Nyai

Oleh: MA. Fauzan Al Riyadh Panjaitan

Ia bertaruh; dalam matanya tergambar peta nusantara beserta ekspedisi rempah-rempah, perjalanan jalur sutera, revolusi perancis, dan pekerja terusan suez memimpikan mayat mayat yang tumbuh di halaman belakang. Di punggungnya, ia lukiskan sungai paris dan surat sajak kepada anak lelaki yang menjadi penyair di negeri sendiri.

1/

Saat kawan seusianya membordilkan pakaian dan kancing bajunya kepada berahi yang makin lama makin tumpah dijalanan, ia kira dunia tidak akan tergelar sedemikian rupa seperti di dunia peri dan nabi-nabi.

“Inggih pak, bu”

Ia jinakkan hantu dalam dirinya. Ia jinakkan iblis di pintu pintu rumahnya. melumat jalanan gelap yang tak lagi membawamu pulang, hanya angin, beserta kota amis yang kaudatangi.

2/

Setinggi parit hitam melayang di ujung mata, ia pasrahkan pada tuan yang mengasinkan rambutnya, ia deraskan tangisannya seperti kabut selepas badai, memejamkan bulan sedalam-dalamnya dan menyisakan tangkai mawar yang berdarah. Tubuh-tubuhnya menjelma pendoa malam yang anggun dan lolos dari hutan ketakutan.

Namun kematian datang menjelang kupu-kupu keluar dari kepompong, tuannya, meraih tangan pucat kematian itu lalu dipeluknya hingga ia tidak hanya merasai puisi yang hadir dalam bisikannya, melainkan kertas-kertas pengetahuan merayap di leher bajumu, berusaha mendengar setiap ketakutan raksasa, yang kausebut tahu itu, mengalir dalam darahmu.

Dan siapa mengira dirinya ditertawakan zaman, dan wangi tubuhnya mengeras pada lembar-lembar sejarah kemudian hari.

3/

Ia biarkan sepotong bibirnya terbuka dan mulai berkisah, seperti isa kepada hawariyin dan muhamad kepada mujahidin, ia biarkan rumahnya adalah bukit bukit safa dan sepasang kekasih itu adalah pengikutnya yang bergairah, ia porakporandakan kepalanya selepas badai, ia bangun piramida diatas tebing tebing kebodohan muridnya.

Tidak ada angin yang menembus peranakan itu, lalu akar akar itu didapatinya dari ujung samudera, ia temukan sebuah luka, di matanya yang berdebu, ada ketakutan dalam hatinya :

terbunuhnya cinta kekasihnya dan gemuruh keturunannya yang tidak pernah pulang.

4/

Lampu-lampu padam, anak satu-satunya kini menjelma barang pasar yang siap dijualbelikan kemana saja;

Bagaimana kalau ia kembali ke nenek moyangnya nun jauh disana?

Ia meletakkan dadanya sembari mengawasi pintu pintu kota yang licik dan perjalanannya terhenti di rumah kawahnya, hanya orang-orang tanpa peta yang mengigau adanya kutukan didalam kepalanya.

Ia melawan di banyak jalan, sementara kekasihnya menukar tubuh, berbagi kancing baju, memecah ingatan dengan mengubur masalalu yang dibakar serupa bandung yang merah tempo waktu-

Epilog :

lalu sembilan nyawa didadanya menjelma iblis dan menghakimi setiap pendatang yang ada, ia menyebut nama-nama asing yang lahir ditelinga hingga rahimnya, dan memenjarakan kesedihan sepanjang hidupnya. Ia kembalikan puan pada tepian pantai dan ia catatkan kedua tangannya sembari melihat negerinya adalah pendurhaka mahahebat, ia membacanya berkali-kali, sekalipun ia menjadi nyai untuk menyulut ledakan dan kematian masal patriarki.

Mojoagung, 2021

Leave a Comment

Your email address will not be published.

Scroll to Top
× Hubungi kami