Metafisika Kalkulus Vektor

Oleh: Yuditeha

     Belum lama ini aku bertemu dengan orang yang arogan dalam ilmu. Laki-laki itu seorang penulis, yang menganggap sastra adalah bidang ilmu yang kerennya tiada banding. Sebenarnya jika mengatakan sastra sebagai ilmu yang mumpuni, tanpa perlu menganggap lebih unggul dibanding ilmu lain, bagiku tidak masalah. Jika pendapatnya bisa lebih soft, bisa jadi di saat pikiranku sedang longgar justru akan semakin membuatku penasaran dengan sastra, setidaknya muncul keinginanku untuk mencari tahu, di mana letak kebagusan dari sastra yang dia tekuni. Namun, karena dari awal lelaki itu telah menganggap sastra sebagai ilmu di atas segalanya, secara ego, tentu saja hal itu membuatku semakin tidak respek padanya. Celakanya kesan itu bisa merembet ke otakku hingga aku tidak akan tertarik dengan sastra yang dia agung-agungkan.

     “Sastra adalah penilai kehidupan paling jujur,” katanya suatu kali.  Aku tidak mendebat dengan apa yang dia katakan, karena sastra yang kutahu dari Borgi, temanku yang juga menekuni sastra memang begitu. Bedanya pemikiran-pemikiran Borgi lebih jernih. Bahkan Borgi sempat menjelaskan padaku perihal kriterianya hingga sastra bisa dibilang begitu. Aku sendiri sangat terkesan ketika mendengar bagaimana cara Borgi memaparkan apa yang menjadi pemikirannya, karena itu aku segan padanya. Menurutku orang-orang seperti Borgi-lah yang patut mendapat penghargaan atas apa yang dia sedang geluti.

Pandanganku terhadap Borgi seperti itu bukan semata karena aku menaruh hati padanya, tapi lebih karena alasan, meski dia telah menganggap sastra menjadi bagian dari darah dagingnya, tapi tetap menghormati siapa pun yang menggeluti bidang lain. Demikian juga terhadapku yang jelas-jelas menggeluti ilmu yang berbeda. Caranya memujiku, kupikir sedikit membuatku tertawa, bukan karena aku setuju dengan apa yang dia katakan, tetapi dengan mengatakan kekurangannya di hadapan orang lain, sungguh bukan sesuatu yang gampang.

“Dari SD sampai SMA, aku merasa jadi murid goblok hanya karena matematika,” katanya suatu hari.

Pastilah aku bertanya, mengapa dia sampai menganggapnya begitu. Dan jawaban dia sungguh membuatku ngakak.

“Matematikaku selalu kobong,” terangnya.

Aku tahu, sebagian orang memang masih menganggap matematika sebagai ilmu yang mahasulit, membosankan, bahkan menakutkan. Aku menganggap pengertian seperti itu tidak berlebihan, selain karena matematika penuh dengan perhitungan angka, juga karena di dalamnya punya sifat abstrak. Agar bisa mengerti matematika memang butuh konsep pemahaman yang baik dan menyeluruh. Untuk memahami konsep yang baru misalnya, diperlukan pemahaman terhadap konsep sebelumnya. Apa yang ada di dalam matematika sesungguhnya tidak pernah berdiri sendiri. Tidak sedikit orang yang menganggap bahwa selain hanya perihal hitung menghitung, matematika tidak berkontribusi banyak terhadap kehidupan manusia. Pemikiran picik seperti itu sebenarnya hanya cerminan orang itu belum mengerti makna matematika secara global. Seperti lelaki yang baru aku kenal itu.

“Matematika sebenarnya hanya berguna untuk mengetahui saat ini kamu punya uang berapa,” ucap lelaki itu di kesempatan yang lain.

Aku tidak tahu ucapannya itu dalam konteks bercanda atau serius, tapi jika mengingat kejadian saat itu kami sedang berdebat sengit, maka apa yang dia katakan aku anggap sebagai cibiran yang norak. Jika kuperhatikan dari argumennya, aku yakin lelaki itu tidak banyak membaca buku, jikapun membaca, paling hanya membaca karyanya sendiri untuk dipamerkan kepada orang lain.

Berbeda dengan tanggapan Borgi ketika kami sedang membahas perihal yang sama. Pada saat itu Borgi justru bertanya kepadaku, sebenarnya apa eksistensi matematika terhadap kehidupan ini. Bahkan Borgi minta ditunjukkan contoh selain kegunaan matematika sebagai konsep berhitung. Aku tahu, pertanyaan Borgi bukan bermaksud untuk mengujiku, atau menjebakku agar aku kesulitan menjawab. Pertanyaan Borgi kurasa sebagai pertanyaan yang funginya memang ingin tahu. Atau bisa jadi mungkin sebagai riset kecil-kecilan untuk mendukung apa yang akan dia tulis dalam ceritanya.

“Tentu kau pernah mendengar kalkulus? Atau lebih detailnya kalkulus vektor?”

Aku katakan dengan tanya, karena meski aku tahu dia tidak menekuni matematika, tetapi aku yakin dia pernah mendengarnya. “Materi tersebut salah satu yang punya sifat itu,” tambahku tanpa perlu menunggu jawaban Borgi.

Perbincangan dengan Borgi memang terasa nyaman, tetapi terkait materi kalkulus vektor, sebenarnya aku tidak ingin bicara banyak. Aku tidak ingin dianggap keminter di hadapan teman sendiri. Namun, sepertinya dia justru ingin tahu lebih rinci. Karena adanya itikad baik dari Borgi itulah akhirnya aku melanjutkan bicaraku. Sebelum aku menjelaskan lebih detail, aku bilang pada Borgi bahwa ketika mendengar kalkulus, yang sering kali terlintas dalam pikiran orang kebanyakan adalah sekadar informasi yang penuh dengan angka-angka, dan mungkin karena itulah akan terbersit tanya sesungguhnya apa kegunaannya.

“Sebenarnya itu ilmu tentang analisis riil dari vektor dalam dua atau lebih dimensi. Arsitek dan fisikawan sering memakai. Salah satu fokusnya perihal medan vektor, semacam besaran nilai serta arah operasi yang ada di setiap titik suatu tempat.” Aku berusaha menjelaskannya dengan bahasa yang sederhana.

Meski begitu, aku tahu bukan perkara mudah untuk memahaminya, terlebih bagi orang yang tidak akrab dengan matematika. Untuk memperjelas hal itu, aku mencontohkan sebuah kapal yang bergerak dengan kecepatan lima belas knot ke arah empat puluh lima derajat dari pelabuhan. Aku menerangkan bahwa kapal itu akan bergerak dengan kecepatan lima belas knot, di mana hal itu merupakan nilai besarannya, dan arah yang ditempuh adalah empat puluh lima derajat dari pelabuhan adalah arahnya.

“Apa kalkulus vektor bisa dipakai untuk mengetahui sirkulasi udara di sebuah ruangan itu sehat atau tidak?” tanya Borgi sembari tersenyum.

Begitu mendengar pertanyaannya, aku pun ikut mengimbanginya dengan tersenyum. Terus terang, aku tidak ingin menanggapi dengan jawaban yang serius. Bukan karena tidak mau. Aku hanya merasa jawaban seserius apa pun akan membuat Borgi bertambah bingung. Aku justru langsung mengatakan padanya, untuk hal itu tak perlu bingung-bingung. Serahkan saja kepada orang teknik.

“Perlu kau tahu, salah satu bekal menjadi arsitek adalah pinter matematika,” lanjutku lantas tersenyum lagi. Borgi menanggapi perkataanku dengan cengar-cengir.

Untuk menyingkat pembahasan itu aku katakan pada Borgi bahwa kalkulus vektor sangat berguna di hampir semua cabang sains fisik, seperti komputer, statistik, teknik, ekonomi, bisnis, kedokteran, bahkan kependudukan. Dengan kalkulus vektor, setiap konsep perumusannya bisa dihubungkan.

Setelah percakapan itu, lama aku tidak bertemu, baik dengan Borgi, juga dengan lelaki arogan itu. Sampai di suatu hari yang semula tenang-tenang saja, mendadak menjadi seperti bergemuruh. Pada saat itu ada pesawat terbang jatuh. Kejadian itu langsung mengingatkan aku pada perbincanganku dengan Borgi dulu, tentang peran serta kalkulus vektor bagi kehidupan manusia. Terkait navigasi, vektor berperan penting terhadap pemantauan keberadaan suatu lokasi ditinjau dari tempat yang bergerak, yang dalam hal ini pesawat terbang.

“Teknologi itu disebut Global Positioning System, atau GPS.” Akhirnya aku tidak bisa menahan untuk mengatakan itu pada Borgi usai aku menghubunginya melalui telepon.

Aku juga bilang padanya bahwa dengan sistem navigasi, pesawat terbang dapat mendeteksi keberadaan lokasi yang dituju, semata agar pesawat tidak tersesat dalam melakukan penerbangan. Panel-panel instrumen navigasi pada kokpit akan memberi informasi yang tepat guna. Aku jelaskan lagi, kecelakaan pesawat tempo hari disebabkan sistem navigasinya tidak berfungsi.

“Oya, tentu kau pernah naik pesawat, bukan?” tanyaku kemudian.

“Pertanyaanmu itu ngece atau gimana? Aku hanya dikenal di kota ini, yang belum memerlukan pesawat sebagai alat transportasi,” jawab Borgi lantas ketawa.

“Ah, kau ini dari dulu selalu merendah,” sahutku

Sebenarnya pertanyaanku itu sebagai pengantar sebelum aku menjelaskan bahwa dengan sistem vektor yang telah dikalibrasi komputer, pilot dapat memantau navigasi untuk menentukan arah pesawat ke tempat yang dituju. Intinya dengan navigasi, pesawat tidak akan nyasar ke tempat lain.

“Eh,” suara Borgi di seberang telepon tiba-tiba menyela.

“Gimana?” sahutku.

“Kupikir-pikir, kebetulan kamu telepon.”

“Maksudmu?”

Borgi lantas menjelaskan, ada salah satu temannya yang stres. Katanya hampir seluruh waktu temannya itu cuma dihabiskan dengan mendekam di kamar, tanpa mau beraktivitas yang berarti. Bahkan katanya tidak mengenali lagi teman-temannya. Borgi memintaku untuk menemani menjenguk temannya itu.

Aku merasa heran, mengapa Borgi mesti mengajakku, sementara keberadaanku bukan sesuatu yang penting, atau setidaknya diperlukan. Meski begitu, apa yang dia minta itu sesuatu yang tidak biasa. Dulu, jangankan mau mengajakku, bahkan aku mengajaknya saja belum tentu dia mau.

“Ayolah,” bujuk Borgi tanpa menunggu responsku.

Ah, mengapa aku harus berpikir begitu? Bukankah ini yang kuharapkan dari dulu? Berkencan dengan Borgi, lelaki yang sudah lama kupuja, tapi selama ini dia tidak pernah peka. Akhirnya aku menyanggupi. Meski dari awal dia mengatakan akan pergi ke rumah temannya, tetapi ketika waktunya pergi aku tidak membayangkan dia sungguh-sungguh akan pergi menemui temannya itu. Ternyata aku keliru. Kami benar-benar pergi ke rumah temannya. Pada saat aku melihat kondisi temannya, lelaki itu sedang meringkuk di pojok kamar. Keadaan ruangannya sungguh memprihatinkan. Sangat tidak terawat. Entah mengapa melihat itu aku langsung kepikiran sesuatu.

“Metafisika,” gumamku.

Borgi menyenggolku, dan melihat wajahku.

“Hanya orang metafisika yang bisa menangani kasus seperti ini,” kataku padanya seperti berbisik.

“Metafisika?”

“Iya. Empu filsafat yang khusus berkaitan dengan proses analitis atas hakikat dasar tentang keberadaan, dan realitas yang menyertainya,” sahutku

Bersamaan aku mengatakan begitu, dengan saksama kuperhatikan lelaki yang meringkuk di pojok kamar itu. Aku terkejut, sepertinya aku pernah melihatnya.

“Oh,” kataku spontan sembari ingatanku tertuju kepada seorang lelaki arogan.

Borgi bertanya perihal apa yang kukatakan, tapi aku justru gantian bertanya, bagaimana kepribadian lelaki itu. Borgi langsung bilang, lelaki itu salah satu senior di komunitas sastra tempat mereka bernaung. Borgi menganggap, mungkin karena temannya itu terlalu ambisius hingga jiwanya lepas kendali.

“Metafisika kalkulus vektor,” sahutku.

“Apa?” tanya Borgi.

Aku tidak memedulikan pertanyaan Borgi. Ingatanku mengembara tentang sebuah perbincangan di forum intelektual yang pernah kuikuti. Pada saat itu muncul ide tentang metafisika dalam matematika. Ketika metafisika dibenturkan agama, metafisika bisa hilang. Namun, ketika metafisika beriringan dengan matematika, metafisika justru akan berkembang.

“Metafisika kalkulus vektor, katamu? Berarti kamu bisa menyelamatkannya?” tanya Borgi.

Ingatanku masih berkelindan, lalu meluncur ke bahasan metafisika kalkulus vektor. Pada ilmu ini, manusia akan dilihat atas dasar keterikatannya dengan semesta. Beberapa ilmuwan barat ingin merontokkan metafisika dari ilmu, karena metafisika dianggap sama dengan gaib. Hal itu berakibat banyak ilmu menjadi kering, tidak bersentuhan dengan Tuhan. Namun jika metafisika beriringan dengan matematika, khususnya terkait metafisika kalkulus vektor, segala ilmu akan menjadi basah dengan kenyamanan.

“Berarti kamu bisa membantu menyelamatkannya?” Borgi mengulangi pertanyaannya.

Aku hanya menanggapi Borgi dengan senyuman. Sebenarnya aku ingin membantunya, tapi aku tidak yakin bisa melakukannya. Tapi pikirku, mungkin memang perlu dicoba. “Bukalah jendela itu agar sirkulasi udara masuk, aku akan mengajaknya bicara,”  kataku kemudian pada Borgi.

Tanpa banyak tanya lagi, gegas Borgi menuruti perkataanku, dan aku mendekati lelaki itu, lalu jongkok di dekatnya. “Kau masih ingat aku?” tanyaku lirih padanya.

Mendengar suaraku, kontan dia seperti tergeragap, lalu menoleh ke arahku. “Oh, kamu. Aku sudah lama mencarimu. Aku kehilangan nomor kontakmu.” Usai berkata begitu dia memperhatikan sekeliling dan ketika mendapati keberadaan Borgi. “Hai, Borgi!” ucapnya.

Borgi yang mendapat sapaannya sedikit kaget, lalu memandangku, dan aku hanya bisa tersenyum sembari mengangkat bahu.***

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami