Oleh: Muhammad Iqbal Khoironnahya
“Di musim ini, peta-peta kematian telah berserakan dan tak lagi menjadi barang tabu untuk ditaksir seberapa banyak duka yang mesti diselami untuk menyalakan sebuah jalan pulang.”
I.
Di ujung jalan, kau masih menanti seseorang untuk bertandang
memangkas nyeri di kepalamu dan menyusun senyum di pipimu
namun, di seberang sana
yang tersisa hanyalah orang-orang dengan tubuh lapang
dengan garis nasib di tangan yang masih kemarau
mencoba menggugurkan riuh duka, luka-luka, dan beberapa nasib klise yang membikin haru.
Mencipta luas sunyi dalam dirimu yang mencoba melihat peta-peta kematian
di gerai-gerai toko, kau saksikan lelaki muda kehilangan modal
sedang istrinya sudah hamil tujuh bulan
sementara di sudut perempatan, seniman-seniman jalan bersenandung tanpa jeda
seperti mengeja tanda; perut-perutnya telah dikerat rasa lapar yang dahsyat
namun, ia tak mendapat apa pun selain lalu lalang ambulans
menyesaki jantung kota dengan sirene-sirene
: bahwasanya kelak kan ada seseorang yang berkalang tanah menatang remah penyesalan.
II.
Maka, sejak itulah kau melihat peta kematian
yang perlahan menjalar membawa semak cemas.
Satu per satu matamu memerah,
telingamu dijejaki rintihan resah,
dan bibirmu berserakan; merapal gundah
lantaran kini kebimbangan dan mata nasib telah melekat di udara
sedang kematian-kematian lekas meranggas pun limbung ke dalam liang tanah
yang subur gembur disirami doa-doa
hingga semesta tak pernah usai menyimpan kesedihan di setiap ingatan
perihal maut yang memecah mata
epidemi yang giat meminjam gerimis
hingga dingin kembali mencatatkan hampa
pada gigil mimpi yang berenang ke dalam lubuk kata
: kau tenggelam dalam riuh peta-peta kematian. Sleman, 3 Juni 2022