Menyusu Pada Pohon Tarra’

Oleh: Maulidia

Benarkah surga ada di telapak kaki ibu? Pada bagian mana letak surga pada kaki ibu? Tumit? Telapak kaki? Jari-jemari kaki? Mata kaki? Punggung kaki? Atau bersembunyi bersama kotoran kaki di dalam kuku ibu jari? Aku tak sempat mengintip kaki ibuku sebab aku telah mati.

Aku membuat ibuku merintih kesakitan. Belum genap sembilan bulan aku di dalam kandungannya, aku dipaksa berpamitan. Aku diminta Tuhan untuk cepat keluar melalui celah sempit di dalam tubuhnya. Tentu saja, aku belum ingin keluar. Aku masih ingin bersama ibu. Menunggui rahim ibu yang kosong. Ikut bersama ibu kemanapun ia pergi. Mengunjungi orang tua ibu yang katanya adalah kakek dan nenekku, tapi aku belum sempat memanggil mereka dengan panggilan nene’[1]. Kata ibu sambil mengelus perutnya, ia akan membawaku ke Pango-Pango menggapai awan dari jarak terdekat.

Aku tidak nakal. Jika bayi-bayi dalam perut ibunya biasa menendang, aku tidak menirunya. Aku takut ibu kesakitan. Aku juga tidak membuat ibu repot. Tidak ada satu pun keinginan yang aku bisikkan pada dada ibu hingga ayah harus menurutinya. Tapi, ayah dan ibu malah menunggu masa-masa mengidam itu untuk mengabulkan keinginanku. Aku juga tidak memilih dalam makanan. Apa saja yang ibu makan, aku ikut memakannya. Aku tidak membuat ibu merasa mual apalagi sampai memuntahkan isi perutnya. Tapi, kenapa aku harus dimatikan sebelum sempat menyusu pada ibu?

Saat itu, aku benar-benar membuat ibu kesusahan menahan sakit yang teramat sakit. Rasanya tidak ada kesakitan yang lebih sakit yang ibu rasakan selain melahirkan aku yang belum waktunya. Ibu jatuh pingsan. Ia kekurangan darah. Ayah tergopoh-gopoh melarikan ibu ke rumah sakit. Aku tidak tahu apa yang membuat ibu kesakitan. Tapi, aku pernah mendengar ayah berbisik di perut ibu jika mereka telah lama menantikan kehadiranku. Ibu membalasnya dengan permintaan maaf karena penyakit yang ada pada tubuh ibu memaksa mereka harus bersabar. Ibu benar-benar harus sembuh total sebelum siap untuk hamil. Aku hanya bisa mengira-ngira. Kemungkinan penyakit ibu belum mati, tapi malah ikut tumbuh bersamaku di dalam rahim ibu.

Sesampai di rumah sakit, dokter langsung melakukan operasi mendadak. Ibu dibawa ke ruangan IGD (Instalansi Gawat Darurat). Suster-suster membantu menyiapkan segala peralatan yang dibutuhkan dokter untuk mengoperasi perut ibu. Aku tahu ibu dan ayah ingin aku tetap hidup setelah dikeluarkan. Ibu dipaksa untuk melahirkan normal. Dengan segala cara, ia dibangunkan saat pingsan. Dikhawatirkan, jika ibu tidak membuka mata saat melahirkan, ibu bisa meninggal. Tapi, kenyataan tetaplah kenyataan. Tim dokter harus menyelamatkan aku atau ibu. Membiarkan aku punya kehidupan baru atau memberi ibu kesempatan untuk meneruskan hidupnya. Sebetulnya, bukan salah tim dokter karena lebih memilih ibu saat melahirkanku. Kenyataannya, aku terlalu beresiko jika harus dibiarkan hidup. Jantungku berdetak tidak normal dan itu akan menyiksaku bernapas.

Tepat pukul setengah sebelas malam, aku lahir ke dunia dalam kondisi menjadi mayat. Ibu tidak berdaya setelah mengeluarkan seluruh tenaganya. Tim dokter pun menyerahkan jasadku yang kaku ke dalam dekapan ayah. Aku masih bisa merasakan tetesan air mata ayah jatuh tanpa hentinya. Ia memelukku erat. Meraung sejadi-jadinya. Ayah ditenangkan oleh seluruh keluarga.

Ibu masih belum sadar saat aku dibawa pulang oleh ayah. Aku mendengar nene’ bicara pada ayah bahwa aku tidak boleh dilihat oleh ibu. Ibu tidak diizinkan menyentuhku. Jadi, dari mana aku bisa yakin bentuk telapak kaki ibu sedang aku tidak bisa bertemu ibu?

Setelah aku dimandikan, aku dibungkus dengan solong[2] bersama ari-ariku. Saat itu, aku mengira akan dibawa dalam dekapan ibu. Tapi, yang aku temukan bukan ibu. Aku malah mengunjungi hutan belantara. Ramai-ramai orang datang di hutan itu yang katanya adalah pasiliran[3]. Ayah masih menggendongku. Kata nene’ aku harus tidur di dalam pohon tarra’[4] dengan cara disilik[5]. Aku melihat sebuah lubang yang dipahat di pohon tarra’. Lubang itu kira-kira cukup oleh tubuhku yang kecil.

Ayah memasukkanku ke dalam lubang pohontarra’. Itu adalah saat terakhirku melihat ayah dan nene’ sebelum lubang tempatku ditutupi dengan serabut ijuk. Aku tidak dapat melihat apapun karena tampak sangat gelap dari dalam lubang. Sayup-sayup terdengar nene’ menyuruh ayah mengunci pintu lubang dengan empat pasak yang dibuat dengan karurung[6] lalu terakhir diikat dengan tali dari serabut ijuk yang dipintal.

Setelah tidak mendengar siapapun yang bicara termasuk nene’, aku bisa merasakan langkah kaki. Sepertinya semua orang sudah meninggalkanku seorang diri di dalam pohon ini. Celah sempit yang mereka buat membuatku merasa terasingkan. Aku benar-benar kecewa sebab tidak diizinkan untuk bertemu dengan ibu. Tiba-tiba, pohon itu berguncang. Tidak seperti yang aku bayangkan, ruangan itu ternyata cukup lebar. Aku melihat cahaya putih yang menyilaukan. Aku menutup mukaku dengan kedua telapak tangan.

“Hei, tidak usah takut.” Seseorang membuka tanganku agar aku bisa melihat mereka.

Ternyata mereka adalah bayi-bayi yang juga meninggal dan dikubur di dalam pohon tarra’. Aku sangat senang karena salah mengira jika aku akan kesepian seorang diri. Aku dan teman-temanku saling menyapa dan bercerita tentang apa yang terjadi. Mereka sama-sama mati saat ibu mereka sedang berjuang melahirkan. Tapi ada dua orang bayi yang lebih besar mengatakan jika mereka mati bukan pada saat dilahirkan. Penyakit membuat mereka harus berpisah dengan kedua orang tua mereka.

“Kenapa aku tidak boleh bertemu dengan ibu? Padahal aku ingin mengintip surga ditelapak kakinya?” Akhirnya kutanyakan juga pertanyaan itu.

“Kau tidak boleh bertemu ibumu sama seperti kami. Orang tua kita pun tidak akan datang lagi mengunjungi kita. Aluk tadolo[7] memang melarang ibu untuk ikut menguburkan anaknya karena ditakutkan orang tua kita tidak akan lagi memiliki keturunan.” Seorang yang lebih besar menjelaskan padaku.

“Tapi aku ingin melihat ibuku untuk terakhir kalinya.”

“Itu sama saja kau membunuh ibumu karena jiwanya akan terguncang saat melihat jasadmu.”

Aku tertegun. Benar yang dikatakan bayi itu. Aku tidak ingin membunuh ibu. Ibu sudah tersiksa saat ia melahirkan aku. Aku tidak ingin menambah derita dalam dada dan pikirannya.

“Tapi, mengapa kita harus disembunyikan dalam pohon ini dan bukan di dalam tanah? Aku merasa pohon ini akan kesakitan jika kita terus memahatnya.”

“Para leluhur memang tidak ingin mencemari tanah. Bukankah kita belum bisa memberikan apapun untuk tempat lahir kita? Maka dari itu, kita jangan sampai mencemari tempat yang tidak sempat kita rawat. Kau juga tak perlu khawatir. Pohon tarra’ ini adalah ibu bagi kita. Dia akan mengorbankan hidupnya untuk kita seperti yang dilakukan seorang ibu untuk anak-anaknya.”

“Maksudnya?”

Seorang bayi menarik tanganku. Ia menempelkan lidahnya pada dinding pohon tarra’. Aku disuruh mengikutinya. Sebuah tetesan berwarna putih menyentuh lidahku. Rasanya sangat pahit.

“Ini adalah cara kita menyusu. Pohon ini seperti ibu, bukan?”

Aku perlahan mengangguk. Getah pohon tarra’ memang terasa pahit tapi lama-kelamaan aku juga terbiasa dengan rasanya.

“Tadi kau bilang ingin melihat telapak kaki ibumu untuk melihat surga?”

Aku mengiyakan.

“Pohon ini tumbuh dan akan mencapai langit. Kita bisa menuju surga. Kita akan ikut bersamanya. Akan banyak teman baru yang memenuhi ruang dalam pohon ini.”

Aku senang mendengar semua penjelasan itu.

Kini, aku bisa menyusu pada ibu baruku dan suatu hari akan mencapai surga bersamanya.


[1] Panggilan kakek dan nenek dalam bahasa Toraja

[2] Pangkal pelepah pinang dalam bahasa Toraja

[3] Kuburan bagi mayat bayi masyarakat Toraja

[4] Pohon Cempedak dalam bahasa Toraja

[5] memakamkan bayi atau anak yang baru lahir dan belum tumbuh gigi yang dimasukkan ke dalam pohon tarra’

[6] Bagian yang keras dari batang ijuk dalam bahasa Toraja

[7] Kepercayaan leluhur nenek moyang suku Toraja

Scroll to Top
× Hubungi kami