Nasi Goreng Kelor Penglaris
Oleh: Jane Ardaneshwari
“Bahasa Indonesianya bagus sekali, Mister. Sudah lama di Indonesia, ya?”
Pengemudi taksi daring yang masih belia itu menatap saya dari kaca spion. Saya menghela napas panjang. Pertanyaan yang itu-itu lagi. Di saat yang kurang tepat pula. Saat business lunch tadi saya makan kelewat banyak. Menunya nasi padang lengkap yang lezat nian. Mana sanggup saya menolak tawaran menambah porsi? Apa kata orang Minang: tambo ciek? Jangankan ciek, tadi saya tiga kali menambah nasi. Sekarang saya menuai apa yang saya tabur. Perut saya terasa mulas, mau ikut-ikutan demo rupanya dia. Radio menginformasikan kemacetan luar biasa di sejumlah ruas jalan ibukota. Ada demo di depan gedung DPR/MPR. Kembali saya menghela napas panjang. Di kota ini, manusia menua di jalan raya.
Nama saya Ben. Benjamin Henderson. Saya berasal dari Milwaukee, sebuah kota di negara bagian Wisconsin, Amerika Serikat. Tahun depan genap tiga dekade saya tinggal di Indonesia. Sejak sepuluh tahun lalu, saya resmi menjadi WNI. Sudah dua kali saya ikut mencoblos dalam pemilu. Saya hapal Indonesia Raya di luar kepala. Makanan Indonesia? Fantastic. Amazing. Nyaris semua makanan Indonesia saya gemari, kecuali jeroan, petai, dan jengkol. Nasi padang, tempe goreng, sambal, rendang, nasi goreng, pecel, soto Betawi, rawon, brongkos, dan masih banyak lagi. Terutama nasi goreng. Lucunya, nasi adalah musuh saya di tahun pertama saya di Indonesia. Rasanya aneh di lidah. Sekarang saya sehari-hari justru makan nasi. Apalagi sebagai head chef, saya masih rutin memantau kualitas citarasa di kafe kami yang menu unggulannya adalah nasi goreng berbagai jenis.
Ketika saya dan Indah merintis usaha kafe, kami memutuskan nasi goreng sebagai primadona. Nasi goreng adalah cinta pertama saya. Indah istri saya? Well, honestly, – atau… apa itu istilah trendy-nya, jujurly? – dia ada di urutan kedua sesudah nasi goreng. Semakin saya mengenal masakan Indonesia, semakin takjub saya. Karena ternyata banyak sekali variasi nasi goreng. Ada nasi goreng kencur, ada nasi goreng cabai hijau (mereka sering menulisnya “cabe ijo”), ada nasi goreng kampung (anehnya, saya belum menemukan versi menu “nasi goreng kota”), nasi goreng babat (saya belum berhasil menyukai jeroan, sayangnya), nasi goreng ikan cakalang, nasi goreng teri, dan saya yakin masih banyak lagi jenis nasi goreng lainnya.
Dalam tahun pertama, kafe kami belum mencapai break even point. Pemasukan bulanan hanya mampu menutup biaya operasional. Padahal, promosi dan pemasaran sudah gencar kami lakukan. Semua jalur media sosial sudah digunakan. Influencer dan food blogger juga sudah beberapa kali kami undang (dengan imbalan, tentu saja. Mana mau mereka datang pro bono?). Di titik inilah, ibu mertua saya mulai melakukan intervensi. Melalui Indah, ia mengusulkan kami untuk memakai jasa “orang pintar”. My goodness, “orang pintar”? Indah menjelaskan dengan ekspresi enggan.
“A shaman, Ben. Mama bilang, gimana kalau kita minta aji penglaris ke orang pintar…”
“Aji…what?” tanya saya, bingung.
“Aji penglaris. Lucky charm. Masih ingat waktu kita take away soto dari rumah makan favoritmu? Kamu mengeluh kok rasanya tidak seenak biasanya, kan? Biasanya kita memang makan di tempat.”
“Lalu, apa hubungannya?”
“Itu salah satu tanda bahwa pemilik warung soto itu memakai lucky charm untuk melariskan dagangannya.”
“Tapi untuk apa kita pakai lucky charm? Nasi goreng kita kan, memang enak. Customer mau dine in atau take away pun bakal sama saja enaknya!” Indah mendesah panjang.
“Begini…”
Lalu ia menceritakan beberapa ilustrasi yang bagi saya sama sekali tidak masuk akal. Nurina kawan baiknya minggu lalu mengajak jajan bakmi ayam kegemarannya. Setiba mereka di lokasi, ternyata warung bakmi itu tutup. Dua hari kemudian, Nurina secara kebetulan bertemu pemilik warung bakmi itu di pasar swalayan. Terjadilah percakapan kurang-lebih seperti berikut ini.
“Pak, kok sering tutup, sih? Kemarin dulu saya mampir mau makan bakmi, eh tutup. Minggu lalunya lagi juga tutup.”
“Ah, masa? Saya buka, kok. Mungkin Ibu datang pas sudah tutup?”
“Kemarin dulu saya datang sekitar jam setengah delapan malam. Masa sudah tutup?”
“Jam segitu saya mah pasti masih buka, Bu. Belakangan warung saya memang lagi sepi banget. Biasanya sehari paling enggak saya ngabisin sepuluh kilo mi. Sekarang dua kilo mi saja belum tentu habis….”
Menurut Indah, malam itu ia melihat langsung bahwa warung bakmi tersebut memang tutup. Jadi mengapa si pemilik warung bersikeras menyatakan warungnya masih buka? Nurina curiga, ada yang berniat buruk dengan mengirim black magic. Itu sebabnya warung bakmi tampak selalu tutup. Kemungkinan besar, pengirimnya adalah sesama pemilik usaha makanan. Warung bakmi itu memang berlokasi di pusat kuliner perumahan tempat tinggal Nurina. Hanya dalam enam bulan sejak mulai berjualan, warungnya laris manis. Bisa jadi ada pihak yang merasa terusik.
“That’s nonsense!” tukas saya menanggapi cerita Indah. Saya masih skeptis ketika Indah berusaha meyakinkan saya bahwa kami tak akan merugikan pihak lain, seperti yang dialami penjual mi tadi. Cukup memakai lucky charm yang berfungsi sebatas melindungi kafe kami dari kekuatan-kekuatan tak kasat mata. Saya sama sekali tidak tertarik. Period.
Ini bukan pertama kalinya ibu mertua saya melakukan intervensi. Sudah lama saya berhenti berusaha memahami ibu mertua saya. Semua ekspresi “kegilaannya” saya terima apa adanya, atas nama cinta saya kepada putrinya. Saya sama sekali tidak bermaksud kurang ajar kepada ibu mertua saya. Sekali-kali tidak. Never. Orangtua istri saya adalah orangtua saya juga. Bukan maksud saya mengatainya gila. Semula saya bermaksud menulis “keeksentrikannya” namun saya khawatir kenyamanan para pembaca cerita saya ini akan terganggu. Guru Bahasa Indonesia saya dulu pernah bilang, ketika kita membaca sebuah teks di dalam hati, sebenarnya kita menyuarakan teks itu di dalam kepala kita. Kekhawatiran terbesar saya adalah jika kata “keeksentrikan” tersuarakan tanpa huruf “k” di awal kalimat dan terdengar sebagai “eek”. Mohon maaf sebelumnya, mengapa orang Indonesia terkesan cenderung menistakan hal-hal yang keluar dari tubuh mereka maupun yang mereka bawa ke mana-mana selama 24 jam setiap hari? Buktinya, vagina dan penis mereka sebut sebagai “kemaluan”. Kok, bisa-bisanya, mereka menyebut alat kelamin, bagian integral dari tubuh mereka sendiri, dengan sebutan yang memiliki kata dasar “malu”? Well, di mata saya itulah salah satu misteri bahasa Indonesia.
Fakta lain yang menarik buat saya adalah bagaimana orang Indonesia menghindari pemakaian kata “haram”. Seolah-olah, sebagaimana makna katanya, kata itu pun haram ditulis atau diucapkan. Di pasar swalayan, kau akan menemui produk-produk yang mengandung babi diletakkan di rak bertuliskan “produk non-halal”. Padahal, sudah ada kata “haram” sebagai penanda lawan kata “halal”. Bukankah itu aneh sekaligus tragis? Tragis nian nasib kata “haram”: ia bahkan haram untuk diucapkan atau dituliskan!
Sampai hari ini saya pun belum mampu memahami mengapa orang Indonesia menggunakan sebutan “buang air besar” dan “buang air kecil” untuk aktivitas menunaikan hajat. Hajat itu sendiri, konon, bermakna keinginan atau kehendak. Saya masih maklum jika berkemih, pipis atau tindakan mengeluarkan air seni dikategorikan sebagai “hajat kecil” alias keinginan kecil” sekaligus sebagai sebuah tindakan “membuang air kecil”. Namun nalar saya belum juga mampu menerima mengapa berak disebut sebagai tindakan “membuang air besar” padahal jelas-jelas tinja atau tahi adalah benda padat. Lebih ajaib lagi, begitu kata “hajat” ditambah akhiran “kan”, ia sekonyong-konyong beralih makna menjadi “resepsi” atau “selamatan”.
Mohon maaf saya melantur. Istri saya pernah bilang, kami seperti bertukar budaya sejak menikah tahun 1994. Menurutnya, saya sekarang lebih Jawa daripada dia sendiri. Sering sungkan dan berputar-putar kalau ngomong. Sementara istri saya sepertinya jadi lebih, lebih… apa itu istilahnya Indonesianya to the point? Tembak langsung? Istilah ini lucu menurut saya, karena mana ada orang menembak secara tidak langsung kecuali kalau sedang main biliar. Bah. Aduh, maaf, saya melantur lagi.
Kembali ke soal orang pintar itu, pokoknya saya menolak usul pemakaian lucky charm untuk kafe kami. Seandainya kafe ini terus merugi sampai akhir tahun ini, tutup saja kalau perlu. Biar nanti saya berjualan nasi goreng tenda, atau gerobak sekalian. Nanti tenda atau gerobaknya saya namai Nasi Goreng Bule. Habis perkara. End of discussion.
Ini betul-betul aneh. Untuk ketiga kalinya dalam minggu ini, nasi yang baru saja dimasak oleh chef de partie, mendadak basi. Padahal, semua prosesnya sudah sesuai SOP. Beras hanya boleh dicuci dengan air matang. Nasi yang sudah matang harus sepenuhnya dingin dulu sebelum dikemas per porsi dalam vacuum bag. Setelah itu, nasi dimasukkan ke lemari es khusus untuk penyimpanan nasi. Untuk bahan baku nasi goreng, saya selalu memakai nasi yang dimasak minimal sehari sebelumnya. Tabu bagi saya untuk membuat nasi goreng dari nasi yang baru dimasak pada hari yang sama. Tekstur dan citarasanya tidak akan sama.
Ketika saya menceritakan insiden itu kepada Indah, ia hanya mengangkat alis. Tiba-tiba, ia mengajukan pertanyaan ganjil,
“Ada masalah staffing di kafe?” Saya mengerutkan kening. Apa hubungannya?
“Semua baik-baik saja. Cuma Aryo minggu lalu baru saja mengundurkan diri. Anak-anak bilang, dia solider dengan Fauzan.”
Fauzan adalah sous chef yang bulan lalu saya pecat karena terpergok menggandakan kunci kafe. Dengan kunci duplikat itu, ia memakai dapur dan bahan-bahan untuk memasak bagi teman-temannya. Mereka berpesta dari lewat tengah malam sampai subuh, membawa minuman keras pula. Saya betul-betul marah dan kecewa kepadanya waktu itu.
Esoknya sejumlah info datang bertubi-tubi. Farah, commis chef saya, menyampaikan info bahwa Fauzan dan Aryo sekarang membuka food truck nasi goreng tak jauh dari lokasi kafe saya. Good luck, boys. Siangnya, Arif si sous chef melaporkan seluruh dapur beraroma anyir. Padahal saat itu menjelang jam sibuk. Kafe biasanya dipadati para karyawan yang makan siang. Saya dan Indah segera menuju kafe. Dalam perjalanan, Indah tampak sibuk dengan ponselnya. Tak lama sesudah itu, sebuah panggilan masuk. Ia hanya berbicara singkat,
“Saya sudah share loc.”
Setiba kami di kafe, Inez sang manajer membisikkan sesuatu di telinga Indah. Istri saya mengangguk dan mengajak saya segera ke ruang kerja Inez di samping dapur. Di kursi hadap, tampak seorang lelaki berusia sekitar 70 tahun. Saat berdiri menyalami kami, sinar matanya tajam mencermati. Genggaman tangannya erat dan kokoh. Perawakannya cukup tinggi dan tegap berisi. Rambutnya tebal keperakan. Ia mengenakan beberapa gelang dan cincin batu di kedua tangannya. Namanya Pandu. Indah menyebutnya Oom Pandu.
“Tadi saya sudah diantar berkeliling oleh staf kafe,” ujarnya. Suaranya berat, dalam. Mengingatkan saya pada suara narator National Geographic. Dari saku kemejanya ia mengeluarkan tiga buntalan kain kecil.
“Ini saya temukan di dapur. Di balik lemari es, di dekat tempat cuci piring, dan di dekat kompor.” Indah terdengar mendesah, mukanya muram. Saya terbeliak. Itukah lucky charm? Refleks tangan saya menjulur hendak meraih salah satu buntalan. Indah menahan tangan saya. Saat Oom Pandu mengurai ikatan buntalan-buntalan itu, saya terpana. Dalam buntalan pertama, ada sejumlah paku berkarat. Buntalan kedua berisi beras dan buntalan ketiga berisi jarum aneka ukuran. Ketiga buntalan itu menguarkan aroma wangi yang ganjil. Saya mendegut ludah. Ia kembali bicara, “Buat campuran dari air bekas mencuci beras dan segenggam daun kelor tumbuk. Percikkan ke seluruh ruangan kafe sambil mengucap doa sesuai kepercayaan masing-masing. Lalu taburkan garam dapur di keempat sisi luar bangunan. Lakukan setiap minggu.”
Sejak hari itu dan seterusnya, proses memasak nasi berjalan lancar. Aroma anyir di dapur tak bersisa sedikit pun. Atas permintaan Indah, sebulan sekali Oom Pandu datang berkunjung untuk mengecek. Saya memilih untuk diam saja. Silence is golden.
Jika Anda penggemar nasi goreng, silakan mampir ke kafe saya. Ada menu nasi goreng baru yang baru saja kami luncurkan. Saya sengaja tidak membubuhinya dengan kecap manis, agar tampilannya terlihat lebih memikat. Ada sayuran hijau yang saya campurkan di dalamnya. Menu baru itu saya beri nama Nasi Goreng Kelor Penglaris.