaminya menjadi bahan gunjingan, akhirnya meminta Keseno kembali ke perantauan. Keseno pun pergi dengan berat hati, meninggalkan desanya yang kini semakin yakin bahwa tanpa larung sesaji, bencana akan terus mengintai.

 

***

 

Dalam remang cahaya rembulan, sesosok pria tua berbalut kain lurik berdiri sendirian di bibir pantai, tepat di bawah kaki Gunung Gumbala. Dengan tenang tangannya membuka bungkusan berisi serbuk yang beberapa hari ini diam-diam ia masukkan ke dalam santapan warga setelah ritual larung sesaji usai dilaksanakan, termasuk dalam piring sarapan Ayu beberapa hari lalu. Mbah Pangat lantas menaburkan serbuk itu ke laut, yakin bahwa racunnya akan membunuh ikan-ikan di bawah sana, seperti pagebluk yang menyambangi warga Kedungrejo. Racun itu ia buat dari buah butun. Tentu ia siapkan penawarnya, tapi hanya akan ia beri jika desa melaksanakan ritual ulang. Sebersit senyum dingin dan licik hadir di wajahnya yang keriput. Tidak akan ia biarkan Keseno merusak tradisi yang ia jaga. Sudah tugasnya sebagai juru kunci untuk memastikan ritual larung sesaji tetap berlangsung, bahkan jika harus mengorbankan cucunya sendiri. 

 

***

Baca Lebih Banyak

Cerpen

blog

Nathanio Chris Maranatha Bangun

Di Depan Jalan Bercabang

Cerpen

blog

Abu Dzar

Dengarkan Ibu

Cerpen

blog

Sketsa Ultra Pelangi

Mariati

Cerpen

blog

Claresta Annisa Rahmandri

Nukilan dari Masa Lalu

Cerpen

blog

Ridho Adji Asshodiq

Namaku Sumarni dan Anakku Dua

Cerpen

blog

Abdul Aziz

Bocah Pedagang Asongan

Cerpen

blog

Rifki Kurniasari

Tidak Seperti Matematika

Cerpen

blog

Luhung Kirana Cahaya Nabila

Ketika Lilin Menyala

Cerpen

blog

Desy Romadhon

Sahabat Hujan

Cerpen

blog

Fadillah Utami Ningtyas

Belati di Persimpangan Jalan

Cerpen

blog

Ardi Wina Saputra

Surat Kepada Bapak

Cerpen

blog

Kartik Salokatama

Hikayat Sang Suka-Suka

Cerpen

blog

Elisa Dwi Susanti

Seratus Purnama

Cerpen

blog

Sintha Rosse Kamlet

Tasbih Baru untuk Bapak

Cerpen

blog

Widayati Mia Pratiwi

Kobe Modhe