Lelaki yang Ingin Kembali dari Enam Abad Silam

Oleh : Ian Hasan

Suatu waktu kau pernah bertanya, “Apakah cinta kita abadi?” Pertanyaan itu mengapung di perjalanan waktu, karena kupastikan tak ada lelaki yang sanggup menjawabnya sepenuh rasa. Kecuali jika jawaban itu sekadar meluncur sebagai peredam mimpi, dan aku lebih memilih untuk tidak gegabah sebelum benar-benar mencarinya.

Sampai kapan pun aku masih mengingat hal itu, Rena. Setidaknya hingga saat ini, entah seberapa jauh jarak memisahkan kita. Aku begitu ingin mendapatkan kesempatan menjawab pertanyaanmu itu jika memang sudah waktunya, meskipun sama sekali tak kuketahui bagaimana kenyataan mengantarkannya kelak. Kupikir memang harus kurawat harapan itu sepenuh jiwa, agar tersedia alasan bagiku untuk melabuhkan kisah ini pada saatnya nanti. Untuk itu, kau tak usah terburu-buru menyimpulkan perihal senjakala hubungan kita. Atau kau terlalu cepat menimbang sejauh mana kesanggupan masing-masing dari kita menjaga ikatan rasa yang pernah terpautkan.

Semoga kau pun masih ingat, saat kita terakhir kali berpadu mimpi di Mahameru, dalam sebuah pendakian yang menjadi puncak kita berikrar atas segala hal yang pernah dan akan kita jalani bersama. Meskipun kenyataan setelahnya, kita berpisah sebelum aku sempat mengantarmu sampai ke pintu rumah. Sementara aku hanya sanggup mengingat perpisahan itu ketika jiwaku seperti terisap ke masa lalu.

***

Aku mulai petualangan muskil ini di tebing jurang yang berbatasan dengan pantai, di sela-sela belukar yang terlihat seolah belum pernah terjamah manusia, menjadi ujung rimba yang tak kukenali sebelumnya. Terdengar deburan ombak menghantam karang disertai lengkingan burung laut, saat kesadaranku terombang-ambing menyusuri lorong panjang, menembus remang lapisan-lapisan waktu yang membingungkan. Setitik cahaya kian lama terlihat semakin dekat, menyusul kujumpai keberadaan tubuhku penuh luka dan rasa sakit yang begitu menyiksa. Lambaian nyiur di kejauhan memanggil kesadaranku atas embusan angin garam, sampai datanglah seorang nelayan tua yang mengobati luka dan merawatku.

“Maaf, kalau boleh tahu, Paman ini siapa dan di mana saya sekarang?” tanyaku setelah beberapa waktu.

Lelaki berperawakan kurus dengan hampir seluruh rambut telah memutih itu mengenalkan dirinya sebagai Dahyang Pethak, petualang bahar yang mengaku ditugaskan menjemputku. Sembari terbaring lemah di sampan, kupandangi sosoknya bagai seorang petapa, berselendang kain lapuk dengan gelungan rambut sebesar buah maja muda sebagai mahkotanya. Seketika ingatanku melesat pada saat kita pernah sengaja meluangkan waktu bersama, belajar memungut keheningan dalam satu meditasi mendalam di satu-satunya candi purba pada lereng barat Gunung Lawu. Kecintaanmu pada arkeologi membuatmu banyak bercerita setelahnya, selazimnya tak kau sediakan kesempatan buatku menyela. Mulutmu nyaris tak berhenti mendedah perihal kearifan leluhur dan pelbagai macam cara mereka mengirimkan pesan kepada kita.

Andai kau tahu, Rena. Aku seperti sedang berhadapan denganmu saat ragaku telah pulih dan dapat duduk tegak bersila, ketika lelaki yang kuduga petapa itu bercerita banyak hal tentang kehancuran Lamajang. Dia menyebut sebuah negeri di ujung timur Jawadwipa, meliputi tiga penjuru: Patukangan, Balumbang, dan Sadeng. Dari mulutnya pula kuketahui, ayahanda telah binasa di tangan Narapati, mengembalikan ingatanku perihal pralaya yang menjadi sebab keberadaanku di tempat itu.

Sampan kayu melata di permukaan samudera, terdayung jauh menuju peraduan senja, melaju ke sebuah negeri yang konon—kudapatkan ceritanya dari lelaki itu—menjadi bandar pelabuhan kapal para pedagang dari penjuru dunia. Sepanjang menyusuri Selat Madura, mulai dari Pakembangan, Pamuwatan, hingga mendekati persinggahan pertama kami di Lasem, ia mendedahkan titah zaman. Aku dapatkan pula keterangan darinya perihal akan datangnya seorang maharani terakhir, memimpin Majapahit dengan gemilang sebelum sendi-sendi kebesarannya hancur lantas hilang ditelan Sang Kala. Dari kebijaksanaan raja perempuan itu pula—ia katakan, kelak akan lekas terbalas kematian ayahanda.

Pandanganku seketika beradu dengan gugusan Pohon Santigi di sepanjang Pantai Lasem yang semakin terlihat jelas. Tanganku bergegas meraba sesuatu yang selama ini terkalung di leher, pernah kau berikan beberapa hari selepas pemakaman ayahmu. Ada kenyataan yang pergi, meskipun masih lekat di ingatanku saat kau berkata sambil terisak, “Aku tak ingin kehilangan, Mas.”

Kusadari, bukan perkara mudah menerima kenyataan menjadi diri yang berbeda di masa yang berjarak enamratusan tahun ke belakang. Aku seperti dipaksa mengulang kelahiran untuk menebus tumpukan karma nenek moyang. Kerisauan tentang hal ini sempat membuatku bersitegang dengan Dahyang Pethak.

“Dan kenapa harus saya, Paman?” ungkapku pada suatu malam, mempersoalkan nasib sembari nanar mata memandang gugusan bintang.

“Karena mimpi ibarat benih, Raden,” balasnya singkat.

“Maksud, Paman?” tanyaku keheranan, coba mencari tahu dari gurat-lipatan usia di wajahnya.

“Raden. Pada dasarnya mimpi itulah hasil pengalaman kita hari ini, yang mempertegas janji untuk keberlangsungan hidup kita kelak di kemudian hari. Dari rahim mimpi, kebaikan-kebaikan terlahir tanpa kita perlu memikirkan alasan terkait jatah ataupun nasib,” tandasnya.

Mendengar penjelasan terakhir lelaki yang sudah aku anggap guru itu, tiba-tiba perutku terasa mual. Selain karena gempuran ombak laut pasang, ingatanku padamu semakin kuat menerjang, tepat saat kusadari bulat purnama serupa mahkota emas di kepalanya. Kesadaranku melayang ke satu perjalanan kita menjelajahi situs-situs purbakala. Pada temaram lampu gerbong kereta malam, sembari menyaksikan pijar lampu berlarian, kita sempat menyusun sekian banyak rencana. Salah satu yang membuat kepalaku jangar, janji meminangmu selepas kuselesaikan satu terjemahan manuskrip kuno yang mengungkap lebih gamblang perihal Kerajaan Majapahit Timur.

Tubuhku terasa kembali berkawan ketika tiupan angin dari tenggara pada waktu berikutnya mendorong perjalanan kami menyusuri Laut Jawa, membelah Selat Muria, melalui Paguhan, lalu melintasi Galuh-Sunda. Hingga di purnama berikutnya, tak lama lagi kami mendarat di Swarnabhumi. Alunan ombak menghanyutkan sampan kami ke tepi dermaga Palembang kala itu.

Setelah kulihat berbincang sebentar dengan Dahyang Pethak, seorang prajurit mengantarku menemui Sang Datu Putri, mengingatkanku pada sebuah nama yang kau sebut di awal perkenalan kita: Renamurti Dewayani. Terjawabnya mimpi bersatu kembali denganmu tiba-tiba terasa buncah, bagai anugerah perjumpaan tak terduga setelah lawatan panjang perpisahan. Sedangkan luput kesaksamaanku, kepergian Dahyang Pethak justru lepas dari perhatian.

Kedatanganku di Swarnabhumi disambut baik, bahkan terkesan berlebihan, hingga tak bisa kutolak ketika dipersaudarakan dengan panglima kerajaan. Pada masa-masa yang sukarela kujalani sebagai pengabdian, keberhasilanku menumpas amukan Ksatria Cola berbuah kemuliaan di Tanah Emas, negeri kaya-raya yang diperebutkan itu. Segunung keberuntungan seolah tumpah, dan salah satu butirannya tersemat di dadaku, pemilik tahta berdarah Jawa.

Namun di balik itu semua, sesungguhnya bertubi-tubi kurasakan sesuatu runtuh. Datu Putri bukanlah Rena, dan kemuliaan di Tanah Emas bukanlah kenyataan yang menjadi jawaban atas mimpi-mimpi kita. Aku semakin terpuruk merindukanmu saat di pelarian, meski telah berhasil kukobarkan pasukan demi menghadang serangan Siam dan Majapahit di Temasik, lalu bersama orang-orang laut bersatu-padu membangun kebesaran Malaka. Jika saja kau tahu, semua itu kulakukan demi membakar langit kerinduan, berharap kau—di kejauhan waktu, dari mana pun tempatmu—dapat melihat mimpi itu masih menyala di cakrawala senja. Sampai di titik itu kusadari, tak ada alasan selain kau, Rena. Meski hati kecilku tak ingin, kau turut mengetahui apa yang terjadi sesungguhnya pada bagian ini. Karena begitu banyak pembantaian, begitu pun darah mengalir bagaikan sungai yang menadahi ruap perayaan kekejian. Teramat banyak pula tombak, anak panah, dan pedang, yang memenggal ribuan mimpi antar kekasih, yang menebas jutaan harapan orangtua terhadap anak-anaknya.

Aku justru lebih punya harapan ketika pada akhirnya kuputuskan menepi di Bukit Siguntang, menemui sosok Dapunta Hyang, jiwa abadi datuk moyang para raja Swarnabhumi. Jiwaku membumbung tinggi di keheningan, menahbiskan kesadaran paripurna. Hamparan Awar-Awar perdu dan pepohonan Tembesu yang sedang berbunga penuh, membersihkan kekeruhan harapanku bersanding denganmu. Kucuran nasihat darinya mengucur deras bagai sungai yang mengalir dari jantung Ranu Kumbolo. Jiwaku serasa terbasuh, kucuran air suci selaksa membasahi ingatanku tentangmu kala itu.

“Indah sekali ya, Mas?” katamu lirih di tepi danau.

“Tak lebih indah dari telaga di matamu, Rena,” sembari kubayangkan beningnya tatapan yang kerap menelanjangi kelancunganku.

Jika kelak aku betul-betul tak kembali, saat ini aku utuh, berserah diri di tengah kesadaran akan perjalanan darma yang mungkin belum tuntas sepenuhnya. Sekalipun, tak sanggup aku memupus harapan untuk dapat menemanimu sepanjang ruang dan waktu. Telah kukatakan dalam lirih gumamku di bukit ini, “tak pernah sedikitpun aku melupakanmu, Rena.” Agar kau tahu pada saatnya nanti, cinta kita terukir abadi pada setiap prasasti.***

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami