Menanak Keyakinan

Oleh: Ede Tea

Kepulan asap pekat memenuhi ruangan dapur. Berulang kali Sulastri membuka tutup dandang untuk mengecek beras yang sedang ia masak. Namun, dirinya hanya mendapat rasa cemas. Entah sudah berapa kali keluh diluahkannya pada hari itu. Diambilnya dua potong kayu mahoni, lalu dimasukkan ke dalam mulut tungku. Tubuhnya seketika limbung.

Dari ruang tengah, Atika anak semata wayangnya meraung-raung. Ia merengek menahan perutnya yang terasa perih. Sulastri yang mendengarnya langsung menuju ke halaman belakang rumah. Mencabut tanaman talas yang tumbuh liar. Kemudian ia kembali ke dapur dan memasaknya di atas bara api yang menyala.

Usai itu Sulastri menyajikannya ke atas piring. Gadis kecil itu berlari untuk menyambutnya. Ia menyantap talas bakar setengah gosong itu bulat-bulat. Sulastri tersenyum ketika anaknya berserdawa, tanda gas di dalam perutnya terbuang.

Sulastri kembali ke dapur. Diendusnya bau dandang itu lambat-lambat. Aroma beras bulog yang menyeruak hanya memberinya rasa pedih.

            “Masih lama ya, Bu?”

Sulastri terkesiap. Ia segera mengusap pelipis matanya yang basah.

            “Sebentar lagi,” sahutnya dengan pelan.

Atika meninggalkan dapur sambil mengusap perutnya yang masih rata. Sulastri yang melihatnya hanya bisa menangis. Gadis kecil itu selalu berhasil menenggelamkan dirinya dalam perasaan yang sulit dimengerti.

Sudah dua tahun ini hidup Sulastri memang serba susah. Pekerjaannya sebagai buruh cuci tidak lagi seramai dulu. Padahal jika melihat kebelakang, jauh sebelum wabah tiba di kampungnya, Sulastri rajin menerima tawaran cuci baju. Dalam sehari ia mampu menggilas tiga bak besar pakaian kotor. Tangannya yang mungil sampai keriput akibat terendam cairan detergen seharian. Meskipun sering kali ia merasa jengkel karena penggilasan kayu itu menggerus tangannya sendiri. Saat-saat seperti itu Sulastri hanya bisa menangis. Ia seperti orang yang kesetanan.

Dengan perasaan jengkel Sulastri akan menyeret bak yang berisi baju-baju itu. Tidak peduli dengan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi: seperti baknya pecah atau ia jatuh tersungkur. Lalu ia melempar baju-baju itu ke halaman belakang rumahnya. Menyatu dengan gundukan sampah.

            Saat itulah Sulastri akan melihat wajah Atika serupa bayangan di atas tumpukan cucian kotornya. Ia pun memungut kembali cucian itu dan memulainya dari awal. Kejadian itu terus terjadi berulang-ulang. Seakan rasa lelah dan jengkel adalah deru napas kesehariannya. Dan wajah gadis kecil itu adalah pelebur dosa serta penghibur rasa pedihnya.

“Belajar yang rajin ya, Tika. Tuntut ilmu setinggi-tingginya. Jangan sampai tua nanti kau melarat seperti aku!”

            Sulastri selalu berpesan kepada anak semata wayangnya, bahwa penyesalan selalu datang di akhir cerita. Andai ia bisa menarik waktu ke belakang, mungkin nasibnya tidak akan seburuk saat ini.

Terbesit dalam ingatan Sulastri, bagaimana takdir telah mempertemukannya dengan Maruso, suaminya. Lelaki tamatan SMP itu pula yang membuatnya berhenti belajar sampai kelas enam sekolah dasar. Kalau memang benar itu cinta, kenapa ia begitu merasa terluka?

            Kendati begitu, Sulastri tak ingin terlalu lama menyimpan sesal. Maruso telah menjadi pelabuhan terakhirnya. Nasib telah berkata lain. Sulastri hanya bisa pasrah dengan keadaannya yang sekarang.

            “Sudah matang, Bu?”

            Suara gadis kecil itu memecah lamunan panjang Sulastri. Ia pun segera membuka tutup dandang dengan hati-hati. Kemudian Sulastri berjalan menemui gadis kecil itu. Membujuknya agar sedikit lebih bersabar.

            “Sebentar lagi, belum matang sempurna. Lebih baik kamu tidur dulu. Nanti Ibu bangunkan kalau sudah matang, ya.”

            “Baiklah, Bu!”

            Selepas itu, Sulastri buru-buru berlari menuju rumah Pak RT. Ia berharap mendapat sedikit bantuan sembako. Namun, lagi-lagi nasib baik tidak ingin memihaknya.

            “Jangankan kau, aku saja tidak dapat apa-apa dari pemerintah!” ujar Pak RT dengan suara berat dan tertahan.

            Sulastri membatu. Kepalanya mulai terasa berat dan pusing.

“Boleh saya pinjam hp, Pak? Saya ingin menelepon suami saya.” Sulastri membuka mulut setelah lama berdiam diri.

“Ini, ambillah!” ujar Pak RT seraya mengasongkan ponselnya, setelah itu pergi meninggalkan Sulastri sendiri di teras rumah.

Tangan Sulastri cekatan memencet angka yang keluar dalam ingatannya. Seketika itu di ujung pelupuk mata bulatnya menyimpan banyak genangan air mata. Tak lama terdengar suara lelaki di ujung di telepon. Mereka saling mengobrol.

“Kapan kamu pulang, Mas?” ujar Sulastri menyudahi basa-basi.

            “Aku belum bisa pulang, Lastri!” jawab Maruso kemudian.

            Sulastri mengembuskan napas. Air matanya menetes menuruni lereng pipinya yang terjal.

            “Kami butuh makan, Mas,” ucap Sulastri lagi.

            “Aku paham, Lastri. Tapi aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. Aku dan kawan-kawan yang lain sudah kena PHK. Jangankan kirim uang, untuk biaya makan saja aku harus minta belas kasihan orang.”

            Sulastri tertegun mendengar perkataan suaminya. Entah dosa apa yang telah dilakukannya di masa lalu, nasib baik seakan terus memusuhinya. Tetiba wajah gadis kecil itu kembali hadir dalam bayangan Sulastri. Dan begitu banyak pertanyaan yang kini bersarang dalam kepalanya, entah sampai kapan.

            “Semoga kalian tetap sehat!” ucap Maruso dengan suara terputus-putus.

            “Semoga kami tidak mati kelaparan!” sanggah Sulastri sekenanya.

            Sulastri segera mematikan telepon. Sekarang ia benar-benar merasa jengkel pada suaminya. Namun, lagi-lagi ia tidak bisa protes. Sulastri ingin sekali menjerit, tapi ia tidak punya daya.

            Di tengah kebingungannya, tetiba Sulastri mencium aroma yang begitu enak. Hidungnya kempas-kempis untuk memastikan aroma itu. Perutnya seketika keroncongan. Ia yakin belum pernah mencium aroma selezat itu.

Dari mana ya asalnya? Tanya Sulastri kepada dirinya sendiri.

Sulastri pun berjalan memasuki rumah Pak RT dan aroma itu semakin dekat ke hidungnya. Ia pun melangkah masuk semakin jauh hingga tiba di bagian dapur. Di sana ia melihat sebuah kuali yang mengepul. Ia yakin bahwa aroma lezat itu berasal dari sana. Tapi apa yang sedang dimasak dalam kuali itu? Lagi-lagi Sulastri hanya bisa bertanya kepada dirinya sendiri.

Keingintahuannya yang besar membuat Sulastri nekat mendekati kompor. Lantas membuka tutup kuali itu dengan hati-hati. Ia melihat banyak sekali potongan benda aneh berwarna gelap dengan kuah yang sangat kental. Sulastri tidak bisa menebak benda di dalam kuali itu, yang jelas aromanya sangat enak dan membuatnya ingin segera makan.

            “Lastri!”

Tetiba Pak RT muncul dari balik pintu. Sulastri bergeming.

            “Maaf, Pak!” ucap Sulastri sambil menutup kuali dengan cepat. “Tadi saya mencium aroma yang sangat enak, dan ternyata berasal dari sini. Kalau boleh saya tahu, Bapak sedang masak apa?”

            Lelaki berkumis tebal itu diam sesaat. Lalu berkata, “Oh, itu batu!”

            Sulastri terkejut. “Mana mungkin batu bisa mengeluarkan aroma seenak itu?”

            “Ya, ampun, Lastri. Negeri kita ini penuh dengan keajaiban. Kamu tanam tongkat kayu saja bisa jadi tanaman. Makanya, saat kamu ingin melakukan sesuatu, lakukanlah dengan penuh keyakinan!”

            Sulastri sibuk mencerna ucapan Pak RT sambil mencari kebenaran dalam sorot matanya. Entah kenapa pertanyaan-pertanyaan dalam kepala Sulastri seketika menghilang. Seakan ia telah menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu.

Usai itu Sulastri bergegas pulang tanpa meluahkan satu kalimat pun. Pak RT memperhatikan langkah Sulastri yang terburu-buru dari balik jendela, sambil tersenyum.

            Sesampainya di rumah, Sulastri segera menuju dapur. Tangannya penuh dengan batu-batu besar yang ia pungut dari jalan. Atika si gadis kecil bertanya mengenai itu. Namun, Sulastri hanya mengulum senyum.

            “Kita akan makan enak, Sayang!”

            Sulastri membuka tutup dandang, lalu mengganti berasnya dengan batu. Api dalam tungku itu kembali berkobar seperti semangatnya.

“Kita akan makan enak!” ucap Sulastri sekali lagi. Penuh keyakinan. [*]

Scroll to Top
× Hubungi kami