Oleh: Fakta P. B
Mendung masih tanpa ampun menggulung hamparan cakrawala, membuat petang hari itu tampak keruh menggelisahkan lebih dari biasanya. Gulir hujan mungkin tinggal menghitung menit. Membasahi tanah kampung yang masih saja belum sepenuhnya tersentuh manis janji walikota. Namun, cuaca kala itu tidak berlaku bagi sepasang perempuan di sebuah rumah bercat hijau lumut, dua ratus meter dari gapura dusun yang terpancang di pertigaan jalan besar. Seonggok tubuh penuh keriput berkelojotan serupa belut di atas ranjang jati. Melepuh kehitaman, kering seperti sabut kelapa yang terbakar, bahkan di beberapa bagian berkubang nanah. Penuh bekas garukan dan lengket akibat salep pereda nyeri.
“Mbakyu, Kiai Usmar sudah datang belum? Kok lama sekali? Saya sudah ndak tahan, gatal dan perih semua badan.”
Perempuan yang lima menit lalu baru berhenti berkelojotan, kini memandang lemah ke ambang pintu, seraya sibuk menggaruk leher dan lengannya. Di seberang kamar terdapat perempuan lain tertegun di atas kursi sofa ruang tamu yang jauh lebih besar. Sesekali melirik cemas antara layar ponsel dengan pekarangan rumah. Perempuan yang tergolek lemah dalam kamar dengan yang berada di ruang tamu berwajah hampir mirip; hanya berbeda letak tahi lalat, gaya rambut, bentuk mata, dan bobot tubuh. Si pesakitan bernama Narsih, dan yang cemas di ruang tamu ialah Marti, kakak Narsih satu-satunya. Dua tahun Marti menggumuli kepekatan karena penyakit Narsih masih belum kunjung sembuh.
“Katanya, setengah jam lagi bakalan sampai sini, Sih. Maklum beliau habis ngisi dakwah di Lamongan dan Karawang, jadwalnya padat, makanya ndak bisa tepat waktu. Wong kita saja sudah bikin janji tiga hari yang lalu masih harus antre. Sing sabar, yo, Sih. Kita mesti banyak berdoa,” balas Marti menyabarkan.
“Sampai kapan kita harus berdoa, Mbak? Sampai saya mati, hah? Saya sudah ndak bisa ke mana-mana, mau ngapa-ngapain juga susah. Penyakit ini bikin aku jadi lumpuh. Berengsek!”
“Astaghfirullah, nyebut, Sih… Jangan omong ngawur.”
“Tapi memang benar, kan, Mbak, kalau saya ini terkena kutukan dari perempuan tua edan itu? Mas Bas lebih memilih minggat sama istri mudanya yang ganjen dan serakah. Anakku, si Cahyo, selalu sibuk di Singapura. Ndak pernah niat buat nengok atau bawa aku ke rumah sakit di sana. Semuanya kacau gara-gara ulah penyembah babi itu, Mbak!”
“Jaga mulutmu, Narsih!” sekonyong-konyong Marti memekik nyaring, menatap nyalang, kemudian kembali melunak. “Aku ndak mau sakitmu tambah berat. Sudah, istirahatlah. Nanti kalau Pak Kiai datang, langsung kubangunkan.”
Setelah berhasil ditenangkan, Narsih kembali memejam. Sambil menahan napas, Marti melangkah gontai ke dalam kamar. Mengoleskan salep pada bagian-bagian kulit yang sudah digaruk, mengusapi bercak darah, menaruh handuk kecil basah ke dahi, lalu menutupi setengah badan adiknya dengan jarik batik khas Semarang—ibukota yang menaungi dusun Pring Ombo. Perempuan yang terpaut lima tahun dengan Narsih itu sudah terbiasa tabah menghadapi nestapa di depan matanya. Tujuh tahun lalu, sang ibunda yang terbujur kaku terserang stroke tak luput diurusinya. Sebelum mual benar-benar membuncah, Marti segera menutup pintu dan kembali terpekur di ruang tamu. Bosan menunggu sebuah pesan mampir ke layar ponsel. Masih belum ada tanda-tanda tamu yang diharapkan menjejaki tanah pekarangan, hati kecilnya kembali dilemparkan sepi. Menghubungkan derita Narsih dengan peristiwa mengenaskan tiga tahun belakangan.
Mbok Sar. Nama itu. Raut senja itu. Air mata dan jerit kala itu. Seluruhnya mengantarkan ngilu dan pedih di relung dada. Marti terpaksa kembali menelan kenangan penuh jilatan petaka. Menyeret adiknya yang berperan sebagai perampas hidup.
***
Namanya Saridjah. Kebanyakan masyarakat dusun Pring Ombo memanggilnya Mbok Sar. 52 tahun lalu, perempuan tambun dan semakin bungkuk terserang rematik itu pernah menjadi kembang desa. Melakoni hidup di jalur seni dalam rentang masa cukup lama; menjadi ledhek selama 12 tahun dan penari Serimpi sampai tiga tahun. Setelah bapaknya mangkat akibat kecelakaan tunggal, Mbok Sar menanggalkan jagat impian sepenuhnya sebagai seniman tradisional. Ia kemudian banting setir menjadi penjaja jamu keliling 1,5 tahun lamanya. Tidak tahan menerima jawil genit, pandang nafsu, bahkan tak jarang tawaran meranjang dilayangkan tanpa segan, dicampakkanlah profesi itu, lalu mengadu nasib ke Jakarta sebagai karyawati di pabrik biskuit. Mbok Sar baru kembali saat usianya menginjak 68 tahun, mengabdikan diri sebagai peladang tebu milik Haji Martaji—orang terkaya kedua sedusun. Ia beranggapan tak ingin menyerah begitu saja, berleha-leha di rumah mereguk ketuaan tanpa aktivitas berarti. Baginya, selama daya hidup masih menyala, gerak tubuh sanggup diandalkan, pikiran terang-benderang, dan kedamaian dusun menyertainya, ia ingin senantiasa menjadi manusia berguna.
Suatu waktu, seorang lelaki asli Batak menyita perhatian seisi dusun. Pasalnya, lelaki bernama Ruli Hasibuan tersebut memboyong diri dari Jakarta di atas sedan keluaran terbaru. Belum lagi berderet enam mobil kargo di belakangnya membawa serta barang-barang rumah tangga berkilauan, terlihat begitu mahal nan eksklusif, menerbitkan tanya heran para warga. Ruli sengaja pindah ke sana setelah istrinya wafat, lalu ditipu mentah-mentah sepupu sendiri usai melenyapkan aset apartemen. Untung saja, 60 persen harta berhasil diselamatkan dan langsung dibekukan. Ruli kemudian membeli sepetak tanah seluas tiga hektar sebagai kediaman barunya, dan rumah Mbok Sar mau tak mau ikut digusur. Ruli merasa tak enak hati saat Mbok Sar memuntahkan ketidakrelaannya. Biaya penggantian penggusuran dibayar kontan, diperbolehkan pula perempuan tua itu mengurusi lima kambing piaraan Ruli yang belum lama dibelinya. Ladang tebu ditinggalkan begitu saja, membuat Haji Martaji memendam kesal. Mbok Sar lantas memilih bermukim di sebuah kontrakan reyot, beberapa ratus meter dari lahan kosong berumput yang sering dijadikan lapangan bola.
Ketika usia Mbok Sar telah mencapai angka 73, di suatu petang, seekor babi buduk tertatih menghampirinya. Datang menembusi semak ilalang. Kaki kirinya pincang, mata kirinya buta, sekeliling bokong terluka, dan lidahnya terjulur kehausan. Babi itu sekonyong-konyong mendekati Mbok Sar yang sedang nembang dekat kandang sambil menunggui kambing-kambing Pak Ruli asyik merumput. Luka di kaki dan bokong diatasinya menggunakan cara tradisional, seperti mengobati hewan pada umumnya, meski kebutaan tetap tak bisa sembuh. Babi itu pun segera saja menjadi akrab dan bersikap hangat, imbas dari perlakuan Mbok Sar tanpa memikirkan bahwa hewan tersebut mengandung najis.
“Mau babi atau kambing, sama-sama ciptaan Yang Maha Esa. Tidak perlulah kita membedakan antara halal atau haram, soal najis atau suci, sehat atau penyakitan. Toh, banyak manusia yang lebih berengsek, kotor, dan hina dibandingkan babi itu,” ujarnya datar seraya tersenyum tipis. Jeng As, seorang tetangga yang kerap berdandan menor, tetiba menyurutkan langkah, terperanjat memandangi Mbok Sar sedang mengusap kepala babi.
Jeng As bergidik jijik. Hendak protes, tetapi mulutnya kembali mengatup. Ia segera meninggalkan pemandangan ganjil itu, melangkah tergesa pada satu tujuan.
“Bayangkan, Jeng! Saya lihat semuanya dengan mata kepala sendiri. Berani sumpah. Sepertinya wanita tua itu mulai ndak waras gara-gara orang kota. Kita, kan, tahu binatang menjijikkan seperti itu tidak sepantasnya dipiara oleh orang macam kita, yang memang terbukti sahih termasuk penuh najis. Lha, kok, malah dielus-elus seperti bayi.”
“Wah, kamu ketinggalan info terbaru tho, Jeng As,” salah seorang perempuan berkonde, Jeng Yul, riuh menimpali. “Sebelum sampeyan, sayalah saksi pertama yang sadar ada keanehan di tempat itu. Memang Mbok Sar sudah benar-benar sinting, Jeng. Nggilani! Sudah korslet otaknya! Jeng As dan Jeng Sih perlu tahu satu fakta. Minggu sebelumnya, pas saya mergoki dari seberang jalan, babi itu lagi digendongnya! Diciumi! Setelah kambing-kambing selesai merumput lalu dikembalikan ke kandang, babi itu dibopong lagi. Malahan, nih, ya, tetangga sebelahku, Mas Prayitno juga pernah dibuat kaget pas babi itu lagi dimandikan di pinggiran sendang ndak jauh dari kebun tebunya Pak Haji. Edan, kan?”
Narsih, istri carik yang rumahnya sering dijadikan titik utama arisan bulanan, perkumpulan bakti sosial, sampai sarang gibah, semakin panas menyambung cerita. Ia pula mengaku dibuat keheranan oleh tingkah Mbok Sar. “Saya juga! Kami pernah papasan di pasar pagi, dia membeli beberapa potong ikan asin sama paha ayam. Saya kira itu buat lauk makan siangnya, eh… ndak tahunya malah dikasihkan ke babi.”
“Astaghfirullah.” Kedua rekan Narsih—yang juga teman SMA sekaligus rekan arisan—berbarengan mengelus dada. Tidak habis pikir, primadona masa lalu malah bertindak sesat di masa senjanya.
Narsih mengisyaratkan kedua rekannya lebih mendekat, kemudian berbisik, “Saya punya ide. Sebelum tindakan orang itu semakin parah, membuat nama baik dan kehormatan dusun kita tercemar, dan tidak memengaruhi pola pikir generasi muda, seperti anak-anak kita, untuk melakukan dosa sepertinya. Bagaimana kalau penyembah babi itu diusir? Kita pastikan dia benar-benar pergi jauh. Dia sudah ndak pantas berada di sini.”
“Terus, babinya bagaimana?”
“Tenang, itu saya yang ngatur. Kalian terus sebarkan lebih luas informasi dari yang sudah kita lihat. Yakinkan mereka untuk menumpas kebatilan, membuang hal-hal laknat, agar kedamaian bisa kita rasakan lagi.” Ketiga perempuan itu kemudian mengangguk bersamaan. Saling berjabat erat, terbahak penuh kepuasan.
Lusanya, hampir seluruh penghuni dusun berbaris merangsek mengepung kontrakan Mbok Sar. Segelintir lintang-pukang ke arah kandang kambing guna meringkus babi. Suasana sekonyong-konyong membuncah sepanas bara. Ricuh. Warga lintas usia saling berdesakan, berebut menyeret paksa Mbok Sar keluar rumah. Barang-barang pribadinya dirusak. Haji Martaji, yang berhasil dikompori, bahkan sekuat tenaga menjambaki rambut Mbok Sar, mengarak sampai ke tengah kebun tempatnya mengurusi kambing. Narsih memimpin langkah terdepan sambil sesekali menampari pipi peyot Mbok Sar atau menarik-narik kebayanya. Jeng As dan Jeng Yul masing-masing menggenggam kerikil untuk dilemparkan ke arah punggung Mbok Sar, puas mengumpat. Mbok Sar kemudian membeliak kaget saat menyaksikan babi yang diurusinya mulai melepuh kemerahan, sebentar lagi gosong. Tergolek tanpa daya tak jauh dari kandang kambing. Darah bermuncratan, isi perutnya memburai tertoreh senjata tajam.
“Usir penyembah babi! Buang orang musyrik dan laknat dari dusun kita! Tumpas kebatilan!” Sorak sorai berkelindan. Semakin ribut seperti denging ribuan tawon raksasa. Mbok Sar tetiba bersimpuh, mencoba memadamkan nyala api dengan kedua tangan sembari meraung dan memelas. Usahanya sia-sia, justru membuat Mbok Sar menjerit kepanasan. Saat itulah, Mbok Sar mendelik nyalang ke arah kerumunan.
“Saya tidak habis pikir dengan ulah dan pikiran kalian. Hanya karena ngangon babi, binatang yang kalian anggap najis, kotor, dan nista, kalian sanggup melakukan perbuatan bodoh. Melenyapkan salah satu ciptaan Tuhan seenaknya, berlindung dari balik dalil-dalil ayat suci. Berengsek! Justru orang-orang macam kalianlah yang jauh lebih nista dibandingkan binatang. Tunggu saja, hukum alam bisa sekejap berbalik menyerang ketenteraman kalian. Ingat itu baik-baik!”
Narsih memekik geram, “Lenyapkan penyembah babi ini! Bakar!”
Tiga orang melemparkan obor, salah satunya merembet menghanguskan ujung kebaya Mbok Sar. Meronta. Mengaduh. Menjerit. Berkelojotan. Sebelum akhirnya ambruk ke tanah, tak bergerak. Menyisakan tulang belulang hangus nan anyir. Tiga tahun setelah malam jahanam, satu per satu penduduk dusun yang ikut menyiksa, menggelungi nasib melawan penyakit misterius. Mati mengenaskan setelah berbulan-bulan diserang gatal seluruh badan, demam tinggi, muntah darah, melepuh seperti terbakar, menggelepar. Sekarat seperti binatang jagal.[]