Tajali Mahkota Perak
Di remang senja yang mengarak malam,
ibu duduk menemukan tanganku,
meminta kutarik benang-benang perak
yang tersulam di mahkotanya.
“Cabutlah,” katanya,
seolah uban itu adalah dosa
yang tak pernah ia minta.
Aku patuh,
meski tiap helai yang tercerabut
mengiris relungku sendiri,
menyibak realita
tentang waktu yang tak dapat disangka,
akan pilar hidupku
yang perlahan dilahap usia.
Hari ini, aku menyulam lebih benang perak dari biasanya.
Setiap helai terasa seperti rahasia
yang enggan pasrah pada waktu,
benang-benang perak
yang tak pernah kusangka
akan mengisi mahkota ibuku.
Ia tersenyum,
seolah uban itu hanya angka pada almanak,
padahal aku tahu—
itu adalah bukti cinta yang terpahat
dalam terjaganya malam,
dalam doa-doa yang ia jalin
untukku, anaknya.
Tiap helai yang kusentuh
menggetarkan hatiku,
seperti menarik serpihan usiaku sendiri,
seperti menyadari,
bahwa ia menua demi melihatku berdiri tegap,
tanpa goyah oleh prahara dunia.
Ibu,
aku takut,
takut mahkota itu kian merapuh,
takut engkau tak lagi di sisiku
saat aku berhasil menaklukkan dunia.
Maka malam ini,
di bawah bumantara,
kutitipkan doa kepada semesta:
“Jaga ia, wahai langit,
hingga aku mampu berdiri tegap
di mercu asa.
Remang senja : Cahaya redup menjelang malam.
Tajali : Berasal dari bahasa Arab tajallī (تَجَلِّيُّ), yang berarti "kebenaran"
Mahkota : secara metaforis merujuk pada rambut (uban).
Benang-benang perak : Rambut uban
Relungku : Bagian terdalam hati, tempat menyimpan perasaan mendalam
Pilar hidup : Sosok yang menjadi penopang kehidupan
Almanak : Kalender
Prahara dunia : Cobaan atau kesulitan hidup
Bumantara : Langit atau Angkasa
Mercu asa : Puncak harapan atau Cita-cita
Baca Lebih Banyak