Kidung untuk Ishbierra

Sapta Arif

 

/1/ —Sarajevo, 08-‘92

Sarajevo, malam belum padam

tubuhmu lebur dihantam artileri.

Keping ingatan menguar

dari abu perpustakaan.

Bulan genap di langkah delapan,

tahun menggelap.

 

Seumpama, tubuhmu

genizah yang megah.

Mata zaman tak hendak berpaling.

 

Namun, biblioklas terlampau mahir.

Mereka menyalangkan mata,

dalam gelap, di tengah raung riuh perang,

(sesekali) bermandikan doa.

Menjemput kepulangan abadi.

 

/2/—Irak, 4-2003

Sebelum sungai Trigis dan Efrat meluap di hadapan kami,

kidung untuk Ishbierra memaksa Enlil menyiram derita.

Ingatan menjadi tablet yang terpacak rapi,

lalu, jatuh tercecer—dari rak-rak kayu

dan hancur berkeping-keping.

 

Orang-orang berkepala hitam berdoa,

sorot matanya kekal akan ingat,

:konon, Nidaba—Dewi Gandum—mencipta ingatan.

Ia lahir dari kurir pesan yang lupa.

 

Kami membaca kisah di sudut meja penyalin kitab,

Konon, Raja Uruk bermimpi,

—ayahnya, Sang Agung, menahan derita

minum air busuk di neraka.

:IA lupa mencatat hal baik.

 

/3/—untuk Enkhedunna
 Hatimu yang pasrah, serupa rengkuhan langit senja,
 Kau berjanji, menanam ingatanmu di sudut ruang ziggurat.
 Seorang Ummia memanggilmu, menawar yang tersisa
 dari batang usia.
 
 Tanganmu yang lembut mengambil lempengan setengah matang,
 memahat naskah berhuruf paku—tulang dan busur menjadi pena,
 menyalin nama rajamu, silsilah yang kekal menembus masa.
 Temanmu sesgal bersuara lembut, merapal nama Nidaba.
 
 Oh Dewi Gandum, ingatan menguar dari kepingan tanah liat.
 Tatkala Enkhedunna yang termashur menulis pepuisi,
 apatah Kau berpaling?
 
 Tetapi, Inanna tetap milik-Mu,
 Kidung-kidung lahir,
 Di Lagash, Kau terkenang dalam
 keabadian.

 

Ponorogo, Maret 2023

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami