Misteri Tikus Putih

oleh: Pius Katon Jatmiko

Rembulan membulat sempurna di atas sana. Cahaya kuning keemasannya menyelisik melalui celah dedaunan pohon-pohon yang berjajar rapi di sepanjang jalan perkampungan. Halimun tipis memenuhi langit malam—membuat suasana kampung semakin mencekam. Aroma tanah yang bercampur dengan kembang kamboja menguar di udara.

            Sudah tiga bulan lebih, Kampung Tanggul Angin dibuat geger oleh kehadiran tikus-tikus. Awalnya hanya satu dua tikus yang berlalu lalang di antara kolong rumah satu ke rumah lain. Namun makin hari tikus-tikus itu mulai berani menampakkan koloninya. Menjarah rumah-rumah warga, bahkan menguasai sawah mereka.

            Dua minggu setelah kepergian Mbah Darmo—suami Ni Garwa, suasana kampung dibuat mencekam. Ditambah, beredarnya kabar yang membuat bulu kuduk merinding membuat lelaki di kampung Tanggul Angin memutuskan untuk melakukan ronda malam bergilir.

***

            “Yu Darsih, apa koe krungu Ni Garwa suka bicara sendiri saat malam hari? Katanya dia ngobrol sama suaminya yang sudah meninggal itu ya?” Tanya Mak Tampi memecah keheningan malam.  Selain para lelaki yang diwajibkan untuk ronda, perempuan-perempuan di kampung ini memutuskan untuk berkumpul di balai desa. Pukul sembilan malam, dua belas dan juga lima pagi mereka akan memukul-mukul lumbung padi untuk mengusir makhluk ghaib yang sedang meneror desa mereka.

            “Ahhh, masa to? Saya sering lewat depan rumah Ni Garwa tapi saya tidak mendengarnya lho, ibu-ibu,” jawab Bu Yatmi sambil membenarkan posisi duduknya.

            “Sampeyan lewat siang apa malam, Bu? Kalau saya kemarin sehabis solat isya tidak sengaja lewat depan rumah Ni Garwa, hawanya saja sudah membuat bulu kuduk merinding. Anakku juga mendengar grenengan [1]dari arah rumahnya lho, Yu!” cerita Yu Darsih kepada ibu-ibu yang sedang berkumpul di balai desa.

            “Ni Garwa juga tidak punya anak toh, Bu? Kata suami saya, anaknya dulu dijadikan tumbal saat masih di kandungan. Ya tumbal buat peliharaan ghaibnya itu. Eee. Lha kok sekarang malah satu kampung yang kena tulahnya,” ujar Mak Tampi menambahi.

***

            Pukul dua belas malam tepat. Suara gemuruh lumbung padi yang dipukul-pukul dengan lesung bertalu saling bersahutan. Dari kejauhan, suara selongsong bambu yang beradu dengan pemukulnya terdengar silih berganti. Pukul dua belas malam, para lelaki yang sejak tadi berjaga di pos ronda mulai membunyikan kentongannya. Mereka berjalan beriringan menuju area persawahan. Senter, kentongan dan juga raut marah menghiasi wajah mereka. Dengan langkah yang pasti, mereka segera menyorot apa saja yang mereka curigai sebagai gerombolan tikus. Sudah empat bulan, padi yang ditanam rusak karena ulah tikus-tikus yang menyerang padi-padi mereka.

            “Bapak-bapak, tadi sampeyan lihat tidak? Tikus-tikus itu lari terbirit-birit menuju ke rumah Ni Garwa?” tanya Pak Subekti kepada para lelaki yang kini sudah beristirahat di pos ronda. Setelah setengah jam berpatroli, mereka beristirahat di pos ronda ditemani dengan pisang goreng dan teh hangat.

            “Apakah isu itu memang benar, Pak?” tanya Burhan, pemuda kampung Tanggul Angin, kepada bapak-bapak yang sedang menikmati hidangan di tengah malam yang mencekam.

            “Yaa, siapa yang tahu ya Han. Soalnya kemarin saya melihat sendiri, tikus putih itu sedang dimandikan sama Ni Garwa. Apalagi kalau bukan peliharaannya? Sudah jelas, tikus itu tikus jadi-jadian!” jawab Pak Karto semangat.

            “Betul sekali itu Pak Karto. Lusa kemarin, istri saya lihat sendiri, Ni Garwa mengajak tikus putih itu berbicara. Wah sudah tidak benar kalau seperti ini! Jangan-jangan memang betul, tikus putih itu pemimpin dari tikus-tikus yang suka merusak padi-padi kita!” kini Mbah Giman yang bersemangat menceritakan pengalaman dia perihal tikus putih yang belakangan ini sedang menjadi momok kampung ini.

            “Jangan-jangan, Mbah Darmo jadi tumbal Ni Garwa kali ini. Sampeyan-sampeyan tahu kan cerita kalau anak Ni Garwa dulu meninggal dalam kandungan. Katanya untuk persembahan bagi sosok ghaib yang sekarang menjelma jadi tikus putih itu!” ujar menimpali yang lain.

            “Hushh..sudah-sudah, jangan bicara yang tidak-tidak. Bulu kudukku semakin merinding mendengar cerita kalian. Bisa jadi memang benar tikus-tikus yang datang ke kampung kita ini tulah dari siluman yang dipelihara Ni Garwa. Selama ini, kampung kita tidak pernah gagal panen. Apalagi penyebabnya serangan hama tikus!”

            “Tapi, bapak-bapak. Kalau dipikir-pikir agak aneh. Apa kepentingan Ni Garwa mencelakakan kampung ini? Lagipula, dia juga punya sawah di sini. Sawahnya pun juga diserang oleh tikus-tikus. Jika memang tikus putih yang dipeliharanya adalah sosok jelmaan siluman, harusnya tikus putih itu melindungi sawah milik Ni Garwa,” Burhan yang sejak tadi bungkam kini memutuskan untuk mengutarakan pendapatnya.

            “Kamu anak kecil tau apa, Han? Sudah tidak usah ikut campur sama urusan wong gede. Bantu kami sja supaya tikus laknat itu segera ditangkap!” Sergah Pak Karto menyuruh Burhan diam.

***

            Suara adzan mulai terdengar dari masjid. Kabut tipis yang menyelimuti kampung malam tadi mulai mengurai. Semburat emas berpadu apik dengan langit yang masih menunjukkan kegelapannya dari arah timur. Suara kokok ayam pertama sayup-sayup mulai terdengar.

            “Sekaranglah saatnya!” kata Pak Diman yang masih terjaga sejak malam tadi.

            “Kita akan membunuhnya pagi ini?” tanya Burhan dengan wajah yang begitu pias.

            “Tentu saja, kita akan menunggu Ni Garwa pergi ke masjid. Setelah itu kita lancarkan aksi kita. Jika ingin menyelesaikan masalah, kita harus membereskan akarnya!” ucap Pak Subekti yakin.

            Pagi itu, seusai solat subuh, Kampung Tanggul Angin dibuat geger kembali. Saat Ni Garwa membuka pintu rumahnya, ia menjerit histeris saat mendapati lelaki-lelaki kampung sudah mengepung rumahnya. Ia semakin lemas saat mengetahui mereka membawa parang, celurit, pisau atau apa saja yang bisa menyakiti dirinya. Matanya tertuju pada pintu rumahnya yang sudah terbuka lebar. Tanda mereka sudah mencari tikus putih kesayangannya.

            “Jangan bilang kalian menyakiti tikus kesayanganku?!” tanya Ni Garwa sembari membuka kerumunan orang yang telah memenuhi halaman rumahnya. Langkahnya terlihat cepat, meski sebenarnya ia sudah tidak memiliki daya untuk menahan berat tubuhnya dengan lutut yang dari tadi menahan gemetar.

            “Sudahlah Ni, kampung ini butuh kedamaian. Kami melakukan ini untuk kebaikan kita semua. Dengan menyingkirkan peliharaan kecilmu itu, kampung kita ini akan kembali tentram!” Jawab Pak Subekti sambil menahan langkah Ni Garwa. Yang ditahan tak segera menghentikan langkahnya. Ia menerabas tubuh Pak Subekti yang berusaha menahan dirinya untuk memasuki rumah.

            Ni Garwa langsung menuju ke sudut rumahnya, tempat kandang tikus putih peliharaannya berada. Namun sayang tikus putih itu sudah tidak berada di tempat. Ia mulai menangis sambil mencari-cari tikus kesayangannya. Tangisnya semakin menjadi, saat ia menemukan bercak darah yang tercecer di lantai.

            “Kau kemanakan tikus kesayanganku itu hah?!” tanya Ni Garwa sambil menghampiri orang-orang satu per satu. Matanya terlihat merah, tanda amarah yang berusaha ia tahan.

            “Burhan, bawa ke sini tikus itu!” perintah Pak Subekti kepada Burhan. Dengan langkah yang tergopoh-gopoh, Burhan membawa bangkai tikus putih yang kepalanya hampir putus dari badannya. Melihat tikus kesayangannya sudah meregang nyawa, Ni Garwa teriak sejadi-jadinya.

            “Kalian semua sudah gila! Tikus seperti ini kalian jadikan pelampiasan atas kesalahan kalian sendiri!” suara Ni Garwa terdengar bergetar saat ia mengambil bangkai tikus peliharaannya dari tangan Burhan.

            “Sampeyan yang gila, Ni! Karena tikusmu itu malapetaka terjadi di kampung kita. Pertama anakmu, kedua suamimu, ketiga paceklik yang kita alami sekarang ini. Tikus-tikus yang menyerang sawah kita ini ya karena ulah tikusmu itu. Tikus jadi-jadian!” jawab seorang.

            “Betul, sudah sejak lama aku mendengar kau berbicara dengan tikusmu itu. Kalau bukan siluman apalagi, Ni?!” tambah Yu Darsih yang sejak tadi sudah berada di halam rumah Ni garwa.

            “Kalian ini memang sudah gila. Kalian ini memang sudah tidak waras. Sekarang aku sudah tidak punya harapan hidup! Kalian telah mengambilnya dariku!” Ni Garwa masih terus meluapkan amarahnya. Saat matahari mulai meninggi, orang-orang kampung sudah mulai meninggalkan halaman rumah Ni Garwa. Wajah mereka terlihat puas seakan mereka memenangi pertempuran.

            Desau angin pagi berhembus menggerakkan dahan-dahan pepohonan. Suara gemuruh mulai terdengar dari atas sana. Hujan tipis mulai turun membasahi tanah yang menguarkan aroma nostalgia bagi siapa saja yang menghirupnya. Ni Garwa masih tersungkur di beranda rumahnya. Ingatannya memelesat pada kejadian lima puluh tahun yang lalu.

            Saat usia pernikahan Ni Garwa dan Mbah Darmo menginjak sepuluh tahun, mereka akhirnya dikaruniai seorang anak. Namun sayang, karena kondisi tubuh Ni Garwa yang kurang sehat serta kandungannya yang lemah, anak mereka terpaksa lahir sebelum waktunya. Ni garwa melihat sendiri janin itu. Memandikannya lantas menguburkannya di belakang rumah. Ia menimang untuk terakhir kalinya. Janin yang seperti bayi tikus itu terkulai lemas. Sejak saat itu, Ni Garwa memutuskan untuk memelihara bayi tikus yang ditinggalkan induknya di sudut rumahnya. Baginya, bayi tikus itu adalah jelmaan anak mereka yang tak pernah merasakan kehidupan.

            “Dasar kampung terkutuk!” Ucap Ni Garwa sambil mengusap air matanya. Ia bangkit berdiri lantas menutup pintu rumahnya sembari mengutuki kampung sialan itu.


[1] Gumam; berbicara dengan suara yang rendah sehingga terdengar seperti gumaman saja.

Scroll to Top
× Hubungi kami