blog

Ubaidillah

Cerpen 03 Nov 2024

Pelajaran Bahasa Indonesia

 

Orang-orang desa menemukan mayat Sri di gudang sekolah, dan mereka murka.

 

Sri adalah guru honorer yang bersahaja—untuk tidak menyebut miskin. Setiap orang desa pasti mengenali tubuh kurus keringnya yang kerap berseliweran di pasar, sekolah, dan kantor desa itu. Kondisi muka Sri bisa dibilang memprihatinkan, berbeda dengan para gadis desa yang bersih berseri, wajah Sri selalu terlihat kusut dan kusam sebab ia jarang bersolek. Pakaian yang dikenakannya pun mudah ditebak, ia akan berganti pakaian setiap dua hari, dan pantang membeli pakaian baru kecuali pakaiannya sudah benar-benar tidak layak pakai.

 

Kehidupan Sri pun sesungguhnya amat biasa—untuk tidak menyebut menyedihkan. Ia lulus dari perguruan tinggi dengan segunung mimpi dan ide untuk membuat perubahan, lalu garis takdir menamparnya, lagi, lagi, dan lagi. Setelah hampir satu tahun bergumul dengan lamaran dan beragam penolakan dari perusahaan-perusahaan impiannya, satu-satunya yang tersisa dari rencananya, jalan hidup terakhir kalau ia benar-benar kalah dan tidak punya pilihan lagi, adalah menjadi guru Bahasa Indonesia.

 

“Di sekolah kami, semua guru adalah keluarga,” cakap bapak kepala sekolah padanya saat ia baru masuk, “dan sebab sekolah kami berbasis islami, kami sangat menjunjung tinggi nilai keikhlasan dalam mengajar. Setiap guru di sini paham bahwa mengajar adalah pengabdian,” lanjutnya sembari tersenyum penuh tafsir.

 

Hari itu juga Sri mendapat jadwal mengajar. Ia mengajar saban hari dari pagi ke sore. Kadang-kadang ia harus lembur sampai malam sebab ia tidak punya komputer dan perlu meminjam fasilitas sekolah untuk membuat laporan atau soal. Sri diperkosa oleh pekerjaannya sendiri, dan celakanya ia tidak sadar akan hal itu, sampai satu bulan berjalan.

 

“Mohon maaf, Pak, sepertinya ada kesalahan,” Sri menghampiri lelaki yang barusan mampir ke kantor untuk membagikan gaji para guru, “mohon dicek lagi, Pak.”

 

Lelaki itu membuka mapnya lagi. “Tidak ada kesalahan, kok. Ibu atas nama Sri Indah Pratiwi, kan, guru baru Bahasa Indonesia?”

 

Sri mengangguk lemas.

 

“Iya, perhitungannya sudah betul itu, Bu. Tiga ratus ribu. Mari, saya duluan.”

 

Sri termangu. Ia menggenggam erat tiga lembar uang seratus ribuan itu dengan hati teriris.

 

Sri sudah menduga gaji seorang guru honorer akan sedikit, tapi ia tak menyangka akan mengerikan ini. Ia baru sadar bahwa dunia bekerja dengan cara yang sangat jenaka; para pelacur mendapat berkali-kali lipat gaji bulanannya hanya dengan satu jam, dan mereka melakukan hal yang menyenangkan, sementara untuk nominal sekecil ini ia harus banting tulang; menyiapkan pelajaran, mengondisikan kelas, dan bahkan lembur semalam suntuk.

 

Bulan-bulan selanjutnya, Sri masih hadir dan memberikan performa yang sama dengan pertama kali ia masuk, namun ketika matahari tertidur dan ia terjaga di kamarnya sendirian, ia mengambil gawainya, menjelajahi situs dan grup daring lowongan pekerjaan. Sri harus mencari pekerjaan lain atau ia akan mati kelaparan jika terus-menerus menjunjung tinggi kehormatannya sebagai guru honorer.

 

Satu-satunya pekerjaan yang bisa Sri lakukan dengan waktunya yang tersisa di malam hari adalah menjadi agen daur ulang sampah plastik. Ia bisa mengumpulkan sampah kapan saja, dan pegawai di kantor desa membuka penerimaan sampah sampai jam sembilan malam.

 

Sampean yakin, Sri?” tanya ibunya sangsi, “Kalau pagi sampai sore mengajar, lalu malamnya sibuk di kantor desa, sampean kapan istirahatnya?”

 

“Yakin, Mak,” Sri menjawab mantap, “aku masih muda, Mak. Kata almarhum Bapak, anak muda haram bermalas-malasan. Toh, setelah dari kantor desa aku masih bisa tidur.”

 

Entah dari mana optimisme dari jawaban itu berasal, Sri pun tak tahu. Ia hanya tahu bahwa ia tak mungkin terlihat kalah di hadapan orang-orang, terutama ibunya. Sri tidak bisa membiarkan perempuan yang menjadi poros hidupnya itu tahu penderitaannya. Maka, setiap pandangan mereka berserobok dalam kamar sempit di rumah kecil mereka, Sri akan memasang topeng seorang anak yang berbakti. Pendusta pemula hanya berdusta lewat tutur kata, namun pendusta ulung sepertinya juga berdusta lewat kilat matanya nan bening.

 

“PR kalian adalah membuat cerita pendek, ya. Jangan lupa dikerjakan,” demikian titah Sri, sehari sebelum kematiannya.

 

“Aku tidak bisa menulis, Bu!” seru seorang murid dengan lantang, “Bolehkah aku meminta Bagas untuk mengerjakan tugasku?”

 

“Iya, biar Bagas yang mengerjakan tugasku juga, Bu!” timpal seorang murid lainnya, “Si Banci itu, kan, pintar mengungkapkan perasaannya lewat tulisan, coba saja lihat buku diary-nya, penuh dengan kata-kata indah!”

 

Sri terpana. Pertama, karena kaget. Kedua, karena marah.

 

“Dino, Sofyan, berdiri di depan kelas!” hardik Sri tegas, “Tidak ada yang boleh mengejek siapapun di kelas saya. Bagas pintar menulis? Hebat, lanjutkan. Menulis adalah pekerjaan yang menakjubkan. Seorang guru hanya bisa mengajar satu kelas dalam satu waktu, tapi seorang penulis bisa membakar semangat ribuan orang yang bahkan tidak pernah ia temui.”

 

“Kalau tidak mengumpulkan, bagaimana, Bu?” ucap seorang murid di deret belakang.

 

“Kalau tidak mengumpulkan, kalian akan menyesalinya,” ungkap Sri menyeringai.

 

“Tapi aku sungguh tidak bisa menulis cerita pendek, Bu,” keluh seorang murid di sebelahnya.

 

“Cerita pendek bisa datang dari mana saja. Dari pengalaman kalian, pengalaman orang lain, kegelisahan kalian saat melihat sesuatu, atau mungkin topik kesukaan kalian. Tinggal cari saja idenya, tambahkan satu-dua tokoh dan konflik untuk mendramatisir, beres.”

 

“Bolehkah aku menulis tentang Ibu?” celetuk seorang siswi, “Kemarin malam aku lihat Ibu di kantor desa. Ternyata Ibu ikut jadi agen daur ulang sampah plastik, kan? Menurutku akan menarik jika dijadikan cerita pendek. Boleh, ya, Ibu? Nanti akan kuberi judul, Guruku Seorang Pemulung Sampah.”

 

Seisi kelas kontan riuh, sementara Sri mematung. Ada sesuatu yang terkoyak dalam dirinya.

 

“Judulnya ala-ala sinetron azab banget!” kelakar seorang siswa.

 

“Bagaimana kalau Cintaku Bersemi di Tempah Sampah?” usul teman sebangkunya.

 

“Jadi ceritanya Bu Sri dekat dengan agen lainnya, begitu? Menarik!”

 

“Boleh,” tandas Sri, pelan dan tenang, “silakan tulis tentang saya, bebas. Jangan lupa, semua harus mengumpulkan cerita pendeknya besok.”

 

Sri mengakhiri kelas dan keluar dengan mata berkabut. Tangannya terkepal kuat-kuat, matanya menantang langit dan napasnya sekonyong-konyong tersengal. Seumur hidupnya, baru kali itu ia merasa sangat … murah. Bukankah seorang guru harusnya bangga dengan profesinya nan mulia?

 

Sri tak merasakan kebanggaan itu sedikit pun, yang ada justru kian hari ia kian merasa bahwa martabat seorang guru yang ia junjung tinggi itu lebih murah dari seorang perek, lebih rendah dari seekor anjing. Bahkan seorang perek selalu dibayar lebih banyak dari gaji bulanannya oleh para lelaki berhidung belang, bahkan seekor anjing memiliki pelatih pribadi dan rumah dan makanan yang melimpah dari pemiliknya. Lantas kenapa sekolah ini, yang selalu membawa nama-nama agung Tuhan, justru enteng sekali menggagahi sanubarinya?

 

Keesokan harinya, Sri menemukan dari sekian banyak siswa di kelasnya, hanya segelintir yang mengerjakan tugas pembuatan cerita pendeknya. Sebagian besar bahkan tidak tahu kalau ada tugas. Saat itulah mata Sri sempurna memerah, darahnya sempurna mendidih, dan yang ia lihat dari siluet murid-muridnya bukan lagi secercah harapan, namun kematian.

 

“Bajingan,” geramnya tak tertahankan, “bajingan, bajingan, bajingan! Selain yang mengerjakan tugas, semuanya harus membersihkan gudang belakang sekolah, saya awasi sendiri! Tidak ada yang pulang sampai semuanya bersih.”

 

Sri mengawasi murid-muridnya dalam gudang dengan pikiran carut-marut. Persetan dengan pendidikan. Persetan dengan pengabdian. Persetan dengan semua omong kosong ini.

 

Saat itu juga keputusan Sri sebulat purnama: besok ia akan mengundurkan diri. Ia sedang memikirkan alasan yang pas untuk angkat kaki dari tempat terkutuk ini saat sebuah kayu besar menghantam kepalanya.

 

Sri tersungkur, ia berusaha menengadahkan kepalanya, dan menemukan wajah murid-muridnya tersorot sinar matahari yang menerobos celah-celah gudang. Insting primordial yang merambati sekujur tubuhnya mengirimkan sinyal bahwa sejumlah mata yang menatapnya itu bukan lagi tatapan antara murid dan guru, melainkan antara predator dan mangsanya.

 

“Dino, Sofyan? Anak-anak?”

 

“Bajingan? Berani-beraninya seorang pemulung sampah mengutukku!” pekik Dino.

 

“Guru sialan! Tidak ada yang mau diajar oleh guru udik sepertimu!” teriak Sofyan.

Lalu teriakan itu berubah wujud menjadi penghakiman paling bengis bin tolol. Sekelompok murid dungu merampas hidup guru mereka atas dasar sakit hati, dan Sri hanya bisa rebah menantang langit, sebab Tuhan pasti tengah tergelak melihat pertunjukan ini.

 

Sore harinya, orang-orang desa menemukan mayat Sri di gudang, dan mereka murka.

 

“Kamu yakin pelakunya Dino dan Sofyan, Bagas?” selidik kepala desa.

 

“Iya, Pak. Teman-teman kelas saya juga ikut menyaksikan, sepertinya beberapa dari mereka bahkan ikut memukul Bu Sri. Saya ke gudang untuk mengambil rokok saya yang ketinggalan di sana sebelum jam masuk, lalu saat tiba, beliau sudah terkapar seperti itu.”

 

“Bocah-bocah tengik,” desis salah seorang warga, “cuma karena tugas cerita pendek, mereka melakukan ini? Sekarang siapa yang akan melunasi utang ibunya padaku?!”

 

“Ibunya juga punya utang padaku!” sambar seorang warga lainnya.

 

Rutukan dan sumpah-serapah bermuntahan dari mulut orang-orang desa itu. Mereka tahu bahwa utang itu kemungkinan besar tidak akan dilunasi, sebab Sri telah mati, dan ibunya yang sepuh terlalu ringkih untuk bekerja.

 

“Baiklah, terima kasih sudah menelepon, Bagas. Polisi sudah bergerak ke rumah Dino dan Sofyan, segeralah pulang. Aku akan mengumumkan kematian Sri di surau.”

 

Hari itu, ketika Tuhan menyusun petak-petak langit yang penuh semburat merah, Bagas pulang dengan hati bergemuruh. Ia melihat kedua tangannya dengan perasaan puas nan amat ganjil. Pelajaran Bahasa Indonesia hari ini sangat menggairahkan, batinnya.

 

Beberapa waktu lalu, saat Sri rampung dihabisi oleh murid-muridnya sendiri, Bagas yang sejak awal mengintip dari luar memasuki gudang yang telah sepi. Ia menatap Sri yang bersimbah darah, lalu mencoba menekan urat nadi perempuan malang ini.

 

Bagas terkesiap. Sri masih hidup. Ia segera merogoh gawainya untuk menghubungi bantuan, namun tangan Sri mencegahnya.

 

“Bagas … Ibu suka cerita pendekmu,” rintih Sri yang tengah meregang nyawa, “kamu adalah penulis berbakat, maka gunakanlah bakatmu. Bunuh Ibu. Potong urat nadiku, lalu limpahkan kematianku pada Dino, Sofyan, dan bajingan-bajingan dari kelas sialan itu.”

 

“M-mana mungkin aku melakukannya, Bu Sri,” tolak Bagas spontan.

 

“Dalam cerita pendekmu, seorang ibu bercinta dengan anaknya sendiri, tapi pembaca tidak tahu itu sampai akhir cerita. Anggap saja ini cerita pendek Ibu, dan Ibu ingin kamu menjadi akhirnya. Cerita pendek yang berkesan adalah yang memiliki plot twist, bukan?”

Baca Lebih Banyak

Cerpen

blog

Nathanio Chris Maranatha Bangun

Di Depan Jalan Bercabang

Cerpen

blog

Abu Dzar

Dengarkan Ibu

Cerpen

blog

Sketsa Ultra Pelangi

Mariati

Cerpen

blog

Claresta Annisa Rahmandri

Nukilan dari Masa Lalu

Cerpen

blog

Ridho Adji Asshodiq

Namaku Sumarni dan Anakku Dua

Cerpen

blog

Abdul Aziz

Bocah Pedagang Asongan

Cerpen

blog

Rifki Kurniasari

Tidak Seperti Matematika

Cerpen

blog

Luhung Kirana Cahaya Nabila

Ketika Lilin Menyala

Cerpen

blog

Desy Romadhon

Sahabat Hujan

Cerpen

blog

Fadillah Utami Ningtyas

Belati di Persimpangan Jalan

Cerpen

blog

Ardi Wina Saputra

Surat Kepada Bapak

Cerpen

blog

Kartik Salokatama

Hikayat Sang Suka-Suka

Cerpen

blog

Elisa Dwi Susanti

Seratus Purnama

Cerpen

blog

Sintha Rosse Kamlet

Tasbih Baru untuk Bapak

Cerpen

blog

Widayati Mia Pratiwi

Kobe Modhe