Kematian Mbah Ganyong dan Ratapan Pohon-Pohon

Daruz Armedian

Alangkah menyedihkan menjadi pohon ini. Ia tumbuh menjadi tua hanya untuk berakhir di mulut api, atau menjadi bahan bangunan, atau menjadi sejumlah properti. Padahal, jauh-jauh hari, orang-orang pedalaman Kampung Jojogan sudah menamainya Pohon Gusti. Selain untuk dijadikan sesembahan, pohon itu diharapkan agar jangan sampai ditebang. Sebab, siapa yang berani membunuh Tuhan?

            “Bukannya akhir-akhir ini bumi sedang butuh pohon-pohon, ya? Kenapa mereka malah ramai-ramai menebangnya?” Tanyamu sore itu, ketika kita hendak ke Nglirip, ziarah ke makam waliyullah Mbah Jabbar.

            Aku diam. Mengamati orang-orang sibuk menebang pohon-pohon. Beberapa di antara dari mereka ada juga yang mengeduk tanah yang dalamnya menyimpan batu kapur pakai mesin. Batu-batu itu kemudian diangkut dengan mobil besar, yang entah akan dibawa ke mana. Bumi benar-benar akan dihancurkan.

            “Gak ngerti lagi sama mereka.” Kataku. Tidak tegas menjawab pertanyaanmu, memang, tapi aku juga punya keresahan yang sama. Akhir-akhir ini, setidaknya di kampungku, matahari rasanya berada satu jengkal di atas kepala. Panasnya minta ampun.  Juga musim sekarang tidak bisa ditebak. Apakah musim hujan, atau musim kemarau? Tidak tentu. Meski seharusnya musim kemarau, hujan bisa saja terjadi kapan saja. Itu menyulitkan perhitungan petani dalam menanam. Padahal ini masih di perkampungan, apalagi di kota, apalagi di kotamu yang penuh dengan kemacetan kendaraan itu? Di keadaan yang seperti itu, kenapa mereka menebang pohon-pohon, terlebih yang besar-besar?

            “Lihat itu, kenapa sih pohon-pohon yang besar, yang jadi sumber mata air, malah ditebangi?” Kau bertanya lagi. Dan meskipun terasa sebagai pertanyaan retoris, aku ingin menjawab sekenanya.

            “Mungkin mereka ingin menjadikan tempat itu pemukiman.”

            “Ngaco. Benar-benar ngaco. Masih banyak persawahan yang bisa dijadikan lahan pemukiman. Setidaknya itu lebih baik daripada meratakan hutan.”

            Kau tertawa, pahit. Dan aku paham itu. Dan aku mengerti itu. Kau tak lagi menggunakan istilah “menebang pohon”, tapi “meratakan hutan”, yang aku jadi bisa menebak, kau benar-benar jengkel dengan orang-orang di situ.

            Sudah saatnya aku memberimu cerita masa lalu orang-orang sini.

            “Mungkin karena Mbah Ganyong sudah mati. Jadi gak ada lagi yang melindungi pohon-pohon.” Kataku, berusaha memperpanjang obrolan.

            “Maksudmu?”

            “Iya, mungkin karena Mbah Ganyong sudah mati.”

            “Siapa itu Mbah Ganyong?”

            Aku lupa kau bukan asli orang sini. Baiklah.

***

Mbah Ganyong, atau bisa juga kita panggil Ki Joko Lelono, adalah orang kondang yang entah dari mana, belum ada yang mengetahuinya secara pasti. Ia mengembara sampai ke pelosok Tuban Selatan untuk menyebarkan agama Islam. Saking kondangnya, ia sampai punya murid banyak, dan salah satu di antara mereka adalah Mbah Jabbar ini, yang akan kita ziarahi ini makamnya. Mbah Jabbar ini seorang wali, seorang pangeran, keturunan Jaka Tingkir dari Kerajaan Pajang. Keduanya kemudian menjadi sosok penting dalam penyebaran Islam di wilayah Tuban Selatan.

            Ingin kukatakan padamu kalau kematian Mbah Ganyong tidaklah semenyedihkan itu. Tidak seperti yang orang-orang sini percaya sebelumnya, tidak seperti yang orang-orang katakan: ia mati dan tidak ada yang berani menguburkannya. Bau busuk dari tubuhnya keterlaluan. Energi kegelapan yang memancar dari sana terlalu berlebihan.

Orang-orang di sini percaya, itu karena kesombongan Mbah Ganyong. Mereka percaya Mbah Ganyong, ketika melihat muridnya, Mbah Jabbar, wafatdan jasadnya menguarkan wewangian sampai radius satu kilometer, ia mengatakan: itu baru muridku lho yang mati. Apalagi aku? Bagaimana nanti wanginya jasadku?

Suatu hari Mbah Ganyong ditemukan mati di tengah rerimbun pohon ganyong (yang kemudian nanti jadi julukannya) di dekat air terjun Nglirip, jasadnya meringkuk dan bau bangkai menguar dari sana (atau lebih dari sekadar bau bangkai), hingga orang-orang tidak ada yang mau menyentuhnya, mengangkatnya, memandikannya, mengkafaninya, mensalatinya, dan menguburnya. Ia akhirnya dimakamkan dengan cara yang mengerikan: dilempari batu sekepalan tangan, sampai menumpuk, dan jasadnya kemudian tertimbun secara perlahan.

Padahal orang-orang sini tak tahu bahwa ada cerita lain yang sengaja disembunyikan. Ia adalah sufi penganut Ibnu ‘Arabi, yang ajarannya tidak bisa semena-mena diikuti oleh orang awam: wahdatul wujud, atau orang-orang sini menyebutnya sebagai manunggaling kawula gusti. Tentu saja, jika ia adalah orang biasa, bagaimana mungkin ia bisa menjadi guru Mbah Jabbar? Bagaimana mungkin ia memimpin wilayah Jojogan melawan penjajahan? Bagaimana mungkin ia menjaga kedamaian air terjun Nglirip?

Padahal orang-orang sini tak tahu juga bahwa ada lagi cerita lain yang sengaja disembunyikan. Mbah Ganyong mati dan tidak ada orang yang peduli karena sampai akhir hayatnya, ia masih membiarkan orang-orang pedalaman menyembah pohon besar. Ia tidak tegas melarang mereka menyembah selain Allah. Padahal itu adalah sebuah kesyirikan. Orang-orang membenci sikapnya yang seperti itu.

***

Mbah Ganyong mempunyai cara yang unik untuk berdakwah. Ia tidak menyerupai kiai-kiai atau ulama-ulama pada umumnya. Ia justru mirip orang biasa, seperti orang-orang pedalaman pada umumnya. Ia tidak berjubah, tidak bersorban. Tidak berpeci, tidak sarungan. Ia memakai blangkon dan celana tani.

            Ia menyebarkan agama yang dianutnya dengan santai. Tidak keras melarang ini dan itu. Tidak keras menyuruh ini dan itu. Semua berjalan ala kadarnya.

            Sesekali ia terlihat sedang bersemedi di dekat air terjun, di dekat kedung. Di sana ia melepaskan keduniawiannya. Melepaskan hasrat ingin dianggap sebagai orang yang terhormat.

            Semua orang di sini menyukainya, termasuk juga Mbah Jabbar. Mbah Jabbar belajar banyak hal kepadanya. Termasuk belajar tata cara menyebarkan agama dengan santai dan tidak menabrak tatanan sosial yang ada sebelumnya. Sampai akhir hayatnya, Mbah Jabbar masih menganggap Mbah Ganyong sebagai gurunya.

            Semua orang di sini menyukainya. Hanya saja, ketika Mbah Ganyong marah-marah karena mereka ingin menebang pohon yang kerap disembah orang-orang pedalaman, mereka jadi mempertanyakan keilmuannya, mempertanyakan agamanya.

            Tentu saja hal itu bisa terjadi. Mereka yang makin hari makin pintar soal agama, sangat tahu kalau menyembah pohon adalah suatu kesyirikan. Mereka ingin menumpas pohon-pohon besar itu. Mereka tidak ingin kesyirikan ada di sekitar mereka.

            Lalu satu per satu dari mereka makin curiga. Jangan-jangan Mbah Ganyong ini bukan tokoh yang baik. Dari tampilannya sudah berbeda dengan Mbah Jabbar. Dari caranya bergaul, tidak seperti ulama-ulama pada umumnya. Jangan-jangan Mbah Ganyong hanya orang biasa yang pandai berbicara. Jangan-jangan Mbah Ganyong adalah dukun yang mampu menyihir banyak orang, sehingga banyak yang mengikutinya.

            Ketika keinginan mereka menebang pohon-pohon semakin besar, semakin besar pula kemarahan Mbah Ganyong dan semakin besar pula perlindungan Mbah Ganyong terhadap pohon-pohon itu.

            Puncaknya, orang-orang di sini benar-benar meninggalkan Mbah Ganyong. Mereka tidak ada yang peduli dengan kehidupan Mbah Ganyong, termasuk juga ketika ia mati (bahkan orang-orang yang membencinya melempari mayatnya dengan kerikil sampai mayat itu tak terlihat lagi). Juga di antara mereka ada yang mengatakan kalau Mbah Ganyong adalah orang kafir yang menyaru sebagai ulama.

            Sebenarnya, bisa saja mereka menebang pohon secara semena-mena. Akan tetapi, kekuatan gaib Mbah Ganyong selalu membikin mereka ketakutan.

            Pernah ada sekolompok orang yang hendak menebang pohon-pohon besar di sini tanpa sepengetahuan Mbah Ganyong, tiba-tiba beberapa dari mereka jadi sakit, tiba-tiba linglung, dan lain sebagainya. Meskipun didatangkan orang-orang dari luar yang mahir menebang pohon, tetap saja mereka tidak mampu melakukannya.

***

Setelah kematian Mbah Ganyong, memang tak ada orang yang benar-benar melindungi pohon-pohon. Orang tua itulah, meski dianggap sebagai kiai jadug, ilmu agamanya nyaris sempurna, yang membiarkan pohon-pohon dijadikan sesembahan orang-orang pedalaman dan tak boleh satu pun orang menebangnya. Ia juga yang maju paling depan jika ada orang yang sok tahu tentang kesyirikan dan hendak menghancurkan pohon-pohon besar di dataran tinggi Jojogan, di sekitar air terjun Nglirip.

            Tapi Mbah Ganyong sudah benar-benar mati dan sekarang tinggal pohon-pohon itu yang meratapi. Mereka menangis, merindukan sosok orang tua yang membiarkan mereka hidup, menjadi sesembahan orang-orang pedalaman. Setiap hari, selalu ada kelompok orang yang hendak membabat mereka. Setiap hari, selalu ada orang yang mempermasalahkan kehidupan mereka. Beberapa dari orang-orang itu datang dari kota, beberapa yang lain dari anak-anak penduduk setempat yang pernah merantau jauh dan berpendidikan tinggi (rata-rata dari mereka tidak percaya mitos-mitos, mereka mengedepankan rasionalitas), dan beberapa yang lain lagi adalah orang-orang kekinian yang menolak adanya kesyirikan-kesyirikan berupa penyembahan terhadap pohon-pohon.

            Setiap ada pohon besar, yang dianggap sebagai Tuhan oleh orang-orang pedalaman, pohon itu harus ditumbangkan. Jadikan ia apa saja, selain sesembahan. Pohon ini bisa jadi kursi, meja, tiang-tiang rumah, bahan ukiran, tapi tak bisa jadi Tuhan. Dan meskipun orang-orang di Jojogan hari ini tidak ada yang menyembah pohon, tapi jika ada pohon yang mulai besar, harus ditebang. Sebab pohon itu bisa jadi berpotensi untuk disembah. Sebab pohon itu akan dikerubungi sesajen untuk berbagai keperluan.

***

“Unik sekali Mbah Ganyong ini, ya.” Gumammu.

            Aku hanya mengangguk-anggukkan kepala. Mbah Ganyong sudah benar-benar tiada. Dan entah siapa yang akan melindungi pohon-pohon itu. Entah siapa yang akan melindungi pohon-pohon dengan cara menjaga mitos-mitos, menjaga kearifan lokal.

            “Gimana, ya, kalau mereka tahu kisah Mbah Ganyong ini?”

            “Maksudmu?”

            “Gimana kalau orang-orang yang menebang pohon di sini tahu kisah Mbah Ganyong?”

            “Mungkin mereka akan tetap menebang pohon. Demi kepentingan apa pun.”

            “Benar juga, ya.”

            Maka, jangan heran jika suatu hari setelah kau lama di kotamu dan kamu mengunjungi kampung ini lagi dan merasakan tak ada bedanya perkampungan dan perkotaan. Semuanya sama. Manusianya sama. Kerusakannya sama. Hanya beda porsi.

Kau dan aku berlalu. Meninggalkan tempat itu. Dari jauh, masih kudengar kasak-kusuk orang-orang di situ. Masih kudengar deru mesin-mesin memotong pohon-pohon di situ. Sesekali ada teriakan penyemangat dari salah satu mereka, yang meski lamat-lamat, justru memekakkan telingaku dan membikin sesak dadaku.

Ketika suara mesin-mesin itu gergajinya menyentuh pohon-pohon, dari sana seperti terdengar suara ratapan, “Mbah Ganyooong, Mbah Ganyooong, tolooong, toloooong.”[]

2022

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami