Mariati

Sketsa Ultra Pelangi

MARIATI

Aku melirik malu-malu pada gadis yang duduk di beranda diam tanpa ekspresi, matanya cekung dan mendung. Aku mondar-mandir sedari tadi pun dia tidak bergeming. Bocah-bocah kecil berjumlah lima anak mengekor di belakangku tanpa alas kaki, mengikuti gelagatku yang mondar-mandir bodoh di depan gadis itu, dia tidak terganggu sedikitpun dengan tingkah kami yang mencurigakan. Bahkan lalat yang bolak-balik hinggap di lubang hidungnya pun tidak digubrisnya, seolah gadis itu adalah manekin. Matanya masih menatap kosong udara di hadapannya. Melihatnya yang hidup tapi tidak hidup itu makin meremukkan hatiku sejadi-jadinya. Aku laki-laki yang tidak berguna.

Jangan sebut dirimu laki-laki kalau kau tidak bisa melindungi perempuan yang kau cinta. Maka dari itu aku sangat malu sebagai laki-laki, karena tidak bisa melindungi senyum Mariati. Saking malunya aku hanya bisa mondar-mandir di pekarangan rumahnya dan tidak mampu memberi penghiburan pada wajahnya yang telah lama kehilangan senyum. Kepalaku menggila memikirkan Mariati dan ketidakmampuanku.

***

Namaku Kahar, tidak begitu penting siapa namaku, yang penting adalah aku sudah berjanji untuk meminang Mariati. Senyum Mariati terkulum saat mendengar aku bilang cinta dan akan meminangnya. Aku mengumumkan itu pada angin, lalu kabar itu menyebar ke penjuru kampung, membuat bocah-bocah tersenyum geli, dan merontokkan hati pemuda-pemuda kampung.

Banyak pemuda kampung yang tergila-gila dengan Mariati, gadis miskin lulusan SD nan cantik di kampung ini. Dia buah bibir di kalangan jejaka, tapi Mariati terlanjur jatuh hati pada pemuda yang juga miskin lagi tak berdaya sepertiku. Dan aku yang telah lama mabuk kepayang padanya enggan untuk melepas cinta itu, jadilah pemuda-pemuda kampung yang lebih mapan menaruh iri padaku.

Kami berdua akan merantau bersama-sama mengumpulkan tabungan untuk pernikahan kami. Sudah kusuruh Mariati untuk tak usah repot merantau, cukup menungguku saja di kampung, namun keras kepalanya tiada tanding, dan aku tak tega melihat cemberut merusak wajah cantiknya.

“Dua tahun,cukup?”

Mariati mengangguk.

Kami berdua akan saling bersurat.

***

Kami berdua sepakat untuk saling berahasia tentang tempat merantau kami hingga surat pertama saling berkirim. Minggu-minggu pertama surat lancar berbalas, tahulah kami satu sama lain tempat merantau itu. Tak kusangka gadisku itu merantau keluar negeri, sedangkan aku di Ibu kota saja. Alangkah beraninya dia. Tapi tak berani aku memarahi, hak apa aku merusak mimpinya untuk membahagiakan orang tua dan adiknya di kampung.

Bulan-bulan pertama surat memang lancar. Dia bercerita betapa mengagumkannya negeri baru tempatnya dia bekerja, beda nian dengan buadaya di kampung aku pun berkisah tentang gedung-gedung ibu kota yang menjulang, dimana aku di pekerjakan sebagai buruh bangunan, pekerjaan yang bisa di dapati tanpa ijazah. Namun lama-lama sura-surat Mariati berkurang, surat-suratku mulai tak berbalas, apakah bapak Pos menyesatkan sura-suratku? Namun tak lelah aku terus menulis. Mariati perempuan setia. Mungkinlah dia sedang sibuk dengan pekerjaannya. Karena suratnya beberapa bulan yang lalu bercerita betapa pekerjaannya membuatnya lelah seharian. Kasihan aku membacanya, kukatakan padanya untuk berhenti saja dan mencari yang baru.

“Cari pekerjaan baru tak gampang abang…”

“Kalau begitu pulanglah ke kampung bekerja saja di sana berjualan, nanti ku beri modal”

“Tak enak aku sama abang, orang tua ati masih butuh biaya. Ati masih bisa tahan, lagipula kontrak kerjanya cuma setahun. Maaf ya abang”

Kalau sudah begitu aku tak bisa memaksa.

Namun itu surat Mariati yang terakhir. Minggu berganti, bulan ganti bulan, lalu lewatlah dua tahun. Mariati hilang kabar dariku.

Aku pulang ke kampung membawa tabungan niat meminang Mariati. Tapi tak ada Mariati disana. Kutanyai, orang-orang kampung tak tahu menahu dan tak mau tahu.

Aku tanyakan ke orang tuanya perihal kabar perempuan yang paling aku rindui itu, bahkan keluarganya yang renta pun tak faham kabar.

Berbulan-bulan aku frustasi. Pemuda-pemuda yang pernah menjadi saingan cinta tampak senang, “Kau carilah perempuan lain Kahar, perempuan kan tidak hanya Mariati saja”

Begitu sara mereka tiap kali melihatku yang tampak kusut mencari kabar Mariati.

Aku cari kabar Mariati ke kantor tempat dia mendaftar kerja, katanya Mariati baik-baik saja. Tapi mengapa sulit dihubungi? Marahkah dia padaku? Atau lupakah dia padaku? Adakah orang lain yang menjerat hatinya? Kenapa pula keluarganya tak faham kabar? Berkomplotkah mereka agar menjauhkan Mariati dariku? Lalu kenapa? Dan untuk apa? Bahkan langit pun tak mau memberi tahu? Ada apa ini?

Aaaarrghhh mau gila aku dibuatnya. Maka benarlah bahasa bahwa cinta itu gila.

Bahkan dalam mimpiku pun aku mencari-cari Mariati, tapi hasilnya kosong. Mariati tak muncul dimana-mana. Dan berhari-hari aku seperti orang hilang akal. Tak mau makan, enggan minum, gemar berkhayal, tertawa di depan kandang ayam, menangis di atas batu kali, tak mau mandi, enggan bertemu orang, menyendiri. Aku kacau. Kacau berbulan-bulan. Orang-orang iba. Orang tuaku hanya bisa kasihan, tak bisa apa-apa. agar mereka tak pusing, mereka menyibukkan diri di ladang, merawat bawang, memberi makan ayam-ayam.

Kadang-kadang bocah-bocah tetangga yang sedang bosan mencari kesenangan dengan menggodaiku dengan berteriak-teriak di depan rumahku.

“Mariati datang!  Mariati datang!”

Dan aku seperti idiot melompat keluar rumah berlari keliling kampung mencari sosok Mariati

“Mana? Mana?”

 Sambil terkekeh-kekeh puaslah hati bocah-bocah jahil itu.

Dan berikutnya aku bertekad tidak akan termakan tipuan kampungan itu lagi.

***

Suatu hari aku bertekad untuk membenahi diri, tak ada gunanya aku melemparkan diri pada kemurungan. Saatnya aku menyimpan kenangan Mariati sesaat.

Alangkah bahagianya orang tuaku begitu mendapati diriku tampak normal di suatu  hari, aku mandi, aku makan, aku minum, aku berhenti melamun, tidak tertawa di depan ayam dan tidak menangis di atas batu kali. Aku keluar rumah mengambil cangkul dan pergi ke ladang membantu orang tuaku. Dan bocah-bocah tetangga kecewa dengan kenormalanku.

Hari itu siang sangat terik, seorang perempuan muda melintas di tepi jalan yang berseberangan dengan ladang dimana aku sedang mencungkil rumput. Perempuan itu seperti aku kenal, badannya ramping dengan rambut panjang hitam sebahu, mirip seseorang yang aku kenali. Mariati kah? Siang-siang begini apa aku berkhayal? padahal bahkan dalam mimpi dan khayalanku pun Mariati enggan muncul, lalu ini apa? Nyata kah? Didorong oleh pikiran pendek aku mengejar sosok itu, sambil meneriakkan namanya.

“Ati… Mariati….!”

Begitu dalam jangkauanku, aku raih lengan perempuan itu.

Aku dapatkan kau!

Dan benarlah, aku cuma berkhayal. Bagaimana bisa ayahku tampak seperti Mariati di tengah siang?

Ayahku mendapatiku sedang meraih lengannya sambil menyebut nama Mariati saat beliau hendak menyebarang jalan menuju ladang.

“Kahar, sadar kau nak!” Seru ayahku.

Dan aku pun disuruh beristirahat di rumah saja. Tak perlu ke ladang. Malah aku di suruh kembali merantau dan bekerja di kota. Tapi aku memilih berdiam di rumah menjadi bujang tak berguna, memandang kosong pada televisi kabur yang bergerak-gerak tak jelas, sesekali suara presiden terdengar putus asa di telingaku, dan suara penyanyi di televisi tidak lebih baik dari suara ayam jantan di belakang rumah. Untuk mengisi lowongnya waktu, kembali aku tulis surat-surat cinta dan aku kirim satu-satu pada Mariati. Aku katakan padanya bahwa aku sangat merindukannya, maka pulanglah.

Tapi lewat sudah tahun-tahun dan Mariati tak kunjung kembali ke kampung. Orang tuanya baru mulai gusar.

Dan aku belum berhenti menulis surat.

***

Saat sedang memberi makan ayam-ayam, seorang bocah tetangga yang biasanya menggodaiku  menghampiriku sambil berteriak-teriak.

”Mariati…Mariati datang!”

Kali ini aku tidak akan tertipu,”kau pikir aku percaya?”

”Betul…betul Mariati datang, tak bohong aku!” kata si bocah beergigi hitam-hitam dengan muka serius.

”sungguh?”

Bocah itu mengangguk kuat.

”Dimana?” jantungku berdegup cepat. Benarkah perempuan yang paling aku rindui itu kembali?

”Di jalan sedang menuju rumahnya”

Seperti disetrum listrik, Aku berteriak girang ”Mariati?!” Segera aku rapikan penampilanku dan secepat  kilat  menghambur pontang-panting keluar rumah.

Di ujung jalan tampak iring-iringan orang kampung dan beberapa buah mobil.

Aku hampir saja menangis haru tapi ku tahan agar tidak dicemooh bocah-bocah, rasanya tak percaya ”Sumati pulang… kekasihku pulang”

Iring-iringan berhenti di rumah Mariati.

Sesosok perempuan kurus dipanggul keluar dari mobil, lalu dibawa kerumah orang tuanya. Perempuan kurus itu berambut cepak berantakan, tidak seperti Mariati yang aku kenal berambut hitam lurus sebahu, kenapa aku tak menenalinya? Benarkah dia Mariati?

Perempuan itu diam dan berpandangan kosong dengan matanya yang cekung. Dia terus menunduk, rahang tampak kisut. Bibirnya penuh jahitan, kaki dan tangannya lumpuh bengkok. Sangat menyedihkan.

Mariati adalah tenaga kerja asal Indonesia yang pernah diberitakan di televisi nasional. Menjadi korban tindak kekerasan tidak manusiawi orang-orang di negeri seberang lantaran dianggap budak. Dipekerjakan tidak manusiawi, tanpa kasihan, tanpa gaji, disiksa, disetrika dadanya, diperkosa, dan digunting bibirnya hingga sumbing. Mereka merusak Mariatiku yang riang dan cantik.

Mariati menatap kosong sekitarnya. Ketika orang tuanya merengkuhnya, dia tidak bereaksi. Tatapannya kosong tanpa jiwa. Bahkan ketika aku mendekat menghampiri dan memastikan, dia tak mengenaliku. Sungguhkah ini Mariati? Dia masih menyisakan sedikit ciri-ciri Mariati yang aku kenali. Namun rasanya masih tidak nyata.

Dadaku bergetar, Aku menangis meraung hancur.

“Mana Mariati?!”

Aku menghambur dan berteriak pada bocah-bocah yang sedang berkerumun

“Kalian tipu aku lagi!”

***

Scroll to Top
× Hubungi kami