Menggenapi Jakarta dalam Tujuh Hari

Oleh: Dyah Sekar Purnama Ratri

Senin

Kelabu monoksida di awal minggu tak kenal strata. Sepeda motor belum lunas, sedan yang seminggu sekali dibawa ke gedung luas, dan bus kota yang dicerca karena malas mengantre menuju nasib

Langit dicakar beton berbentuk baton. Manusia mengganti kakinya dengan rangka besi dan kepalanya menjelma dinamo

Kelak, anak cucu kita menggambar rimba dengan bangunan sebagai ganti pohon dan manusia selayak binatang yang hidup bahagia dan mati disana

Selasa

Dua adalah angka cinta

Sepasang kekasih menebus hidup dengan ciuman panjang

Membakar kereta tujuan Jakarta Kota yang membawa mereka kemana-mana

Sebelumnya, mereka mengubur kisah terlarang di Kota Tua, merayakan Chairil di Karet, menghitung kemungkinan berjodoh di Bank Indonesia, dan merencanakan pernikahan di lantai 22 sebuah gedung milik swasta.

Esok hari, mereka mati dirajam khalayak bermahkota moral. Lusa hari, khalayak itu ditelanjangi mulut sendiri. Dan arwah cinta berapi di pucuk Monas

Rabu

Hari ini meminjam nama coreng di wajah anak jalanan dan jelaga dari tubuh lenyap seorang di Klender

Uang adalah komedi yang tak berhenti berputar

Rupiah adalah wahana kereta cepat yang melintas membelah tangan orang kecil

Tengah minggu selalu ganjil seperti sianida yang tenggelam di lautan kafein

Kamis

Amis seperti remis tubuh perawan yang hendak mengganti nama. Ia ingin segera dilupa. Lekuknya terbungkus selendang Drupadi, matanya sembunyi di balik petuah orangtua. Namun di gang kecil penuh tikus dan anjing, undang-undang meregang di pinggangnya yang memar

Ada amis di paruh burung berurat yang meruah setiap melihat betina. Ia berkokok dan berciap dengan berisik

Warga kota terganggu dan membuka jendela untuk menghardik betina yang dada dan surainya terbebat rapat

“Mengapa kau menggoda dia?”

Jumat

Sudah di ujung hari kerja

Mari kita rayakan datangnya tuan libur dengan pesta pora. Pasang wajah tuan di antara pusat perbelanjaan dan klub malam agar tersanjung ia. Akan kusediakan anggur terbaik dari tangis si kecil dan air tanah yang lamat-lamat tergerus peradaban

Biarkan saya ganti jas Anda yang kusut oleh angka dengan perkara nyata

Tanpa mengingkari Sabat, saatnya kita beristirahat

Sabtu

Katanya enam yang diulang tiga kali adalah angka setan

Satu. Jalan raya merayap melahirkan manusia bertanduk yang menukar sabar dengan taraf hidup

Dua. Ada anak orang menumpahkan darah dan wiski di tubuh seorang tukang sapu. Kasusnya menjelma angin sepoi laut Utara

Tiga. Seorang perantau berdasi membakar ijazahnya sendiri. Tak pernah ada malam minggu di tubuhnya yang pasi

Minggu

Hari istirahat

Namun Jakarta tetap sibuk dengan nasib manusia yang menggeliat

Pada tubuhnya yang menolak jadi bangkai  dan karat

Melupakan rehat, mengingkari Sabat

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami