Menghapus Namaku di Ingatan Ibu

Oleh: Rini Afriyanti

Aku mengenang cuaca ini: teduh diiringi rintik kecil-kecil, aroma tanah yang disetubuhi air dari langit – pukul tiga sore. Matahari timbul-tenggelam di balik awan berwarna abu-abu, dan anak-anak berlarian dengan mata binar. Di sana, di halaman rumah Pengky; teman masa kecilku, aku biasa bermain boi, beteng, rambatan, kotak pos, patile, engklek, kasti, dan beberapa permainan yang namanya tidak sengaja kulupakan. Betapa beban yang kukhawatirkan hanya rebutan tim bermain. Betapa asyiknya nimba air tiap malam Selasa guna memenuhi kolah air wudhu kemudian mandi tanpa melepas baju. Betapa leganya ketika waktu maghrib listrik padam, sebab kewajiban mengaji dibatalkan, dan seluruh anak sekitar menyusun strategi membohongi orang tua agar diizinkan keluar rumah untuk dolanan. Dan betapa girangnya menunggu hujan, atau sekedar tiduran di atas tikar selesai sembahyang isya’ sambil menatap rembulan.

Kini jarakku sangat jauh dari tempat penuh kenangan itu. Aku tinggal di rumah kontrakan dekat tempat kerja, di luar Jawa. Menjadi dewasa telah memisahkan kami; Pengky, Anto, Yuli, Aku dan Yudha.

Namaku Ahmad. Sejak usia delapan tahun tinggal bersama seorang Ibu. Bapak mencurangi kami – pergi ke surga lebih dulu. Begitu yang sering dikatakan Ibu. Ibu mencurahkan seluruh kasihnya padaku dengan membekali ilmu sampai sarjana. Membiayai pendidikan dengan payah. Mengantarku mapan hingga selesai kuliah.

Di kursi balkon, sembari mengisap gulungan tembakau, aku mencoba mengumpulkan ingatan tentang teman masa silam. Aku ingat dengan jelas percakapan kami pada suatu malam.

“Tujuh tahun yang akan datang, kita akan jadi apa, ya, Mad?”, pertanyaan Pengky ketika kami masih kelas 2 SMP (sekarang disebut kelas delapan) seolah seperti manusia dewasa.

“Aku pasti jadi Insinyur” kataku bercanda.

Waktu itu kami sudah jarang bertemu karena beda sekolah. Pengky, Anto, dan Yuli sekolah di SMP swasta. Yudha dan aku sekolah di SMP Negeri.

“Ah, aku kerja di Apparel (nama pabrik) saja sudah syukur” timpal Anto.

Saat itu, lelaki yang bekerja di pabrik merupakan kebanggaan. Perempuan lebih dominan bekerja, laki-laki hanya jadi tukang antar, nyuci, masak, dan momong. Meminang perempuan yang sudah memiliki penghasilan UMR adalah permintaan kebanyakan orang tua. Buruh pabrik kala itu jadi primadona.

“Janganlah. Kita harus bisa jadi lebih” aku meyakinkan.

“Serius. Memang kau mau jadi apa?” punggung Anto meninggalkan tikar.

“Aku mau kerja kantoran, pakai dasi, sepatu pantofel, bawa laptop. Keren kan?“ aku terkekeh.

“Pergi dari kampung sini?”

Ndak kasihan emakmu?” Pengky buru-buru menagih jawaban.

“Itu juga untuk ibuku, kalau uangku banyak, Ibu juga hidup enak” jawabku setelah diam agak lama.

“Uang bukan asuransi kehidupan, Mad” Yuli tiba-tiba duduk di samping Yudha.

Itu percakapan akrab terakhir kami. Lalu sejak kelas 3 SMP, kami seperti bukan tetangga karena sibuk ekstrakurikuler dan les. Aku sangat menyadari, akulah yang paling ambisi. Sekolah tanpa tahu waktu. Pemikiran dasarku membahagiakan Ibu adalah dengan memberikan jatah materi, yang sebenarnya dianggap tidak terlalu penting bagi usianya kini. Percakapan kami benar-benar dicatat malaikat dan dikabulkan Tuhan. Delapan tahun setelahnya aku mendapat tawaran bekerja di perusahaan periklanan, sebulan usai wisuda di salah satu Universitas di Semarang.

Rokok yang kuhisap berulang-ulang telah padam di tepi asbak. Aku merasakan lelah yang tidak mampu dijelaskan. Beberapa bulan ini, kampung halaman sering membayang. Sudah dua tahun aku merantau di luar pulau. Ketika lebaran, aku selalu berencana pulang, namun sebagai account executive, aku tidak bisa mengatur klien yang membatalkan atau melakukan pertemuan mendadak. Aku yang suka melakukan perencanaan jauh, pulang mendadak membuatku enggan. Awalnya ibu kutawarkan ikut saja, tetapi Ibu sangat menolak.

“Pulanglah tiap lebaran” katanya.

“Tapi, Buk, Ahmad belum tentu bisa pulang rutin. Ibu ikut Ahmad saja, ya”

Ibu menangis tanpa suara. Air mata yang tumpah ia usap menggunakan lengan kaos berwarna merah yang bertuliskan BISI-18 di punggungnya. Aku ingin memeluk, tapi malu. Dewasa kian membatasi keakraban anak dan orang tua.

Aku terpaksa meninggalkan ibu di rumah untuk menggantikan peran mencari nafkah. Pekerjaan tetap di pulau yang jauh dari tempat lelapku dahulu telah membuatku terlena. Aku hanya rutin mengirim rupiah melalui kantor pos setiap tanggal dua. Ibu yang begitu merindukanku sangat dalam, tak kunjung menemukan cara melampiaskan.

Ini lebaran ketiga. Aku sangat berencana pulang, tapi tak perlu dipaparkan, sebab jawabnya sama seperti sebelumnya. Akhirnya, sehari sebelum lebaran aku menitipkan surat kepada tukang pos dengan satu paket kotak berisi handphone serta uang untuk ibuku membeli perlengkapan lebaran.

“Maafkan Ahmad, tahun ini belum bisa kembali, Bu. Rindu. Ibu belilah pakaian yang bagus dan mahal. Potong beberapa ayam, bagikan ke tetangga. Toples yang sudah kosong setahun, isi makanan yang ibu inginkan. Jika rindu, ambil kotak yang Ahmad kirimkan, dan pencet angka 1 (satu). Maaf lahir batin, Bu”

Dua minggu berikutnya, aku masih tidak mendapat panggilan dari nomor yang kuberikan pada Ibu. Balasan surat juga tidak pernah ibu layangkan, meski beberapa kali aku mengirim pesan. Aku mulai khawatir. Beberapa hari ini, siluet kampung halaman selalu memunculkan pertanyaan “Apakah ibu baik-baik saja?”, namun tak membawa keinginanku untuk memesan tiket pesawat dan pulang.

            ‘Sudah makan, Mas? Keluar, yuk’.

Getar handphone meluruhkan imajinasiku mengenai Ibu. Sarah, teman dekat kenal dari kantor, yang sejak dulu ingin kukenalkan pada Ibu, mengirim WhatsApp. Beberapa kali kuajak ia pulang, namun selalu urung dengan alasan belum siap. Aku berusaha memahami. Namun tiga tahun seharusnya sudah cukup mapan untuk mempersiapkan diri dan jawaban, kalau-kalau Ibu menanyakan hal macam-macam. Demikian, tetap kucintai dia dengan keyakinan yang sudah matang. Ia cerdas, gigih, baik, tidak ribet, dan cantik.

            ‘Sudah’ balasku.

Dua centang yang berubah warna biru sejak dua belas menit lalu diabaikan Sarah. Aku sedang malas keluar, maka kuabaikan juga.

Pukul 23.07, aku masih menetap di balkon. Memainkan arloji pemberian Sarah. Memutar-mutar jarum dan membidik angka tiga; angka binar, angka riang, angka rintik hujan, angka lari-larian, angka kami – Pengky, Anto, Yudha, dan Yuli biasa janjian di halaman. Namun jauh dari keinginan menemui mereka, aku sangat ingin menemui Ibu.

Aku memulai percakapan kembali dengan Sarah.

‘Sarah, bulan ini Mas pulang, ya’

‘Ngapain?’

‘Kok, ngapain?’

‘Kerjaan bulan ini numpuk, Mas. Lebaran aja, deh!’

Dengan gaya Jakarta, ia membujukku menunda. Aku menurut saja.

***

Beberapa bulan belakang aku menunggu tibanya lebaran. Akhirnya, hari raya tahun ini aku tekad pulang. Sarah tidak bisa ikut dengan alasan harus mudik ke Jakarta, tanah kelahirannya. Padahal, dia yang memutuskan pulangku. Dan selama aku tidak pulang, ia hanya menghabiskan waktu di kantor dan kontrakan. Sejak kini aku mulai ragu pada kesungguhannya.

‘Hati-hati, Mas’ katanya dalam percakapan tulis yang sama sekali tidak kuhiraukan.

Usai pesawat landing, aku naik taksi menuju rumah. Jalan-jalan yang kulalui terasa asing. Gedung tinggi semakin tak bisa dihitung jari. Mobil itu menyusuri jalan masa kecil, sedikit lupa sedikit ingat, kupintal kenangan pada usia yang sangat sehat. Melalui beberapa pohon kapuk, memberbesitkan ingatanku pada ayah yang dulu sering menaikkan tubuhku ke pundaknya, kemudian lari kecil sambil meniup kapas. Air dari mata kananku menitik. Aku benar-benar kembali ke tanah yang kurindukan tumpah ruah.

Di persimpangan dekat toko kelontong Mbak Rum, aku melihat Yuli mengenakan seragam biru muda yang dipadu celana jeans ketat, memakai kaos kaki mocca, dan sandal jepit swallow berwarna biru. Ia dibonceng seorang lelaki berkumis dan berambut ikal. Kusangka Anto, ternyata bukan. Aku lupa namanya, ia tetangga jauh yang pernah sekelas denganku ketika SD yang tidak naik kelas dua kali. Ingin kusapa, namun ia buru-buru. Mungkin masuk kerja shift satu.

Aku penasaran keadaan Yudha, Pengky, dan Anto. Apa mereka jadi karyawan pabrik seperti harapannya? Atau lebih baik?

Beberapa menit kemudian aku telah sampai di pekarangan rumah. Halaman rumah ukuran enam kali tujuh meter itu masih dihinggapi rumput gajah seperti terakhir kali kutinggalkan. Gentong kecil untuk wudhu yang kupasang dulu masih gagah di bawah tiang rumah. Letak pintu masih sama, alas tanah tak berubah juga. Warna cat serupa abu-abu jika disaksikan dari jauh. Satu-satunya yang menuntut beda adalah warna genteng yang kira-kira diganti beberapa bulan lalu.

“Assalamu’alaikum”

Aku mengetuk pintu yang masih tertutup. Seingatku, tiap pukul lima, sarapan sudah siap di atas meja. Tapi ini sudah tidak petang, lampu ruang tengah masih belum padam.

“Assalamu’alaikum”

Aku masih mengetuk, tapi tak ada jawaban. Kusentuh gagang pintu. Seperti dulu, rumah tidak sering dikunci. Tiap kali kutanyakan “Kok ndak dikunci, Bu?” Ibu selalu menjelaskan bahwa di rumah tak ada harta berharga selain putranya.

“Buk …”

Aku menyusuri denah rumah. Petak ruang masih sama; dua kamar, satu  ruang ibadah, ruang tamu, dan dapur yang tungkunya masih sama; belum dikonversi ke elpiji juga.

Kutemukan ibu tengah sujud. ‘Sudah pukul 06.18, Ibu sholat apa?’, tanyaku dalam hati. Kuintip matahari dari balik jendela. Kutunggu di ruang tamu sambil mengusap layar gawai, kemudian terlelap pulas. Beberapa menit aku sadar dan segera menemukan ibu.

“Buk…”, kususul Ibu di dapur yang penuh asap. Mendekat dan mendekapnya erat-erat. Ibu yang keriput dan ubannya sudah kentara terlihat bingung atas pertemuan tersebut. Aku tersenyum, mengira ibu hanya pangling saja. Lalu aku menuntun ibu ke ruang tamu. Menunjukkan koper berisi buah mata; baju baru, cendera mata, dan beberapa perhiasan, yang kubawa dari pulau Kalimantan ke pulau Jawa.

“Kamu siapa?!”

Aku tertegun. Ibu tak pernah sebercanda itu.

“Ahmad, Buk” sambil menggenggam kedua tangan ibu, aku menangis.

“Ibuk …” suara kutinggikan sampai pemilik rumah sebelah yang menurutku masih baru telah mendekat. Tetangga baru itu menapak teras rumah. Mengintip keramaian kecil yang terjadi. Ia masuk dan memberi penjelasan atas kondisi Ibu.

“Ahmad?” perempuan paruh baya itu menepuk pundakku.

Aku hanya mengangguk. Ternyata ia baru tinggal tiga tahun setelah aku pergi ke Kalimantan. Namanya Rika. Perawakannya kota; perhiasan di telinga kanan kiri, gelang seukuran karet yang jumlahnya tak bisa kukira, dan gigi palsu berwarna perak. Namun ia mengenalku. Ia paham fisikku dari deskripsi yang sering Ibu katakan setiap pagi, katanya. Surat-surat yang kukirim telah disimpan Bu Rita.

“Ibumu sudah pikun. Beberapa bulan ini sering lupa waktu sholat, tiap pagi jalan-jalan melulu dan menanyakan nama semua orang yang ditemuinya. Tapi beberapa hari yang lalu ia masih menyebut nama Ahmad. Dua hari ini memang tak kelihatan main ke rumah”

Bu Rita tak memberi kesempatan padaku menanyakan perihal lain. Ia sungguh banyak bicara. Pengantar yang ia jelaskan seperti percik halilintar. Aku duduk lemas menatap Ibu.

“Sudah periksa?”

“Tidak ada yang ngantar. Ibumu sering dibentak-bentak tetangga karena berulang-ulang menanyakan kapan lebaran tiba”

Satu-satunya hal yang diingat ibu tentangku adalah lebaran. Kenangannya tentang siapa yang bicara mengenai janji untuk pulang pada Hari Raya telah memudar. Ingin kukutuk tubuhku menjadi Malin Kundang. Salahku, telah  menghapus namaku sendiri di ingatan Ibu.

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami