Perjalanan ke Pohon Tarra
Pagi yang redup ini kulihat ibu sudah berdiri di ambang Tongkonan merapikan ikat rotan. Helai kulit kayu itu direntangkan memanjang, tangan kanannya menggulung seperti tali sutera yang hendak ditenun. Kusimak baik-baik bagaimana lihainya tangan ibu mengikat pakis di sebelahnya menjadi rapi dan tidak berantakan. Pakis yang sudah tersusun di dalam wadah kemudian ditutupi oleh daun lontar.
Ibu memanggilku dari sana. Dia duduk di atas papan kayu tempat lumbung padi kami disimpan. Setelah pakis dan ikat rotan telah diselesaikan, wajahnya teduh berseri. Sepasang matanya bulat hitam seperti biji kopi Toraja. Di mulutnya mengunyah sirih dan pinang, daun itu membuat bibir ibu berwarna merah menyala.
Aku berjalan hati-hati tanpa alas kaki. Kurasakan telapak kakiku basah oleh embun di pucuk rumput. Jengkal demi jengkal. Hingga aku tiba dalam pelukan ibu yang hangat. Hangat yang melebihi dekap sarung tenun ikat Rangkong dan Galumpang para penenun. Kurasakan telapak tangan ibu yang bergurat kasar mengusap rambut lurusku yang selalu kering dan berantakan setiap hari.
Aku memeluknya dengan mata yang sayu. Kuperhatikan gurat wajahnya terus bertambah. Lingkaran hitam di bawah mata dan beberapa gores luka yang dia dapatkan saat mencari rotan dan pakis di hutan belakang rumah. Aku berjanji, suatu hari nanti akan kuhadiahkan ibu seekor Tedong yang besar. Setidaknya Tedong itu yang akan mengantarkan ibu kepada Tuhan menuju puya atau akhirat bila ibu telah berpulang nanti. Begitulah keyakinan kami di Tana Toraja ini.
***
Di pasar Makale, orang-orang berhamburan di setiap penjuru. Mereka datang dari mana saja. Enrekang, Bulukumba dan termasuk dari kota Makassar. Aku memang belum pernah ke sana. Tapi yang kudengar dari kebanyakan orang dewasa, jaraknya cukup jauh dan amat melelahkan bila ke sana. Katanya sekitar sembilan jam perjalanan.
Matahari berpijar terang tepat di atas ubun-ubun. Keringat mengucur deras dari dahi dan punggung leher. Pakis enam ikat yang kami jual telah tandas. Tersisa satu yang masih terbungkus daun jati. Lima menit kemudian seorang perempuan tua yang tidak lagi tegap jalannya menepi di depan kami. Tangan ringkihnya mendekap pakis yang tinggal sendiri itu.
“Pira allina?” katanya menanyakan harga pakis ini.
“Lima ribu Nek.” Jawabku.
Ibu meraih pakis itu dengan senyum sederhana ke arah nenek. Matanya berbinar jelas. “Ndak usah dibayar Bu.” Sekejab pakis itu berpindah tangan ke nenek beruban di depan kami. Kupandangi wajahnya. Kulihat sepasang matanya menjelma kilau mata ibu. Binar cahaya bahagia terpancar darinya.
Nenek itu berlalu dengan pakis terakhir kami. Ibu merapatkan suaranya ke kuping kiriku. Satu kebaikan akan melahirkan kebaikan yang lain, kalimat itu yang kudengar lembut darinya. Aku senang mendengar kalimat itu keluar dari mulut ibu.
Ibu kini mengajakku ke Pohon Tarra. Menjenguk adik kecilku yang telah berpulang lebih dulu. Nenek di rumah dan ibuku punya kepercayaan yang sama. Bahwa di pohon Tarra-lah sebaiknya anak bayi dikuburkan. Sebab pohon itu banyak getah yang dianggap sebagai pengganti air susu ibu. Itulah alasan kenapa bayi dikuburkan dalam lubang pohon Tarra.
Angkutan umum yang menuju Kambira ada di depan pintu masuk pasar ini. Kami akan ke sana. Ibu kembali menggenggam pergelangan tanganku yang kurus. Baru saja lima langkah kami berjalan, seseorang bertubuh besar menyambar pundak kiri ibu dengan keras. BRUK! Ibu terjungkang ke belakang. Orang yang memakai topi tadi cepat-cepat membantu ibu untuk berdiri. Aku memandang sinis orang itu. Dia pergi menjauh setelah ibu hanya melepaskan senyumnya tanda tidak apa-apa. Ah! Ibu baik sekali.
Ibu menunjuk angkutan yang akan kami naiki. Rupanya masih tersisa ruang untuk kami berdua. Aku naik lebih dulu baru ibu. Dari atas angkutan kulihat wajah ibu berubah kebingungan. Tangannya terlihat panik mencari sesuatu. “Uangku, Jada, kau lihat?” Ibuku bergumam.
Aku melototkan mataku. Kepanikan ibu menjalar seketika ke sekujur tubuhku. Ibu akhirnya terisak. Aku turun kembali dari mobil. Apakah orang yang menyambar tadi yang mengambil uang ibu? Pikirku berdiam diri melihat ibu yang memandang kosong ke dapan.
“Aku tidak apa-apa kok ibu kalau harus berjalan kaki ke Pohon Tarra.” Kataku penuh harap. Semoga jawabanku itu setidaknya melegahkan hati ibu yang gundah.
“Benarkah?”
“Yah, aku sudah terbiasa berjalan saat menemani bapak mencari rumput liar untuk Tedong.” Kataku seperti superhero yang kuat.
Senyum ibu kembali terbit. Kami berjalan sejauh mana yang kami bisa. Satu langkah setengah jam lalu, kini sudah menuju dua kilometer. Sejujurnya betisku sudah keram sejak tadi. Tapi aku tidak ingin mengelu pada ibu. Ibu lebih kuat dari apa yang kubayangkan. Sengat matahari di siang ini cukup membakar kulit kami yang gelap seperti kayu manis.
“Pipp … pipp!.” Suara klakson mobil menyergap pendengaran kami.
Aku dan ibu sontak menoleh. Kami melihat mobil pikup-nya menepi ke sisi kiri. Wajah samar-samar di balik kaca itu semakin jelas untuk ditebak. Ah! Nenek tua tadi? Seseorang lelaki berkumis di sampingnya bertanya ke mana arah yang kami tuju. Ibu yang menjawab pertanyaan paman itu. Lelaki berambut ikal itu menyuruh kami naik ke belakang mobilnya. Katanya dia akan melewati Kambira juga. Mengantar atap Tongkonan pesanan nenek di sampingnya.
Aku memandang wajah ibu. Mata kami saling bertemu. Tiba-tiba saja kuingat kata ibu di pasar tadi. Bahwa satu kebaikan akan membuka kebaikan yang lain. Aku terpana sekarang. Kini aku yang berganti tersenyum pada ibu. Senyum yang memperlihatkan gigiku yang tidak beraturan. Kutatap atap Tongkonan di sisi bahu kananku, betapa semesta selalu melihat cahaya kebaikan dari hati.
***
Baca Lebih Banyak