Oleh: Ilham Nuryadi Akbar
Dari jendala kamar ayah, aku membelah rembulan berkali-kali
sekubit cahaya yang tersisa di dinding dan pangkal keningku
adalah ingatan paling ranum; paling haram
bagai kelesah yang menyala, termaktub di lorong tenggak
atas kepergian lelaki yang memberiku darah daging
menganju perempuan yang tak sama seperti ibu!
“Betapa lelaki dapat menjelma dewa palsu
yang berpura-pura ingin, menggarap tanah surga.”
/1/
Meski ibu merawat takdir di punggul pohon
dan menyiramnya dengan air mata
angin di segala mungkin, tetap memilin-memilin kemarau
menyergah daun-daun aroma amin untuk gugur dengan hasai
tergeletak, mengering, ditumpuk, dibakar, menjadi rumah abu
lalu berkelibang sebagai doa-doa gagal
bersengkela di hamparan awan.
Sementara itu, di rumah yang begitu enggan aku tiduri
percakapan menjelma kulkas dua pintu paling atas, bisu membeku
sepotong kebersamaan bagaikan ketiak ular, hal mustahil
kesedihan adalah telur di perut ikan salmon, begitu banyak
dan kabar yang ayah letak di atas bunga mawar
tak kunjung mekar.
/2/
Tatapan yang acapkali menyala tatkala sang surya mulai mengintip
untuk memancing emosi di beberapa jemuran ibu, adalah hantu-hantu
sekalipun tak pernah tampak
sebab itulah, nafas rumah ini terasa melayang.
Terkecuali diksi-diksi puisi yang melanglang penuh mampus
mengarungi dinding kamarku di antara asap sebatang lisong
menulis kehampaan; ihwal lelaki yang dianggap tulang rusuk
hanya memberi rusak.
Malam berkabung, terompet sawala berenang di telingaku
larung ke hilir dendam
menjelma memar
menjadi memori
dan semakin menggurita setelah hari-hari terkelupas.
/3/
Di usia ibu yang sudah berbilang
rindu adalah labirin dalam hari-hari
yang membuatnya tersesat
menemui hari esok.
Sedang di pantulan cermin pada wajahku yang asing
aku duduk dan menangis
memeluk ayat-ayat ketiadaan
sembari meminta kepada angin
untuk menampar telinga ayah dengan koran-koran
berisi kabar; tentang aku
yang sebelum menjadi badai
pernah ia pelihara, di punggungnya sendiri.
Bekasi, 22 Agustus 2023