Tanah Mana Lagi yang Bakal Digali Bapak?
Pagi-pagi sekali aku mendapati ibu berdiri di tepi jendela tepat setelah istriku pergi bekerja. Ibu selalu muncul tiba-tiba dan tanpa suara, tetapi aku tidak pernah mempertanyakan itu. Ibu datang bersama ayam jantan kesayangannya yang diberi nama Marlin. Aku selalu senang ibu mengunjungi dapurku, karena itu tandanya dapurku akan selalu beraroma masakan—hal yang kurang bisa dipenuhi oleh istriku—dan ramai oleh kokokan Marlin. Ini adalah kunjungannya ke dapurku yang kesebelas pada tahun ini.
Awalnya kukira ibu datang setiap hari Minggu. Namun ternyata tidak. Ibu datang ketika istriku pergi memberikan pelajaran merajut sekaligus mengantar hasil rajutannya untuk dijual, yang biasanya dilakukan pada hari Minggu. Ketika istriku sakit pada hari Minggu sehingga menunda untuk mengantar hingga hari Selasa, ibuku pun datang hari Selasa. Dari luar ibuku melambai. Ibu selalu muncul di halaman belakang rumah.
Hanya dengan menatap kulit di buku-buku jarinya yang keriput dan kekuningan melambai padaku, aku bisa mencium aroma rempah-rempah di sela-sela jarinya. Begitu masuk, ibu mengecup keningku sejenak lalu berpaling untuk mengeluarkan bahan-bahan masakan dari dalam rinjing. Ibu datang tidak lain untuk membuat masakan untukku, kali ini makanan tradisional khas Surabaya.
Sejak kecil aku selalu mengidam-idamkan masakan ibu. Aku melakukan segala sesuatu dengan lebih bersemangat setelah makan masakan ibu. Dari dalam rinjing ibu mengeluarkan semanggi, beberapa kecambah kacang hijau, kerupuk puli, serta bumbu-bumbu untuk sambal pecel. Aku menarik kursi plastik, menempatkannya pada sudut terbaik untuk menonton atraksi ibuku dalam mengolah bahan-bahan itu. Ibu melakukannya dengan pola teratur: melambaikan tangan, menunggu hingga pintu dibuka, masuk dan menggusak rambutku yang mulai memutih, lalu mulai memasak. Ayam jantan ibuku selalu siap siaga di setiap pergerakan mondar-mandir ibu dan terkadang menghampiriku untuk sekadar mematuk jempol kakiku yang membengkak, lalu menjilati nanah yang berceceran akibat patukannya. Marlin juga sebenarnya memiliki pola: mendatangiku dengan senyum anehnya lalu mematuk betisku setelah jempol kakiku sudah semakin tidak beraturan—tidak enak lagi.
Selagi menunggu rebusan daun semanggi dan kecambah, ibu mencuci kencur, cabai, bawang merah, dan bawang putih. Orang mungkin tidak akan percaya jika aku mengatakan bahwa ibu berusia delapan puluh pada tahun ini sebab suaranya masih sama seperti ketika aku kecil dulu. Ibu menyanyikan tembang lawas sambil merebus ketela rambat karena daun semanggi dan kecambahnya sudah matang. Perutku keroncongan. Jika ibu sudah datang begini, maka masakan istriku tidak ada apa-apanya lagi. Makanan itu teronggok di meja, sedangkan ibu selalu menyajikan makanan yang sudah jadi secara lesehan saja. Aku hanya perlu mengambil tikar bambu, mengisi air ke dalam teko, dan acara makan pagi bersama ibu akan terlaksana.
Ibu meniriskan rebusan ketela rambat, lalu menguleknya bersama gula merah, sedikit kacang tanah goreng, bawang merah, bawang putih, cabai, kencur, sedikit petis, serta garam. Ibu tidak kesulitan mengulek, meski ulekan tersebut lebih besar daripada diameter pergelangan tangannya. Aku mulai menggelar tikar. Menata gelas blirik kesayangan ibu—ibu tidak mau minum jika bukan dari gelas itu. Setelah bumbu siap, ibu menurunkan komponen-komponen tersebut dari atas meja dapur. Kami makan hening saja, seperti sudah kesepakatan sejak awal. Marlin tidak mau bersepakat. Ia mematuki remahan kerupuk puli dan berkokok di sela-sela makannya. Aku yakin dia berseru bahwa kerupuknya sungguh nikmat. Ibu makan dengan perlahan, anggun, khas wanita Jawa yang kharismanya begitu kuat. Ibu selalu selesai makan lebih dulu.
“Segera bersihkan semuanya. Tanpa menyisakan apa pun.”
Ibu selalu berkata begitu di setiap akhir kunjungannya sehingga istriku tidak pernah tahu bahwa diam-diam ibu suka mengunjungiku lalu pulang setelah memastikan aku kenyang. Minggu depannya, ibu datang lagi tanpa suara. Melambai dari tepi jendela di luar. Istriku sudah pergi, meninggalkan rebusan umbi-umbian, omelet, dan jus pepaya yang aku sudah berniat untuk tak menyentuhnya. Tentu saja karena ibuku datang. Kali ini kedatangan ibu benar-benar tanpa suara, termasuk suara Marlin. Setelah kubukakan pintu belakang, ibu masuk dengan rinjingnya seperti biasa. Benda pertama yang dikeluarkan ibuku adalah Marlin. Kali ini dia sangat pendiam. Sebab Marlin sudah tak bernapas lagi.
Aku memosisikan kursi sementara ibu merebus air. Kali ini aku menonton dengan damai karena tidak ada lagi yang mematuki jempolku. Ibu merendam Marlin sejenak lalu mencabuti bulu-bulunya. Marlin begitu memesona tanpa bulu, kulitnya begitu putih dan berdaging. Ibu mencincang Marlin kotak-kotak, lalu mulai menusuk daging kecil-kecil itu satu persatu menggunakan tusuk bambu. Ibu menghaluskan bumbu kacang yang sudah digoreng sebelumnya. Di tengah kegiatan menguleknya, ibu tiba-tiba tersenyum ganjil.
“Oh, bawang putih dan bawang merahnya lupa. Tolong gali di belakang. Ibu sempat menanamnya dulu sekali.”
Tidak biasanya ibu lupa akan bahan-bahan masakan yang dibutuhkannya. Tak apalah, meski tua begini aku masih bugar dan bisa mencangkul. Ibu menghentikan kegiatannya dan menunggu sampai aku berhasil mendapatkan bawang yang diinginkan. Aku berjalan ke belakang rumah, mengambil cangkul, dan mulai menggali. Aku kebingungan sebab sama sekali tidak ada daun bawang yang menyembul ke permukaan. Seluruh halaman belakang rumahku, luasnya hanya ditumbuhi rerumputan liar. Ibu berdiri di tepi jendela sambil tetap tersenyum lebar dan mengangguk-angguk.
Mana bawangnya? Yang mana? Aku sangat menginginkan sate Madura itu. Dulu ketika aku masih kecil, ibu hanya menyajikan sate tiap setahun sekali. Maka kali ini tidak akan kusia-siakan kesempatan untuk mencecap rasa gurih sate yang berbalur bumbu kacang itu. Aku terus menggali. Ujung sana hingga ujung sini. Matahari mulai meninggi dan peluhku bercucuran. Ibu masih tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. Aku yakin bahwa itu adalah isyarat agar aku terus menggali.
Aku terus saja menggali, sampai tanahnya merah oleh darah. Rupanya kakiku terkena cangkul. Matahari sudah mulai turun dan itu artinya istriku akan segera pulang. Bagaimana ini? Jika istriku pulang maka ibuku akan pergi. Sedangkan aku belum bisa memakan sate Marlin yang aku yakin sekali bakal luar biasa enak. Oh, daging Marlin yang enak sebab makanannya adalah darah dan dagingku!
Aku menoleh kepada ibuku di ujung sana. Ibu mengganti senyumnya dengan seringai tipis dan berkata, “Mana bawangnya? Ibu akan pulang jika istrimu hampir tiba.”
Aku memejamkan mata dan menangis beberapa lama. Saat aku membuka mata, ibu sudah pergi. Aku berlari menuju dapur dan mendapati Marlin mentah yang sudah ditusuk-tusuk belum sempat dibakar. Ibu pasti marah besar padaku. Marlin mentah kurasa bukan masalah. Aku harus segera menghabiskan Marlin sebelum istriku pulang, sebab ibu selalu bilang, “Segera bersihkan semuanya. Tanpa menyisakan apa pun.”
Minggu depannya ibu tidak melambai lagi dari tepi jendela, melainkan bicara dengan suara samar dari luar, “Sudah kau temukan bawangnya?”
Aku menggeleng dan ibu pergi sambil berkata, “Tidak ada masakan yang bisa diolah sempurna tanpa bawang.”
Pekan-pekan terus berlalu, sementara ibu hanya mampir untuk menanyakan bawang lalu pergi. Sedang aku terus menggali hingga kakiku luka-luka dan meninggalkan borok menyedihkan. Semakin menyedihkan rupa kakiku, sehingga istriku meninggalkan pekerjaannya. Dia di rumah saja merawat kakiku, sementara ibu tak pernah mampir lagi membuatkanku masakan. Aku tahu bahwa selagi aku belum menemukan bawang, ibuku tak sudi mampir. Jika ibuku tak mampir, maka aku tidak akan bisa menikmati masakan-masakan ibu lagi.
***
“Jika bukan karena sudah segenting ini, ibu mungkin tidak sampai mengadukan ini padamu, le. Bapakmu terus saja menggali. Bapak juga suka melukai jari-jari kaki serta betisnya sampai bernanah dan berdarah-darah. Ditambah lagi, kemarin galiannya merusak pipa air.”
Aku memutuskan pulang setelah mendengar kabar tersebut dari telepon. Pekerjaanku sebagai guru seni rupa di sekolah dasar sulit ditinggal sewaktu-waktu. Butuh waktu empat jam setengah dari tempatku bekerja menuju desa kecil di Surabaya tempat orang tuaku tinggal. Ketika belum terlalu parah, ibu hanya membalut luka bapak lalu tetap pergi bekerja seperti biasa. Barulah ketika kaki bapak terluka semakin parah dan terus mencangkul seperti orang kesetanan, ibu memutuskan untuk berhenti bekerja.
Awalnya kukira ini hanyalah persoalan biasa. Bapakku yang sudah mulai pikun selalu menggali tanah di halaman belakang rumah. Semakin lama semakin gencar. Ibuku yang sudah muak terhadap kesia-siaan bapak menyodorinya beberapa benih cabai dan tomat. Ibu bermaksud agar bapak menanam biji-bijian itu. Alih-alih ditanam, bapak justru menelannya dalam beberapa suapan. Bapak terus menggali. Ibu menyembunyikan cangkulnya ketika Bapak sedang tidur, tetapi pagi-pagi sekali Bapak menggali menggunakan jemarinya yang sudah berkerut-kerut. Bapakku bukan bisu, tetapi memilih untuk tidak bicara. Bapakku pensiun bicara semenjak kematian nenek, alias ibu dari bapak.
Begitu sampai di rumah, aku langsung mendapati wajah ibu yang penuh duka dan kelelahan.
“Apa yang terjadi, Bu?”
“Bapak tidak mau makan setiap ibu tinggal pergi bekerja. Masakan ibu dibiarkan tak tersentuh. Lalu jempol kakinya yang bengkak itu hancur. Tak cukup sampai di situ, bapak mengoyak-ngoyak betisnya sendiri.”
Ibu terus bercerita sambil menangis. Bapak masih tertidur di kamarnya yang lembap dan berbau entah apa. Bapak belum tau jika aku datang.
“Ibu mau berpamitan, jadi tolong tunggui bapakmu.”
Aku mengangguk samar. Kondisi ekonomi keluargaku baru mulai merangkak sedikit, setelah aku diterima sebagai guru tetap. Meski begitu, ibu memilih untuk tidak diam saja. Sudah lima tahun ibu memberikan pelajaran merajut di sebuah organisasi yang memberdayakan wanita. Selain itu, ibu juga merajut tas, pakaian, dan benda-benda lain di rumah lalu mengantarnya ke toko. Ibu bersepeda saja. Ibu melakukukan pekerjaan tambahan ini karena bapak sudah lama tidak bekerja. Hari ini, ibu memutuskan berhenti.
Dulu kurasa bapak masih cukup normal untuk disebut sebagai pengidap gangguan jiwa. Bapak melakukan bermacam aktivitas dengan tetap normal, meski memutuskan untuk berhenti bicara pascakematian nenek, tepatnya sepuluh tahun lalu. Bapak mungkin merasa dirinya memikul beban kesahalan yang beratnya tak terperi karena meninggalnya nenek adalah ketika sedang berbonceng motor bersama bapak.
Tahun-tahun berlalu biasa-biasa saja dan bapak tetap begitu-begitu saja. Barulah belakangan bapak menunjukkan keanehan yang sulit kuartikan sebagai tanda dari apa pun. Bapak menggali tanah mana saja yang bisa digali di area rumah dan beberapa halaman milik tetangga. Dari halaman depan sampai halaman belakang, tanah berhamburan tak keruan. Aku tidak tahu apa yang bisa kulakukan karena bapak tetap tidak bicara dan hanya menggali saja.
Bapak masih tidur. Sesekali bapak mengigau. Aku berdiri mengamati bapak dari pinggiran pintu yang tidak dikunci. Aku tak ingin mengganggu bapak dan hanya tersenyum getir menatapnya. Sesekali bapak mencecap bibir-bibirnya, seolah sedang makan. Pasti bapak sedang makan di dalam mimpinya. Atau barangkali juga bapak memimpikan masakan nenek. Sejauh yang bisa kuingat, sebulan sekali nenek selalu berkunjung ke rumah dengan membawa rantang. Masakan itu selalu membuatku berkeliling Jawa Timur tanpa menjejakkan kaki. Nenek pandai memasak hidangan khas daerah kami sekaligus sekitarnya. Benar-benar kenangan yang menyenangkan.
Aku menghentikan perjalananku mengingat masa-masa itu setelah menyadari bahwa aku belum mandi sejak pagi. Sekarang pukul sembilan dan matahari sudah terik. Aku mandi seperti biasa, sebelum gedoran ibu di pintu membuatku panik. Ibu pulang cepat karena memang hanya berpamitan. Seharusnya ibu pulang lebih cepat, tidak, seharusnya aku tak perlu mandi pagi. Sebab sejak hari itu bapak hilang, membawa cangkul yang sudah disembunyikan ibu di bawah tumpukan kayu bakar, dan entah tanah mana lagi yang bakal digali oleh bapak.
Baca Lebih Banyak