Oleh: Nasriya Diya
Setahun berlalu. Delapan ribu jam lebih menguar pada sangkala. Dalam masa itu, tak ada bunyi logam saling beradu. Tak juga terdengar suara logam diasah. Tak ada riuh bocah-bocah berlatih. Dan mungkin juga tak ada cita. Padahal, mereka hanya perlu kurang dari tujuh ratus dua puluh delapan jam dalam dua belas bulan untuk membuat logam itu menjadi rancung selayaknya Luwuk. Saat ini, benda itu masih disana. Di pojok rumah, di samping pohon mangga. Dibiarkannya terpapar hujan, tersentuh panas mentari, terluka oleh kesombongan.
***
Matahari begitu terik ketika seorang Bapak yang sudah banyak memiliki gelembur di wajahnya berjalan langsam dengan gayungnya. Langkahnya terseok-seok menuju penjual sayur. Ia memilih tiga unting kangkung, membayarnya dengan satu keping uang gobog. Sang penjual terlihat mengerutkan dahinya. Ia berkali-kali menggerakkan tangan kanannya ke atas dan ke bawah tepat di depan mata pembelinya. Tetapi perasaan heran tak ia hiraukan lebih jauh. Sebab dia sudah mendapatkan bayaran dari hasil jualan kangkungnya.
Sepulangnya dari tempat orang-orang menggantungkan harapan, Bapak itu mengolah kangkungnya menjadi sayuran. Segenap daya ia kerahkan. Maklum, ia sudah terlalu berumur untuk melakukan pekerjaan itu.
Saat teringat usianya, ia lekas berjalan ke selatan. Kali ini ritme kakinya sedikit cepat. Buru-buru ia singkap ruangan bertabir hitam itu. Sebuah ruangan yang kelam meskipun mentari sedang bersinar terang. Pikirannya menumpu pada tiga Pedang Luwuk pemberian dari kakeknya, Ki Luwuk. Tidak sembarang orang bisa memilikinya. Hanya lapisan bangsawan dan kesatria saja. Lalu, ia mengambil sebuah kotak kusam dan usang. Saat ia membukanya, sebuah cahaya menyambar keluar dari kotak tersebut. Mendadak ruangan berubah terang. Diambilnya tiga buah Luwuk dari kotaknya.
Bapak tua itu mengamati tiga Luwuknya. Ia menyingkap Luwuk pertama dari selongsongnya sambil merapalkan beberapa mantra. Logamnya terlihat masih mengkilat dan tajam. Sekian detik kemudian, benda tersebut berkarat. Tumpul. Kejadian tersebut terus berulang hingga Luwuk ketiga. Lalu diserahkannya kepada ketiga bocah lanang yang sedari kecil ia asuh.
“Le[1], ini Pedang Luwuk. Sebelum belajar, berlatihlah bermain dengannya,” perintah singkat Bapak tua itu.
“Inggih, Bapak,” kata mereka bertiga membuat ikrar kepatuhan.
Esoknya, ketika mentari mulai menyapa buana, Adiwongso dan Adiguno menjawati Luwuk itu. Adinoto hanya melihat kedua saudaranya. Salah satu dari mereka membuka selongsongnya. Ia menggeleng dengan logam karatan setebal kayu pohon ketela itu. Selongsongnya terlihat sangat menawan, berbalik dengan dalamnya. Wongso nampak bingung. Hanya Noto -bocah yang lebih tua dari keduanya- yang tampaknya berpikit keras.
“To, So, Kok aku mikir kalau Bapak itu ingin dilindungi ya?” sembari memakan buah mangga hasil panjatannya. Kemudian ia meneruskan, “Bapak itu kan buta dan congek. Kalau cuman gelut[2], aku pinter. Meskipun kata orang, Bapak itu bukan Bapak kita. Tapi sejatinya ya Bapak kita, Guru kita, rek[3]. Aku tidak keberatan kalau cuma melindungi Bapak. Jadi, nggak perlu belajar dengan pedang tumpul itu. Menghabiskan waktu saja.”
“Gundhulmu[4], jangan ngawur kamu.” Wongso menjitak kepala Guno.
“Aduh, sakit So,” ia berkata seperti itu sambil mengelus-elus kepalanya. “Enak ya jadi Bapak itu. Tinggal nyuruh aja.”
“Rek, ini tidak baik untuk kita. Bapak juga guru kita. Guru itu digugu lan ditiru[5],” sambung Noto dengan tetap lahap memakan mangga.
Semua mata langsung melihat Noto. Mereka kesal dengan kelakuan Noto.
“Lha terus kenapa sampean tetap disini makan mangga,” kata Wongso dengan ketus.
“Aku tidak suka pedang yang logamnya berkarat,” sambil menatap sendu kedua saudaranya. Ia melanjutkan, “Aku tidak suka bermain senjata.”
Keadaan berubah hening. Semuanya diam. Mereka mafhum, Noto pernah punya lakon dengan senjata. Ia pernah nyaris mati karena dilukai dengan sebuah benda seperti dodong. Bahkan, ia kehilangan empat jari tangan kirinya. Meskipun itu bukan dodong, meskipun itu sebuah pedang yang berkarat, ia kukuh tidak mau menjawatnya. Semua senjata itu sama menurut Noto. Semuanya mengingatkannya tentang rasa sakit.
Sementara bocah bertiga sibuk menggunjingi Bapaknya, Bapaknya justru sedang berada di sebuah ruangan yang sempit dan gelap. Ruangan itu ada di sebelah timur dari ruangan ketika Bapak tua mengambil Luwuk. Di dalamnya sudah tergelar kelasak tipis yang pinggirannya sudah termakan rayap. Bapak tua itu duduk bersila. Jari-jari tangan kanannya terlihat menari-nari. Ia bergumam lirih No, So, Gun. Slamet yo, Le. Beberapa detik setelah itu, matanya ditutup. Ruangan yang sudah gelap kian gulita. Kedua tangannya dinaikkan dan disatukan. Ia memasuki buana yang tidak bisa dimengerti oleh manusia biasa. Dalam pertapaannya, terlihat pipinya bersimbah air mata. Sedangkan mulutnya terisak lirih.
Setelah selesai melakukan kegiatan rutinnya, Bapak itu keluar ruangan menuju tempat belajar anaknya. Dengan langkah tertatih, Ia juga membawakan makanan untuk ketiganya. Biasanya, bocah-bocah akan makan setelah jam belajar selesai.
***
“Ilmu iku koyo banyu, Le,”[6] terang sang Bapak pada anaknya.
Kemudian, Bapaknya bangkit dari peraduannya, berjalan memandangi ketiga bocah lanangnya. Tatapannya dalam, ganal tatapan seorang bapak kepada anaknya.
“Air itu tidak akan pernah menginginkan ikan, belut, tanaman dan khalayak di sekitarnya mati. Sekalipun ia likat, ia tetap ingin menghidupi sesuatu yang bisa hidup. Jika memang keruh, ia akan diam untuk menunggu jernihnya. Atau ia akan terus mengalir mencari sumber air yang lebih besar, yang lebih segar, agar bisa tetap hidup dan menghidupi ikan dan mahkluk hidup didalamnya. Jika ia blumbang[7], ia tetap ingin membasahi tanah.” Tiba-tiba tak ada bersuara. Ia kembali menatap ketiga bocah lanangnya. Matanya kembali basah tetapi ia memutuskan untuk tetap melanjutkan pembelajarannya. “Le, tanah yang basah akan mampu menghidupi tanaman. Dan tanaman akan hidup, berbuah, bertunas, dan nanti kita makan. Semua itu karena air, Le.” Bocah-bocah mengangguk kecuali Noto. Ia seperti berpikir keras mencari maksud dari Bapaknya.
Suatu hari di bulan Phalgunamasa, Bapaknya berpamitan. Ia hendak meninggalkan rumah selama sepekan. Bocah-bocah tidak merasa curiga. Tidak juga merasa khawatir. Tetapi seperti tahu dimana Bapaknya, Noto yang tinggi, gempal dan berisi berniat mencarinya. Ia berjalan melintasi bukit. Dari ketinggian, ia melihat Bapaknya di sisi bukit lain yang lebih tinggi yang di bawahnya mengalir air tumpah ruah, jernih dan murni. Dia duduk bersila di atas air dengan tetap memegangi gayungnya. Arus airnya begitu deras. Sekitar satu meter dari daerah tersebut, terlihat sebuah air terjun. Ia terkesima dengan peristiwa di luar nalar itu. Bahkan, saking tak karuan rasanya, tak sadar celananya basah. Dibelalakkan matanya berkali-kali, diyakinkan hatinya terus-menerus. Ia tak tahu pasti apa yang dilakukan Bapaknya. Ia juga tak mampu menahan perasaannya. Antara ketakutan dan ketakjuban. Lalu ia memutuskan kembali ke rumah dan mengunci mulutnya rapat-rapat.
***
Tiga bocah itu sedang mencari kelapa muda. Noto bertugas mengumpulkan buah kelapa yang jatuh. Wongso bertugas membuka buah kelapanya agar dapat dimakan dan diminum. Sedangkan Guno yang paling lincah dan ringan bertugas memanjat pohon kelapa. Sayup-sayup terdengar keributan yang tidak biasa. Ada yang berteriak meminta tolong, ada yang meminta ampunan, dan yang tidak biasa, bunyi goresan logam mengenai sesuatu. Tak jelas. Tiga bocah itu berkumpul di bawah pohon kelapa dengan sedikit ketakutan. Sedetik kemudian, mereka teringat sesuatu. Di pojok rumah. Di samping pohon mangga.
Masing-masing telah menjawat Luwuk. Noto menjawatnya dengan tangan gemetaran. Mereka memutuskan bersembunyi. Sepertinya kafilah pemberontak sedang marah. Wajar saja, berbulan-bulan lalu mereka mengintai pajak bumi dari daerah itu. Tapi, karena Patih Gajah Mada masih hidup, mereka tak pernah mampu melancarkan aksinya. Ketika kabar moksanya patih kondang itu tersebar, para kafilah menyerang kembali daerah itu.
Tiga bocah itu tetap bersembunyi. Tapi Guno merasa menjadi pengecut. Dia memutuskan keluar dari peraduannya dan menghadapi mereka. Kedua temannya tidak bisa meninggalkan begitu saja. Mereka berjuang bersama dengan pedang tumpul itu, Luwuk. Noto berjuang dengan dua hal dari ketakutannya, senjata dan kafilah pemberontak. Guno bertaruh dengan gagah, Wongso sudah mulai limbung, sedangkan Noto sudah terluka parah. Dalam otaknya berkeliaran gambaran tentang Bapaknya. Dalam situasi yang genting, ia tiba-tiba mengerti akan suatu hal. Matanya basah membentuk lurik di pipinya yang legam.
Awalnya tangis Noto hanya sesenggukan, lambat laun semakin keras. Ia memanggil-manggil Bapaknya. Pikirannya berkelebat kemana-mana. Dalam diam, hatinya mengeja, Ilmu itu seperti air. Ilmu tidak bisa didapatkan tanpa perantara. Entah kitab, guru, atau… Bahwa ilmu itu seperti air. Artinya Bapak adalah air. Bapak dan ilmu itu menyatu menjadi air. Bahwa tidak ada guru yang ingin menyesatkan muridnya. Bahwa aku telah bersalah dengan Bapak.
Tiba-tiba pawana menggoncang tempat itu. Ketiga bocah itu terpelanting jauh ke belakang. Lamat-lamat ia mendengar suara Bapaknya. Suara yang memerintahkan untuk berlari ke arah timur. Noto bersikukuh menghambur ke arah Bapaknya. Tetapi seperti ada batas tak terlihat, ia tidak bisa maju. Tiga bocah itu menangis. Noto diangkat kedua saudaranya. Tidak ada pilihan lain. Mereka berlari ke timur sesuai arahan Bapaknya. Mereka berlari mundur sambil tetap menjawati pedangnya. Bahwa Pedang Luwuk adalah saksi dimana mereka pernah melakukan kesalahan besar pada Bapaknya.
Mereka memperhatikan Bapaknya bertarung. Lebih tepatnya memastikan. Bapaknya adalah petarung hebat. Dengan keterbatasannya, ia mampu bertahan. Bapak tua itu bertarung dengan gagah, tidak tergesa-gesa dan tepat sasaran. Ia mampu menghadapi kafilah itu. Hanya saja, sangkala membuat tubuhnya semakin lemas. Beberapa waktu kemudian, suara pedang terdengar sangat memekakkan telinga. Terasa sangat mengiris hati. Tiga bocah lanang itu berhenti. Mereka saling memandang satu sama lain.
Tulungagung, 27 Desember 2021
[1] Kepanjangan dari Thole. Merupakan sebuah panggilan untuk seorang anak laki-laki di Jawa.
[2] Berkelahi.
[3] Kepanjangan dari Arek. Merupakan sebuah panggilan akrab yang dapat diartikan bocah di daerah Jombang-Mojokerto-Surabaya.
[4] Ejekan dalam bahasa Jawa. Artinya kepalamu.
[5] Di dengarkan nasihatnya dan ditirukan apa yang dilakukannya.
[6] Ilmu itu seperti air, Le.
[7] Sebuah kubangan air yang tidak bermuara, tidak juga dalam, dan biasanya berwarna keruh.