Nuh dan Kenabian
anursanii
Nuh duduk di bawah pohon mangga sambil memeluk lututnya. Pandangannya tertunduk, telunjuknya menggores-gores tanah yang didudukinya, goresannya tak jelas. Ada yang mengganggu pikirannya selepas pulang mengaji kemarin.
Ustad Adam – guru mengajinya, kemarin menjelaskan mengenai sifat-sifat wajib yang ada pada nabi dan rasul. Nuh sudah hafal itu di luar kepala. Saat teman-temannya bershalawat untuk menunggu waktu maghrib, Nuh melantunkan sifat-sifat wajib itu saat menerima giliran memegang mikrofon masjid.
“Shidiq, Amanah, tabligh, fathanah. Benar, terpercaya, menyampaikan dan cerdas.”
Nuh sudah lama menghafalnya, tapi Ustad Adam baru membahasnya kemarin setelah pembahasan mengenai sifat mustahil pada Tuhan rampung ia jelaskan. Nuh masih ingat bagaimana Ustad Adam menjelaskan sifat wajib itu. Seorang nabi dan rasul pasti memiliki keempat sifat ini.
Yang pertama shidiq, artinya benar. Maknanya, kebenaran dan kejujuran nabi dan rosul terlindungi. Mereka tidak akan ingkar dengan yang dikatakannya kepada umatnya.
Yang kedua Amanah, artinya dapat dipercaya. Nabi dan Rasul bisa dipercaya dalam bertindak apapun sesuai dengan yang diperintahkan oleh Tuhan kepada mereka.
Yang ketiga tabligh, artinya menyampaikan. Sudah pastilah nabi dan rasul menyampaikan pesan yang diberikan oleh Tuhan kepada umat mereka.
Dan yang keempat fathonah, artinya cerdas. Nabi dan rasul sudah pasti harus cerdas, yang mereka hadapi adalah umat. Perlu taktik dan strategi untuk mengajak umat menuju jalan yang benar.
Nuh merenung. Setelah penjelasan Ustad Adam itu, terlintas pertanyaan dalam benaknya. Ia tak berani bertanya kepada ustad Adam. Pertanyaan itu mengganggunya semalaman. Sesekali tidurnya terbangun memikirkannya. Nuh takt ahu harus bertanya pada siapa. Pertanyaan itu terngiang-ngiang.
“Kenapa?”
“Kenapa Tuhan tak menjadikanku nabi?” Tanya Nuh dalam hati.
Pembahasan mengenai kenabian sudah membuat Nuh tertarik sejak lama, sejak ia diceritakan kisah para nabi oleh ustad Adam. Sungguh nabi adalah manusia dengan keistimewaan. Mereka diberikan mukjizat oleh Tuhan. Mereka kekasih Tuhan. Mereka dijanjikan tempat terbaik di surga-Nya. Dan itu semua Tuhan berikan langsung kepada manusia-manusia pilihan itu.
“Tapi…”
“Kenapa tidak kepadaku?” Gumam Nuh.
Nuh merenung lagi. Dahinya menyernyit, mencoba mengingat sesuatu. Nuh yakin, setiap sifat wajib pada nabi dan rosul itu juga ada padanya.
Nuh meyakini bahwa dirinya adalah seorang yang jujur. Nuh mencoba mengingat-ingat lagi apakah ia pernah berbohong. Ia tak mengingatnya. Ia yakin apa yang diucapkannya selalu benar. Bahkan ketika ia ditanyai oleh gurunya mengenai siapa saja murid yang mencontek saat PTS lalu, atau ketika ia memberitahu Mbak Anah – pemilik warung depan Masjid, soal Si Idan yang mengambil sukro tanpa membayar.
Karena kejujurannya itu, Nuh juga yakin bahwa dirinya dapat dipercaya. Seperti saat Ustad Adam menitipkan uang kontrakan kepadanya untuk diberikan kepada Haji Nana – pemilik kontrakan belakang masjid. Ia pun sebenarnya heran mengapa Ustad Adam begitu memercayainya.
Mengenai sifat wajib yang ketiga, Nuh juga yakin bahwa dirinya penyampai yang baik. Ia pernah menjadi pemenang lomba da’i pada acara Maulid Nabi bulan lalu. Tak tanggung-tanggung, ia menjadi juara satu mengalahkan Komar dan Siti yang pada tahun lalu menjadi juara satu dan dua.
Nuh juga yakin bahwa dirinya pintar. Ia berhasil menghafal perkalian dari satu sampai lima lebih cepat dari anak lain di kelasnya. Ia bisa mengerjakan soal perkalian kakaknya yang sedang duduk di kelas 2 SD. Bahkan ia juga pernah memberikan kembalian yang sesuai saat Mbak Anah menitipkan warung padanya.
Dari keempat sifat wajib yang ada pada nabi dan rosul, Nuh yakin kesemuannya juga ada padanya. Tapi, kenapa ia tak jadi nabi? Kenapa Tuhan tak memilihnya? Ada nabi bernama Nuh, tapi kenapa Nuh yang ini bukan nabi? Apa tidak boleh ada dua nabi dengan nama yang sama? Atau jangan-jangan, sebenarnya Nuh adalah nabi tapi ia tak mengetahuinya. Arrrghh… Pertanyaan dalam otak Nuh terlalu rumit untuk dijawabnya sendiri. Barangkali ia harus memberanikan diri bertanya pada Ustad Adam mengenai ini.
Sudah hampir dua jam Nuh duduk dibawah pohon. Celana dan kakinya sudah kotor karena duduk ditanah tanpa alas. Ia terhenyak, menyadari sesuatu yang penting ia lupakan.
“Nuh! Nuh!!!” Ada suara dari kejauhan memanggil namanya.
Ah iya, itu suara ibuk.
“Kwe kui lo, tak golekin ket mau jebul nangkene. Ngaji kono lo, kae pak Ustad Adam wes adzan” Ibuk mengomel. Nuh terbangun, mencoba keluar dari lamuannya. Nuh masih belum menjawab.
“Nuh, heh. NUHALIMAH!” Ibuk teriak lebih keras.
“Nggih buk!”
***