Kau Tak Akan Sanggup Menghitung Dosa Sebagaimana Kau Tak Mungkin Mampu Menghitung Pahala

Oleh: Kurnia Effendi

Di surau dingin dan sunyi itu, Chairil mengangkat kapak yang digenggam tangan kirinya. Setelah merenung hampir sepertiga malam, ia memastikan tangan kanannya telah melakukan banyak dosa. Ia tak mampu menghitung jumlah dosa sejak tangan kanannya menunjukkan tempat pelacuran, satu di antara mereka seorang alim. Setahu Chairil, Imran pemuda alim yang selama ini menahan diri dari serangan berahi. Namun, tidak pada sore jahanam itu.

Bagi Chairil, dengan memotong tangan kanannya, akan terhapus jejak dosanya. Dosa yang sudah ia tanggung berbulan-bulan. Dosa yang terus berbunga sebagaimana pengambil riba. Dari waktu ke waktu selalu bertambah dan ia tak kuasa menghalanginya. Kecuali …

Bila tangan dengan lima jemari itu lepas dari pergelangan, ia berjanji hendak menebus dosa beranak-pinak itu dengan satu demi satu pahala. Entah kapan bisa impas, mengingat ia tak tahu usia yang diamanatkan kepadanya. Selama telapak tangan kanannya masih dapat dipandang, Chairil tak tenang dalam mengumpulkan pahala.

Detik-detik keputusan itu membawanya masuk ke dalam labirin. Chairil menangis sejadinya. Tangan kiri pemegang kapak berkarat itu gemetar. Mata logam tajam itu seolah-olah gamang menatap nadi tangan kanan yang pasrah terkulai di meja. Di sebelahnya masih terbuka Al-Quran, tepat di halaman surat Ar-Rahman.

***

 

“Chairil, sini!” Panggilan Ustaz Zuhri itu tidak kasar, tetapi tegas. Namun, Chairil kecil ketakutan. Mendekat dengan wajah tunduk. Teman-temannya beringsut ke sudut. Surau kecil itu sudah kehabisan jemaah sepuh, tinggal beberapa anak yang bermain sesudah tarawih berjamaah.

“Tadi kamu bilang apa saat tahiyat akhir?” tanya Ustaz Zuhri. Chairil menggeleng. “Aku hafal suaramu.”

“Maaf, Ustaz.” Chairil ragu-ragu. Ustaz mengangguk memberi rasa nyaman. Akhirnya Chairil mengaku. “Tadi saya mengucapkan Thoyib keras-keras.”

“Kenapa? Apakah karena ada Pak Thoyib ikut sembahyang di sini tadi?”

Terdengar cekikikan empat bocah di sudut.

Chairil teringat banyak kenakalan di masa kecilnya, termasuk menyembunyikan sandal Aminah saat pelajaran mendaras Juz Amma. Tujuannya agar bisa pulang belakangan bersama Aminah dengan pura-pura ikut mencari dan menemukannya.

Kini, Aminah sudah menikah. Gadis yang dahulu terlihat paling cantik di kampungnya itu dilamar pemuda lulusan Al-Azhar Kairo. Chairil mendengar kabar mereka ta’aruf, sebelum tiba undangan akad nikah. Chairil tidak patah hati. Ia sudah pindah ke lain hati. Bahkan bingung memilih empat perempuan yang ditaksirnya. Kalau meminta pendapat Imran, pasti muncul nasihat agar beristikharah, demi memperoleh petunjuk Allah.

“Apakah nanti Allah mengirim pesan kepadaku, misalnya: pilihlah Hompimpah?”

“Apakah ada nama Hompimpah di antara empat gadis itu?” Imran balik bertanya.

“Itu, hanya contoh.” Chairil tertawa.

Keempat gadis itu pun akhirnya menikah satu demi satu dengan lelaki lain. Lelaki yang berani menyatakan cinta dan siap bertanggung jawab atas kehidupan berumah tangga. Chairil sang penyair ingin hidup 1.000 tahun lagi, sedangkan Chairil dari Tegal yang lumayan tampan ini kebingungan menentukan hari depannya.

“Aku mau melanjutkan kuliah di rantau.” Demikian dia sampaikan niat kepada orang tua dan teman-temannya, termasuk Imran. Di kota, ia indekos di rumah saudara temannya dekat lokalisasi. Barangkali ini pangkal mula yang membuatnya menyesal habis-habisan.

Sore hari, ketika tak ada kuliah, Chairil duduk merokok bersama pemuda tetangga atau sendirian. Ia membaca banyak buku filsafat yang dibawakan dua karibnya di perantauan. Dipaksakan untuk mencairkan kekentalan ajaran Uztaz Zuhri di masa kanaknya.

Gang di depan kontrakannya memang kerap membuat bingung orang baru. Selain sempit karena banyak rumah melanggar aturan, separuh lebarnya dijadikan parkiran kendaraan. Dimulai dari dua pemuda berboncengan motor menanyakan lokasi Patwe, saban orang bertanya berikutnya, dengan ringan ditunjukkan arahnya oleh Chairil.

“Aku mau liburan di tempatmu.” Suatu hari Imran mengabari. “Ada tempat menginap?”

“Kalau bersedia meringkuk bersamaku, kamar ini bagai surga.”

Begitu Imran tiba, ruang sempit itu dihamburi kenangan masa kecil. Memancing di bendungan. Berburu tebu dan dikejar polisi kebun karena membawa pulang dua ikat. Bermain layangan sampai mata memerah. Mencuri uang celengan untuk menyewa cersil Kho Ping Ho.

“Jadi, sekarang siapa pacarmu?” tanya Imran. “Kecantikan Aminah lewat, dong.”

“Justru tidak sempat. Kuliahku santai tapi tugasnya bikin sering begadang.”

“Teman cewek kampusmu pasti banyak. Kota ini terkenal sumber perempuan manis.”

“Kau tahu, manis itu bahaya. Bikin diabetes.” Chairil tertawa sembari menyulut rokok.

Suara Imran berubah bisik. “Tahu, enggak? Aku hampir kebablasan dengan cewekku.”

“Astaga ….” Chairil ikut berdebar.

“Itulah, makanya aku ingin tahu. Bagaimana kamu menjaga diri?”

Chairil menggeleng. “Kubilang aku tak punya pacar selama setahun kuliah di sini. Cenderung lupa karena kesibukan.”

“Enggak pernah ingin ‘gitu’ sama sekali?” Imran mendesak. Tampaknya berharap punya teman senasib. Chairil menggeleng lagi. Namun, kemudian memeragakan gerakan merancap.

“Oh!” Imran menarik panjang lalu berbaring di kasur tipis sedikit lembap itu.

“Bukannya di sini dekat dengan Patwe?”

“Kalau kamu berminat,” Chairil tersenyum menggoda. Lalu tangan kanannya memberi tahu rute menuju Patwe. “Keluar dari pintu rumah ini, tinggal berjalan dua ratus meter ke kanan. Ada pertigaan, bisa ambil lurus atau yang ke kiri, sama-sama sampai di tempat itu.”

Sejenak mata Imran berbinar mesum. Chairil menarik sebatang rokok lagi dan menawari Imran kopi gelas kedua. Musik blues terus mengalun dari pemutar CD, seiring gerimis.

“Enak juga tinggal di sini. Bisa hidup bergaya bohemian.” Mata Imran mengupas inci demi inci kamar Chairil, Tumpukan baju kotor, bekas bungkus rokok, kertas dan alat-alat gambar terletak berantakan. “Kuliahmu membentuk banyak orang menjadi seniman.”

Siang segera menjadi sore sesaat setelah azan Asar menyeruak ke langit dari pengeras suara masjid kampung. “Kamu mau mandi duluan?” tanya Chairil sembari melemparkan handuk dari lemari plastik.

Air dingin segera mengguyur badan Imran yang letih setelah melakukan perjalanan naik bus. Ia bersiul-siul di kamar mandi. Figur perempuan bahenol muncul di kepala Imran selagi menggosok kemaluannya dengan sabun berlimpah busa. Hmmm … dua ratus meter dari sini.

“Nanti kita makan tongseng enak di dekat minimarket,” kata Chairil saat bersimpang jalan menuju kamar mandi. Agaknya Chairil mandi terlalu lama, berkeramas, mengingat dari kemarin bertahan tidak mandi dalam suhu musim penghujan. Ketika ia kembali ke kamar, Imran menghilang. Dihubunginya ponselnya, tetapi berbunyi di meja belajar kamar itu.

“Ah, sial!”

Sampai jauh lepas magrib, baru Imran muncul di pintu kamar. Tersenyum-senyum misterius. Chairil menghardik marah. “Kamu bikin aku cemas saja. Kalau tersesat, bagaimana aku mencarimu? Ponsel ditinggal!”

Imran melempar sebungkus rokok kesukaan Chairil. “Nih, biar bisa begadang. Aku memang baru saja tersesat ,…”

“Astaga. Kamu?”

“Ya. Tadinya ingin tahu saja. Seperti apa Patwe?”

“Jadi …?” Pandangan Chairil tajam menguliti, antara curiga dan khawatir.

“Sori, Ril. Aku terobsesi.”

Chairil jatuh terduduk. Ia sama sekali tak menduga akan terjadi tragedi di sore pertama kedatangan Imran. Chairil ingat, sepanjang tiga hari berikutnya ia menjaga Imran tidak ke mana-mana kecuali ia mengantarnya. Sepeninggal Imran, Chairil kembali membuka kitab fiqih yang setahun ini dibiarkan berdebu di rak paling atas.

Dalam sebuah mimpi, Ustaz Zuhri mengetuk pintu kamarnya. Saat dibuka, sosok gurunya berdiri memunggungi. Berulang-ulang Chairil memanggil, sang ustaz bergeming. Dalam mimpi, Chairil menangis keras. Saat terbangun, dadanya tersengal oleh kesedihan yang menggumpal.

“Aku sudah jauh dari Tuhan,” ujarnya sendiri di puncak malam. Terseok ia ke jamban, mengambil wudu dan bertahajud. Air matanya membasahi sajadah. Hatinya meleleh oleh salawat menjelang iqamat Subuh.

Ia mendatangi surau terdekat. Jaraknya hanya seratus meter dari kompleks pelacuran. Ia sudah memutuskan pindah kos, tetapi pemilik rumah, Mang Ohle, paman temannya, menitipkan kedua anaknya untuk diajari mengaji. Konon, pada sebuah malam Jumat, Mang Ohle mendengar Chairil mengaji. Syahdu mendayu.

“Surah apa yang dibaca?” tanya Mang Ohle. Ia mengundang Chairil sarapan pagi.

Chairil tersipu. “Al-Kahfi.”

Sejak itu Rida dan Zul, bocah lelaki tujuh dan lima tahun, belajar mengaji kepada Chairil seminggu tiga kali. Dengan tangan kanannya, Chairil menuntun mereka membaca Iqra.  

Suatu hari pengurus surau kampung mengundang Gus Mukhlas berceramah. Chairil heran, ada ustaz besar mau ke kampung hitam ini. Kenyataannya, jemaah luar biasa banyak, termasuk para pelacur di kompleks itu.

“Bila tanganmu menunjuk tempat maksiat dan yang kauberi tahu melepas hajatnya .…”

Bermalam-malam suntuk Chairil tak nyenyak tidur. Ia membolos kuliah berhari-hari lantaran memikirkan akibat dari tangan kanannya menunjukkan lokasi Patwe, termasuk tak sengaja memberi tahu Imran. Untuk siapa saja uang pembayar jasa layanan kenikmatan tubuh itu? Bagaimana andai kaum pria itu terkena sifilis dan menulari istri mereka? Berapa lagi dosa yang ditanggung Chairil bila tiap lelaki itu memberi tahu temannya dan teman lainnya? Apa jadinuya kalau sebagian kepala keluarga merusak rumah tangganya?

***

 

Kini, di surau dingin dan sunyi itu, lewat tengah malam, Chairil hendak memutuskan satu hal: memotong tangan kanannya. Kemarin ia menemukan kapak berkarat pembelah kayu milik Mang Ohle di dapur. Kapak itu sudah diangkat tangan kirinya. Bergetar.

Angin hangat berkesiur dari pintu surau, mengalahkan hawa dingin ruangan.

“Bang Chairil ….” Terdengar suara perlahan perempuan. Samar dikenalnya.

Chairil menoleh. Jantungnya tersirap. “Kamu ….”

“Iya, aku Ros. Sebenarnya Rusmini.” Perempuan dengan mukena jambon itu tersenyum. “Aku yang belajar mengaji sama Abang sejak sebulan lalu. Ingat? Tadinya mau diam-diam ke sini. Enggak tahu Abang ada di sini. Sekalian saja, aku minta diajari sembahyang taubat.”

Terdengar bunyi benturan logam dengan lantai. Kapak di tangan kiri Chairil jatuh. Ia tertegun memandang bayangan dirinya di bawah lampu suram: rambut gondrong yang tertutup peci. Tak tampak air mata di sana.

Chairil mencium punggung tangan kanannya sendiri.

 

***

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami